Halo, aku Rebecca, penulis di Satu Persen.
“Kamu nggak boleh sedih, banyak loh orang yang nggak seberuntung kamu”
“Jangan grogi gitu dong, percaya diri kunci keberhasilan lho”
Kedua pernyataan di atas mungkin sering kamu dengar, baik dari teman atau bahkan diri sendiri, ketika perasaanmu sedang buruk. Kamu diminta untuk selalu berpikiran positif—harus selalu mampu melihat sisi baik dalam segala hal.
Niatnya mungkin baik, supaya kamu dapat lepas dari segala emosi negatif dengan melihat aspek-aspek yang perlu disyukuri dalam hidupmu.
Namun, entah mengapa, kamu justru merasa lebih sedih dan tertekan mendengarnya. Mengapa ya demikian? Sebenarnya, apa sih hal yang benar-benar mampu membuatmu merasa lebih baik?
Self-healing adalah kunci merasa lebih baik
Ternyata, menyembuhkan perasaaan yang kurang menyenangkan itu sumbernya tetap dari diri sendiri, lho. Artinya, apapun pengaruh di luar dirimu yang diberikan terhadapmu untuk membuatmu merasa lebih baik, pandanganmulah yang menentukan apakah pengaruh itu berhasil atau tidak.
Bagaimana caramu melihat suatu masalah dan perasaanmu saat menghadapi masalah itu adalah aspek yang berperan penting untuk memulihkan kondisimu. Oleh karena itu, self healing sebenarnya adalah kunci untuk pemulihan diri.
Kemudian, otak kita juga memiliki mekanisme untuk mengatasi emosi negatif. Jika kamu sering mendengar quotes “Waktu dapat menyembuhkan luka”, sebenarnya penyembuhnya bukan waktu, melainkan kamu sendiri.
Lho, kok bisa? Yap, dengan tindakanmu melupakan dan berdamai dengan itu seiring berjalannya waktu. Melalui tindakan demikian, otak kita membantu kita lepas dari perasaan-perasaan buruk dan lekat dengan perasaan-perasaan baik yang bermakna untuk kita.
Dalam menanggapi pengalaman yang kurang mengenakkan, otak kita secara otomatis kerap mencari alasan untuk membuatnya seakan keputusan yang tepat. Bahkan, otak kita juga kerap menambahkan bumbu-bumbu di ingatan kita sehingga ingatan-ingatan kita terkenang makin baik.
Makanya, kadang nostalgia masa lalu itu terasa sangat manis, bahkan jauh lebih manis dari saat kita benar-benar merasakannya saat itu. Intinya, sebenarnya kita sendiri sudah punya “alat” untuk mengatasi hal tersebut, lho.
Baca juga: Toxic Positivity: Niatnya Baik, Malah Bikin Buruk
Namun, Mengapa Rasanya Sulit?
Kuncinya hanya satu: Kamu harus sadar bahwa mekanisme ini butuh proses. Kita tidak akan merasa lebih baik dengan memaksa diri kita menjadi baik saat itu juga.
Kata-kata seperti yang disampaikan dalam ilustrasi di atas justru tidak akan membantu kita menerimanya dengan baik, tetapi justru membuat kita menyangkal situasi yang ada.
“Aku nggak boleh sedih, aku harus bersyukur. Perasaan sedihku itu salah” justru tidak akan membuatmu berhasil bersyukur saat itu juga, malah akan membuatmu makin tertekan dan tenggelam dalam kesedihan.
Kamu tertekan karena merasa helpless— tidak mampu melakukan yang seharusnya kamu kerjakan. Kamu sedih karena kamu tidak dapat memenuhi standar yang seharusnya bisa kamu lakukan.
Itu membuatmu merasa lemah dan payah. Situasi ini akan membuatmu jauh tidak baik.
Lalu kamu bertanya, bukankah memang yang diharapkan adalah agar aku tidak sedih ya? Mengapa cara itu salah?
Yap, benar. Kita mengharapkan suatu saat emosi negatif akan berganti positif. Namun, kamu harus tahu, bahwa emosi negatif itu pasti ada—malah merupakan emosi yang wajar sebagai tanggapan dari suatu kejadian. Mau sekuat apapun kamu memaksanya untuk hilang dari dirimu, emosi negatif juga adalah respons dari tubuhmu akibat suatu impuls dan hal ini sangat biasa terjadi.
Baca juga: Pikiran Negatif Merusak Hidup Positif
Justru, ketika kamu memaksanya hilang, kamu mengambil posisi melawan respons alami yang tidak dapat dihilangkan dan bahkan melawan dirimu sendiri.
Kenyataan ini membuatmu semakin tertekan dan semakin sedih. Perasaan helpless, lemah, payah, dan perasaan lainnya justru akan membuatmu merasa semakin buruk.
Tapi, Dunia Ini Tidak untuk Orang Lemah Sepertiku?
Pertanyaan ini sering sekali muncul karena kita punya konsep diri ideal yang sangat rinci dan terdengar hebat—kadang malah terdengar tidak manusiawi. Kamu merasa harus terdengar hebat, kuat, dan optimis dalam keadaan apapun karena itu yang dicirikan dalam diri orang hebat.
Karena kamu berpikiran seperti ini, kamu menghambat dirimu untuk mengekspresikan apa yang benar-benar kamu rasakan secara bebas. Kamu berusaha senang meskipun sebenarnya kamu tidak senang dan kamu takut mengungkapkan itu kepada orang lain.
Hal ini, dinyatakan dalam Dr. Max Hammer dalam bukunya Psychological Healing Through Creative Self-Understanding and Self-Transformation, memicu rasa hampa dan ketidakpuasan dalam hidup. Alhasil, rasa sedihmu justru bertambah.
Baca juga: Mengatasi Rasa Hampa dan Kosong
Lalu, Bagaimana Cara Melakukan Self Healing?
Menurut professor psikologi klinis, Max Hammer, PhD, ada beberapa hal nih yang bisa kamu lakukan untuk memaksimalkan kemampuan self-healing-mu agar merasa lebih baik. Berikut tiga cara yang bisa kamu lakukan:
1. Jujurlah kepada diri sendiri
Kamu sekarang tahu bahwa emosi negatif adalah suatu hal yang juga bagian dari hidupmu dan manusia lainnya. Jadi, jujurlah kepada diri sendiri ketika kamu merasakannya.
Kamu tidak perlu menutupi perasaanmu karena embel-embel “seharusnya kan” yang ada di sekitarmu—atau bahkan dalam dirimu sendiri. Apapun yang kamu rasakan, coba untuk menerima perasaan itu.
2. Maknai terhadap yang kamu rasakan
Apa pun yang terjadi dalam hidup ini sering berada di luar kontrol kita. Namun, ada satu hal yang bisa kita kendalikan, yaitu cara kita memandangnya. Segala kesedihan yang kita rasakan dapat kita jadikan pelajaran berharga dengan memandangnya sebagai tahap untuk menjadikan kita lebih baik.
Setelah kamu jujur dengan perasaanmu sendiri, kamu dapat melakukan stop and think, diam sejenak dan berpikir sejenak, tentang apa yang kamu rasakan dan apa yang menurutmu memicu perasaan itu.
Misalnya, ketika kamu marah, kamu dapat mencari penyebab amarahmu itu. Apakah itu karena kamu merasa dikucilkan? Apakah itu karena kamu lelah dengan situasi yang telah terjadi setelah bertubi-tubi?
Lalu, apakah yang dapat kamu pelajari dari tindakan marahmu itu? Apakah kamu rasa marah membuatmu berhasil menyatakan apa yang ada di dalam benakmu dengan baik? Atau, justru itu tidak berhasil menyampaikan pesan yang kau maksud?
Pemahaman bahwa segala yang terjadi punya maksud dan tujuan dapat membuatmu merasa lebih baik. Mencari makna bukanlah hal yang mudah, kamu sangat boleh berbagi cerita dengan teman yang kamu percaya atau berkonsultasi dengan psikolog untuk membantumu lebih baik dalam melakukannya.
Baca juga: Cara Mengontrol Emosi
3. Lepaskan kesedihan masa lalu
Setelah kamu menemukan makna dari kesedihanmu itu, barulah kamu dapat move on dengan baik. Ingat, jangan berusaha melepaskan kesedihan sebelum memulai dua tahapan di atas. Itu namanya bukan melepaskan kesedihan, tetapi melarikan diri.
Mencari kegiatan yang memuaskan dirimu secara sementara tanpa benar-benar berdamai dengan keadaanmu memang rasanya menenangkan, tetapi ketenangan itu tidak akan berlangsung lama.
Akibatnya, kamu justru akan ketergantungan dengan pelarianmu itu setiap kali teringat perasaaan burukmu. Jadi, pastikan kamu sudah benar-benar berdamai sebelum melepaskan, ya!
Nah, sekarang kamu sudah tahu bahwa menyembuhkan perasaan negatif itu datangnya dari diri sendiri. Meskipun demikian, untuk dapat melakukan pemaknaan dengan baik, kamu juga dapat meminta bantuan teman atau psikolog dengan mengikuti Konseling di Satu Persen untuk membantumu melihat persoalan dengan lebih baik.
Kamu bisa mengetahui kondisi kesehatan mentalmu belakangan ini dengan mencoba Tes Sehat Mental. Selain itu, kamu juga bisa ikutan layanan kelas online dari Satu Persen. Di sini kamu akan mendapatkan akses video yang bisa kamu tonton kapanpun dan di manapun! Caranya gimana? Cek aja gambar di bawah ini!
Untuk membantumu move on dengan baik, kamu bisa membaca artikel Satu Persen tentang move on. Kamu juga dapat belajar lebih lanjut tentang bagaimana menghargai diri sendiri dengan nonton video di bawah ini.
Mengatasi emosi negatif memang sulit, tetapi semoga artikel ini bisa membantu kamu menjadi lebih baik, setidaknya Satu Persen setiap hari menuju #HidupSeutuhnya!
Referensi:
Hammer, D. J., & Butler, D. C. (2014). 1. In D. Hammer (Author), Psychological Healing Through Creative Self-Understanding and Self-Transformation (pp. 1-46). Houston, Texas: Publish on Demand Global LLC.
Selective Memory - Why Do We Remember Some Things And Not Others? (2018, April 16). Retrieved July 26, 2020, from https://exploringyourmind.com/selective-memory-why-do-we-remember-some-things-and-not-others https://exploringyourmind.com/selective-memory-why-do-we-remember-some-things-and-not-others/