Kenapa Hidup Terasa Menderita?

Artikel Terbaik
Ocky Jhon
8 Sep 2023

Ngomongin soal kehidupan, nggak lepas sama yang namanya masalah. Masalah di kerjaan, teman, atau sekolah dan hal ini wajar banget terjadi karena kita berinteraksi sama manusia lain.

Masalah-masalah yang ada ini ngebuat kita kadang jadi ngerasa sedih, nggak berdaya atau bahkan menderita banget, meskipun mungkin kehidupan kita lagi di fase biasa atau tenang aja.

Terus, kenapa sih kita bisa ngerasa menderita banget, meskipun hidup kita lagi fine-fine aja? So, buat lo yang lagi ngerasa kaya gini, lo ada di artikel yang tepat. Kali ini, gue akan ngebahas soal penyebab kita ngerasa menderita. Baca artikel ini sampai habis supaya dapat insight.

Rasa sakit gak selamanya buruk

Sebenarnya, rasa sakit atau penderitaan itu juga nggak selamanya buruk, kok.  Karena rasa sakit itu dibutuhin sama kita supaya bisa survive atau bertahan hidup. Nah, kalau menurut Psikolog sosial Universitas Harvard Dan Gilbert menjelaskan dalam bukunya Stumbling Upon Happiness, penderitaan manusia itu terbagi menjadi 2 level.

Yang pertama, penderitaan krusial yang paling basic dan menyangkut hidup dan mati. Misalnya kekurangan makanan, air, dan tempat tinggal, cedera, penyakit, dan kematian. Nah, rasa sakit yang kita rasain itu sebenernya kita butuhin biar kita bisa mencari solusi buat keluar dari situasi genting itu, biar kita bisa tetap hidup.

Hal ini nggak terlepas dari sistem kerja otak kita. Penderitaan atau rasa sakit yang kita alamin itu ngebuat otak kita jadi aktif buat nyari solusi, supaya kita bisa menghindari ancaman. Dan hal ini udah alamiah ada, turun-temurun dari zaman nenek moyang.

Ya, misalnya kalau di zaman dulu ya, sebelum tidur nenek moyang kita udah memikirkan hal terburuk yang akan terjadi. Ya karena dulu mereka tinggal di goa, masih banyak hutan, dan hewan buas. Makanya mereka selalu sedia tombak di samping meskipun mereka lagi tidur. Tujuannya ya biar nanti kalau tiba-tiba ada hewan buas menyerang, mereka bisa melindungi diri dengan alat itu dan supaya tetap hidup.

Cuma sayangnya, di dunia modern dan serba canggih ini, insting waspada yang udah diturunin nenek moyang ternyata bisa jadi bumerang buat diri kita. Hal ini karena memang sistem kerja otak kita udah terprogram buat terus-menerus meninjau peristiwa negatif, atau mikirin kemungkinan risiko terburuk yang akan terjadi di masa depan. Meskipun program otak ini dibutuhin biar kita bisa bertahan, kalau keseringan mikirin hal negatif ya malah berdampak negatif ke diri sendiri.

Padahal ya kalau dilihat, hidup di modern ini enak, makanan nggak terlalu sulit, kita juga nggak harus tinggal di goa buat bertahan hidup, dan akses informasi gampang banget didapat. Cuma yang jadi permasalahan adalah kebanyakan berita yang beredar itu punya kesan negatif. Misalnya berita bencana alam, kekerasan seksual, atau belakangan ini deh perang Rusia sama Ukraina yang bikin orang khawatir bakalan jadi perang dunia ketiga.

Semua hal itu, akhirnya menyebabkan penderitaan level 2. Di tahap ini penderitaan yang kita rasain itu karena kita keseringan merenungkan hal-hal negatif tadi, baik itu dari masa lalu sampai masa sekarang.

Ditambah lagi ya, kita sendiri punya masalah pribadi di hidup yang ada di depan mata dan harus disegera diselesaikan. Entah itu di kantor, sama temen sendiri, problem keluarga, atau sama pasangan yang menambah beban pikiran kita jadi makin banyak.

Hal ini akhirnya bikin kita ngerasa capek, marah, dan sebel. Karena khawatir tentang potensi ancaman yang bakalan berdampak ke diri kita, ngebikin kita jadi “terjebak di persepsi dunia itu jahat atau suram”.

Dan ini tuh bisa 2 extrem gitu.

Lu jadi SJW yang nyebelin, dan gak bisa ngerti gitu perspektif kenapa orang berbisnis, kenapa orang mau investasi dan jadi sukses. Atau lu jadi motivator yang ngerasa semua orang bisa sukses, tanpa mempertimbangkan kemiskinan struktural. Menurut gue keduanya pandangan yang krg tepat sih

Kalo yang kiri ya semuanya bakal jadi salah buat lu. Mau pake motor listrik, salah, karena listriknya. Lu jadi gak percaya progress. Kalo yang kanan? Lu jadi extrim juga sih, menganggap bahwa kapitalisme, bisnis, dan duit bisa nyelesain segalanya, padahal nggak juga, kadang2 ya perlu intervensi pemerintah atau demonstrasi. Ini bisa kita liat sekarang sih ya.

Terus solusinya gimana?

Sebenarnya nggak ada salahnya mikirin “hal terburuk yang bakalan terjadi” sebagai pencegahan, kaya intilah “sedia payung sebelum hujan”. Tapi, melihat banyak dampak negatifnya kalau udah overload apalagi ngaruh ke aktivitas sehari-hari, lebih baik langsung cari solusi.

Cara yang pertama, kita perlu sadar sama apa yang sedang kita hadapi. Coba buat fokus ke realita dibandingkan imajinasi kita. Coba buat renungin lagi, kira-kira pikiran dan ketakutan itu bener-bener terjadi nggak sih di waktu dekat ini? Atau cuma pikiran gue aja? Kalau jawabannya enggak, ya kita belajar buat fokus ke realita yang lagi dijalani.

Atau bisa juga pakai  cara yang direkomendasikan Ad Kerkhof, Psikolog klinis Belanda,yaitu pakai metode "worry box" atau “scheduling your worry time". Dasarnya, yaitu bikin jadwal kapan lo mikirin suatu masalah. Kalau misalnya masalah itu nggak ada di realita, hanya dipikiran kita aja, kita perlu kesampingkan pikiran itu dulu. Bayangin aja kalau semua skenario buruk yang lo bikin dimasukin ke dalam kotak dan nggak dibuka sampai batas waktu tertentu.

Kalau misalnya masih susah dan emang butuh bantuan nggak ada salahnya buat ikutan layanan satu persen lainnya. Lo bisa ikut mentoring kalau memang perlu, atau kalau misalnya kecemasan lo ini udah sampai bikin lo menyakiti diri, ya ke psikolog.

Gimana caranya tahu kalau tingkat overthinking atau kecemasan kita ini udah berlebihan? Sebenernya ciri-cirinya bakalan beda setiap orang, kaya Bisa ikutan tes tingkat overthinking di website Satu Persen. Memang nggak 100% akurat, tapi bisa membantu lo buat aware sama diri sendiri. Kalau misalnya udah tinggi hasilnya, lo bisa ikutin cara Ad Kerkhof tadi atau ke Layanan Satu Persen.

Dan hal ini juga jadi concern Satu Persen, buat ngasih edukasi ke kalian semua yang jelas berdasarkan kurikulum satu persen. Tujuannya biar kita bisa mencapai hidup yang seutuhnya.

Sekian artikel kali ini, Gue Jhon dari Satu Persen, thanks!

Reference:

Brooks, M. (2022, Feb. 9). Why Do We Suffer More Than We Need To? Psychology Today. Retrieved April 8, 2022, from https://www.psychologytoday.com/us/blog/tech-happy-life/202202/why-do-we-suffer-more-we-need

Is Watching the News Bad for Mental Health? (2020, May 18). Verywell Mind. Retrieved April 12, 2022, from https://www.verywellmind.com/is-watching-the-news-bad-for-mental-health-4802320

Popova, M. (2016, May 15). What the Psychology of Suicide Prevention Teaches Us About Controlling Our Everyday Worries . The Marginalian. Retrieved April 12, 2022, from https://www.themarginalian.org/2013/07/29/kerkhof-worry-technique/

Popova, M. (2018, November 13). A Stoic's Key to Peace of Mind: Seneca on the Antidote to Anxiety . The Marginalian. Retrieved April 12, 2022, from https://www.themarginalian.org/2017/08/27/seneca-anxiety/

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.