Editor's Note: Artikel ini mengandung spoiler dari film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Jadi, buat kamu yang anti spoiler dan belum nonton filmnya, kamu bisa coba nonton dulu aja filmnya, ya! Atau, bisa juga coba baca artikel-artikel lain dari Blog Satu Persen. Selamat membaca!:D
Halo, Perseners! Balik lagi sama aku Senja, Part-time Blog Writer di Satu Persen
Belakangan ini ramai sekali diperbincangkan film berjudul “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”. Bagaimana tidak? Film besutan sutradara Edwin ini berhasil memenangkan Golden Leopard, penghargaan tertinggi Festival Film Locarno di Swiss. Istimewanya, film yang diadaptasi dari Novel Eka Kurniawan ini juga berani mengangkat isu-isu sensitif, salah satunya adalah toxic masculinity atau maskulinitas beracun.
Jadi, hari ini aku akan bahas mengenai toxic masculinity. Buat Perseners bisa baca artikel ini sampai sampai selesai supaya dapat pemahaman yang baik tentang toxic masculinity, ya!
Apa itu Toxic Masculinity?
Sebuah penelitian dari Journal of School of Psychology mendefinisikan toxic masculinity sebagai konstelasi sifat-sifat maskulin yang regresif secara sosial, mendorong dominasi, devaluasi perempuan, homofobia, dan kekerasan seksual. Singkatnya, toxic masculinity adalah nilai-nilai yang harus dipegang teguh oleh laki-laki untuk berperilaku atau bersikap sesuai dengan gendernya.
Contohnya sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti laki-laki harus bersikap lebih dominan dari perempuan. Laki-laki harus menunjukkan kekuatan dan kekuasaannya serta pantang mengekspresikan emosi supaya terlihat kuat.
Istilah toxic masculinity dipopulerkan oleh seorang psikolog Amerika Serikat bernama Shepherd Bliss pada tahun 1980-an. Shepherd memisahkan sifat positif dan negatif laki-laki kemudian membedakannya dengan istilah toxic masculinity. Sifat-sifat toxic yang Shepherd maksud adalah laki laki yang tidak bisa mengekspresikan emosi; merasa dominan secara fisik, intelektual, dan seksual; serta menurunkan harkat wanita (devaluasi wanita).
Toxic masculinity dalam film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dapat direpresentasikan, salah satunya dari tokoh Ajo Kawir. Ia dikenal sebagai jagoan dari Bojongsoang yang tidak takut mati. Berkelahi? Katakan saja kapan dan di mana, Ajo Kawir akan siap untuk bertarung.
Dibalik ketangguhannya sebagai petarung andal, ternyata ia menyimpan suatu rahasia besar. Ia sebenarnya adalah seorang impoten. Keadaan itu membuat ia merasa frustasi dan gagal sebagai seorang laki-laki. Sehingga membuat Ajo Kawir kemudian menunjukkan identitas maskulinitasnya sebagai laki-laki yang kuat dan tak terkalahkan.
Ajo Kawir dalam film seakan menunjukkan bahwa laki-laki harus bersikap demikian agar mendapat rasa hormat. Tanpa disadari, pandangan ini malah melestarikan atau melanggengkan budaya patriarki, Perseners! Toxic masculinity dalam diri Ajo Kawir juga tidak sehat dan membatasi geraknya buat berekspresi.
Baca juga: Kesehatan Mental bagi Pria: Cowok Gak Boleh Nangis?
Bahaya Toxic Masculinity
Menurut Ronald F. Levant, psikolog dan mantan presiden American Psychological Association (APA), budaya untuk berperilaku maskulin dapat memberikan efek yang berbahaya. Perilaku tersebut berpotensi terhadap pergaulan bebas dan rendahnya tanggung jawab secara sosial. Toxic masculinity tidak hanya berbahaya bagi anak laki-laki, namun juga pada perempuan. Sifat laki-laki yang lebih dominan dan superior dapat merendahkan hak asasi perempuan dan menimbulkan pelecehan seksual.
Seperti yang udah aku jelasin di atas, toxic masculinity juga dapat membatasi definisi sifat laki-laki untuk mengekspresikan dirinya di dalam masyarakat. Pembatasan definisi tersebut dapat menimbulkan konflik di dalam dirinya dan lingkungan laki-laki tersebut.
Coba Juga: Tes Sehat Mental
Melalui film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, keadaan Ajo Kawir yang impoten jelas menjadi konflik berat baginya. Ajo Kawir terlihat sangat obsesi dengan kejantanannya hingga membuatnya putus asa. Bagaimana tidak? Taruhannya adalah soal keperkasaan.
Ada anggapan dari masyarakat bahwa kejantanan seorang laki-laki dinilai dari alat kelaminnya. Hal ini menjadi semacam kompetisi yang sensitif bagi lelaki, seperti saling membandingkan ukuran alat kelamin. Para laki-laki percaya bahwa alat kelamin yang besar dan panjang menunjukan kemahirannya di atas ranjang. Anggapan ini juga yang membuat Ajo Kawir tak punya nyali untuk mengatakan cinta kepada orang yang ditaksirnya.
Baca juga: Mengenal Apa itu Insecure dan Cara Efektif untuk Mengatasinya
Lantas, Bagaimana Cara Menanganinya?
Berdasarkan pedoman American Psychological Association (APA), organisasi profesi yang merepresentasikan psikologi di Amerika Serikat, diketahui bahwa tekanan sosial terhadap laki-laki menjadi penyebab terjadinya maskulinitas beracun. Sebuah penelitian dari APA juga mengatakan bahwa menghilangkan pandangan dan ekspektasi budaya tentang laki-laki dapat menjadi cara untuk mengurangi toxic masculinity.
Lantas, bagaimana caranya?
1. Edukasi Diri Sendiri
Untuk menangani toxic masculinity, hal yang perlu Perseners lakukan adalah tidak mempersempit bagaimana laki-laki harus berperilaku atau bersikap. Berhenti untuk terlihat selalu kuat, tangguh, dan dominan dalam setiap hal. Coba untuk memperluas konsep baru tentang laki-laki agar tidak terkekang sama definisi kuno.
Kalian bisa belajar mengenai kesadaran emosi, seperti kebaikan, kelembutan, ketergantungan, dan menerima kelemahan diri apa adanya. Sehingga kalian sebagai laki-laki dapat menerima diri sendiri secara utuh.
2. Konseling
Buat Perseners yang merasa berada dalam tahap ini atau merasa ragu tidak mendapat arahan yang baik apabila hanya menyelesaikan masalah sendiri. Kalian bisa kok berkonsultasi dengan Psikolog dari Satu Persen dengan klik banner di bawah ini.
Kalian nantinya akan ditangani secara one-on-one oleh psikolog lulusan S2 profesi psikolog klinis dewasa. Sehingga, konseling akan membantu kalian untuk mendalami peran laki-laki secara lebih terarah dan terpercaya. Kalian juga akan dibantu untuk belajar mengenai kesadaran emosi lebih baik.
Oh iya, setelah psikolog memberikan diagnosis pasti, Perseners akan diberikan asesmen yang lebih mendalam atau terapi tertentu jika dibutuhkan. Satu Persen di sini akan selalu ada buat Perseners berkembang paling tidak satu persen setiap harinya.
Kalau kalian pengen nonton penjelasan lain tentang toxic masculinity ini, kalian juga bisa nonton video dari YouTube Satu Persen di bawah ini, ya!
So, sekian dulu dari aku, semoga artikel ini dapat membantu kalian menjalani hidup seutuhnya. Akhir kata, aku cuman mau bilang kalau: “You have to be man before you can be a gentleman.”
By the way, film ini sebenarnya masih tayang di bioskop, Perseners. Kalian bisa menikmati film ini di bioskop kesayangan, ya! Sampai jumpa di artikel selanjutnya!
Referensi:
https://www.childrenssociety.org.uk/what-we-do/blogs/how-toxic-masculinity-affects-young-people
https://www.verywellmind.com/what-is-toxic-masculinity-5075107
https://edgar.ae/articles/how-to-identify-and-deal-with-toxic-masculinity/