Emotional Eating: Makan Banyak karena Dorongan Faktor Psikologis

Pemahaman Diri
Angeline Harjono
20 Des 2021

Hai, Perseners! Gue Angel, Blog Writer di Satu Persen yang siap menemani kalian dalam blog kali ini. Semoga kalian juga sehat-sehat terus, ya.

Sejak pandemi, banyak orang yang terpaksa menetap di rumah aja. Mulai dari bekerja, belajar, bahkan ketemuan sama teman secara virtual. Alhasil, kurangnya interaksi langsung dengan orang lain memicu rasa jenuh dan stres, deh.

Pengaruh tekanan emosi dapat memungkinkan orang untuk mengubah atau melakukan tabiat baru sebagai bentuk pelampiasan. Misalnya, nonton film, baca buku, atau olahraga. Nah, gimana kalau tabiat barunya berkaitan dengan makanan? Tapi, bukan memasak atau sekedar nonton video mukbang.

Contoh Emotional Eating
Foto: Pinterest.com

Siapa di sini yang juga pernah ngerasain ini? Kalau jawabannya iya, penasaran nggak sih kenapa ini bisa terjadi sama diri sendiri? Padahal, baru makan beberapa menit lalu, tapi ada sensasi lapar yang seolah mengganjal.

Awalnya, mungkin lo bakal berasumsi kalau jumlah porsi makanannya masih kurang dari kapasitas perut. Ada juga yang mungkin ngira ini merupakan salah satu bagian dari fase pertumbuhan. Hmm… Gimana kalau ternyata ini bukan rasa lapar karena sekedar perut kosong?

Sebuah penelitian oleh Cinzia Cecchetto, dll (2021) menemukan bahwa tingkat konsumsi pada sebagian masyarakat Italia mengalami kenaikan akibat depresi tinggi, kecemasan, dan kualitas hubungan dengan sesama. Bahkan, faktor pemicu lainnya juga meliputi rasa stres yang berlebihan.

Inilah yang disebut dengan fenomena emotional eating, yakni kebiasaan makan banyak akibat dorongan faktor psikologis. Biar lebih jelas, gue bakal bahas mulai arti, ciri-ciri, dan tips mengatasinya. Jadi, simak terus artikel ini hingga akhir, ya!

Apa itu Emotional Eating?

Apa itu emotional eating?
Foto: Pinterest.com

Pada dasarnya, emotional eating adalah metode pelampiasan kebutuhan emosional melalui makanan. Akan tetapi, ini sebenarnya nggak memperbaiki masalah psikologis seutuhnya. Sebaliknya, ini justru bisa membuat kita merasa lebih parah.

Emotional eating nggak hanya sekedar memuaskan rasa lapar secara fisik. Pasalnya, banyak orang menerapkan tabiat makan ini untuk meredakan rasa stres atau mengapresiasi diri sendiri. Misalnya, makan junk food atau cemilan setelah stres bekerja seharian.

Dengan adanya emotional eating, lo jadi cenderung tergoda untuk makan terus-menerus. Padahal, kondisi badan sebenarnya lagi nggak membutuhkan asupan makanan. Apabila dilakukan berlebihan, ini dapat menimbulkan berbagai risiko pada kesehatan tubuh.

Selanjutnya, kita bakal bahas kumpulan ciri-ciri yang menandakan emotional eating.

Baca Juga: Penyebab Stres dan Cara Menghilangkannya

Ciri-ciri Emotional Eating

Ciri-ciri emotional eating
Foto: Pinterest.com

1. Dapat terjadi secara mendadak

Pertama, rasa lapar akibat dorongan emotional eating ini dapat terjadi secara mendadak. Terlebih, rasanya seakan darurat sehingga lo semakin terdorong untuk makan. Berbeda dengan lapar murni secara fisik, di mana kejadiannya bisa bertahap dan nggak bersifat terlalu darurat.

2. Hanya menargetkan makanan tertentu

Ketika mengalami rasa lapar secara fisik, biasanya lo nggak bakal keberatan mengonsumsi jenis makanan apa pun. Ini juga termasuk makanan sehat seperti sayuran. Akan tetapi, tabiat emotional eating cenderung menargetkan makanan tertentu yang manis atau penuh MSG alias mecin. Lantaran, kandungan jenis makanan ini dapat memicu adrenalin pada tubuh.

3. Dapat berujung menjadi tabiat makan tanpa batas

Pernah ngelampiasin emosi lewat makanan dan akhirnya kelewatan batas? Inilah salah satu ciri emotional eating. Saking nikmatnya, lo sendiri jadi nggak sadar dengan tabiat makan yang cenderung lebih bebas. Padahal, mindful eating bisa menumbuhkan rasa apresiasi terhadap makanan sekaligus meningkatkan hidup sehat, lho.

Baca Juga: Mindful Eating: Kebiasaan Menghargai Makanan Agar Hidup Lebih Sehat

4. Sumber rasa lapar bukan berada di perut

Jika rasa sakit atau bunyi yang muncul di perut ketika lapar, emotional eating akan lebih mengutamakan gambaran terkait kondisi makanan. Contohnya, tekstur makanan, rasa, hingga baunya. Alhasil, idaman ini serasa nggak bisa keluar dari kepala kecuali berhasil mengonsumsi makanannya.

5. Nggak mudah merasa kenyang

Terakhir, ada kemungkinan lo nggak mudah merasa kenyang setelah melakukan emotional eating. Pasalnya, lo cenderung ingin makan terus menerus hingga merasa kekenyangan yang kurang nyaman. Makanya, ini dapat berujung pada tabiat makan tanpa batas.

Setelah tahu ciri-cirinya, lo bisa menerapkan solusi yang tepat lewat bahasan selanjutnya.

Cara Mengatasi Emotional Eating

Cara Mengatasi Emotional Eating
Foto: Connie J. Sun

1. Tuliskan pada jurnal pribadi

Salah satu cara utama untuk mengatasi emotional eating adalah menuliskannya pada jurnal pribadi. Saat lo mencatat tiap jenis makanan dan kapan memakannya, ini akan memudahkan lo dalam mengetahui faktor penyebabnya. Cukup catatkan pada notebook kecil atau gunakan aplikasi yang tepat.

Mungkin awalnya ini akan menjadi tantangan tersendiri untuk lo. Akan tetapi, perlahan-lahan lo bakal terbiasa dalam mengenali setiap jenis makanan yang dikonsumsi oleh tubuh. Terlebih, lo bisa mengetahui pola emosi lebih efektif.

2. Mulai sisihkan jenis makanan yang memicu emosi

Ingat, emotional eating sering menargetkan makanan yang manis atau berbahan mecin. Maka dari itu, mulai sisihkan jenis makanan yang bisa memicu emosi. Selain itu, sebaiknya hindari bepergian ke supermarket setiap kali merasa galau.

Ketika berhasil memisahkan diri dari jenis-jenis makanan ini, lo dapat memecahkan rantai emotional eating dengan maksimal. Ditambah lo bakal bisa berpikir lebih jernih sebelum membuat keputusan tanpa alasan. Yok dicoba, Perseners!

emotional eating
Source: Pinterest.com

3. Hindari distraksi yang nggak relevan

Ada kemungkinan emotional eating ini akan menumbuhkan tabiat makan tanpa kesadaran penuh. Terutama ketika lo sering makan depan tv, handphone, atau laptop. Oleh sebab itu, coba hindari distraksi yang nggak relevan agar lo lebih sadar dengan pola makan yang diterapkan.

Perhatikan kondisi makanan, jumlah gigitan, dan tingkat rasa lapar pada tubuh. Nanti lo bakal bisa tahu apabila lo sedang melakukan emotional eating. Sebagai tip tambahan, lo bisa fokus mengunyah sebanyak 10-30 kali sebelum menelan agar perut lebih cepat kenyang.

4. Terapkan diet sehat

Setelah menyadari pola emotional eating, waktunya menerapkan diet sehat. Dengan nutrisi yang tepat, tentu ini bisa jadi asupan energi yang kuat bagi tubuh. Ditambah lo bisa lebih mudah membedakan rasa lapar yang dipicu sama emosi dan rasa lapar asli.

Jika masih kesulitan, lo bisa mulai beralih ke cemilan yang sehat. Sebagai contoh, buah-buahan, sayuran, dan makanan rendah kalori lainnya. Semoga lo tetap sehat dan semangat, ya.

Baca juga: 5 Makanan Ini Bisa Bantu Kamu Menghilangkan Stres

5. Cari dukungan dari orang lain

Kalau masih belum berhasil, lo bisa mencari dukungan dari orang lain, nih. Khususnya untuk menemani kesedihan dan kegalauan selama di rumah aja. Mulai dari keluarga, saudara, atau teman.

Coba Juga: Tes Kualitas Makan

Selain itu, lo juga bisa menemukan solusinya lewat konseling di Satu Persen. Dengan berbincang bareng psikolog profesional, lo bakal bisa mengatasi tabiat yang mengganggu kehidupan sehari-hari ini. Langsung klik banner di bawah ini, ya!

CTA-Blog-Post-06-1-11

Mungkin YouTube Satu Persen belum punya video yang membahas tentang emotional eating ini, tapi lo juga bisa tonton video di bawah buat menyeimbangkan antara kesehatan mental dan pola makan lo, ya!

Sekian dulu buat blog kali ini. Semoga informasi ini bermanfaat buat Perseners semua. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

Referensi:

Smith, M., M.A., Robinson, L., Segal, J., Ph.D., dan Segal, R., M.A. (2021). Emotional Eating and How to Stop It. https://www.helpguide.org/articles/diets/emotional-eating.htm

Marcin, A. (2018). Emotional Eating: What You Should Know. https://www.healthline.com/health/emotional-eating#How-to-stop-emotional-eating



Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.