Halo Perseners! Ketemu lagi dengan aku, Rachel!
Bagaimana kabar kamu saat ini? Aku harap kamu baik-baik saja, ya!
Pada kesempatan kali ini, aku mau tanya sama kamu:
Pernah gak sih kamu merasa ada sesuatu yang salah sama diri kamu? Mungkin kamu memiliki kesulitan untuk memercayai orang di sekitar kamu. Kesulitan ini akhirnya membuat kamu jadi sulit untuk terbuka dengan orang lain.
Di beberapa aspek, kamu merasa hidupmu baik-baik saja, tapi dalam aspek lain, kamu mengalami kesulitan untuk berfungsi dengan normal. Kamu gak tau kenapa kamu bisa punya trust issues karena kamu merasa bahwa relasi mu dengan orang lain selama ini baik-baik saja.
Di sini aku ingin menyampaikan bahwa terkadang it is not the way it is.
Mungkin sebenarnya, kamu memiliki pengalaman buruk yang pernah terjadi, tapi sesaat pengalaman itu terjadi, kamu langsung “melupakan” pengalaman tersebut supaya kamu bisa hidup dengan lebih bahagia.
Dan seiring dengan bertambahnya waktu, pengalaman buruk yang kamu “lupakan” ternyata tidak benar-benar kamu lupakan. Hal ini muncul melalui perilaku, emosi, atau mungkin pikiran-pikiranmu sekarang.
Dalam kata lain, kamu sebenarnya telah merepresikan memori atau perasaan kamu, dan perlahan-lahan kenangan-kenangan itu mulai muncul ke permukaan.
Apa itu represi?
Istilah represi pertama kali muncul dalam teori Psikoanalisis-nya Sigmund Freud. Teori Psikoanalisis berbicara tentang bagaimana perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh ketidaksadaran atau alam bawah sadarnya.
Represi merujuk pada mekanisme pertahanan yang kamu lakukan ketika dihadapkan dengan masalah. Tujuan dari tindakan represi ini adalah untuk menjauhkan hal-hal yang gak mengenakkan dari kesadaranmu dan mencegah kecemasan yang kamu alami.
Tapi, pikiran yang direpresikan ini masih dapat memengaruhi perilaku, tetapi orang yang merepresikan pikirannya belum tentu menyadari bahwa peristiwa tersebut pernah terjadi. Sebagai contoh: Seorang anak yang seringkali mengalami kekerasan di rumah. Ia akan merepresikan memorinya dan tumbuh tanpa mengingat kekerasan yang pernah ia alami. Namun, hal ini bisa berdampak pada kesulitannya untuk menjalin relasi dengan orang lain.
Bagaimana cara kerja represi?
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai represi, aku ingin menjelaskan tiga sistem penting dalam teori Psikoanalisis Sigmund Freud yang melahirkan istilah ini.
Sistem pertama dalam teori Psikoanalisis Sigmund Freud adalah Id. Id merujuk pada alam ketidaksadaran manusia. Id bekerja dengan pleasure principle, dimana id akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasan dan meminimalisasi rasa sakit.
Namun, manusia tidak dapat terus memuaskan keinginannya, karena pemuasan ini mungkin dapat berdampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain. Sebagai contoh: seorang anak tidak mungkin makan permen setiap hari karena dapat merusak giginya.
Oleh sebab itu, id berkembang menjadi ego atau sistem yang selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan dengan cara yang sesuai dengan peraturan yang ada. Seorang anak yang suka makan permen, mungkin mengganti tindakan makan permen dengan menghisap jarinya.
Sistem terakhir dalam teori Psikoanalisis Sigmund Freud adalah superego. Superego merupakan tempat yang berisi aturan dan regulasi bagi perilaku yang dipelajari melalui orang tua atau lingkungan. Superego ini berperan sebagai “filter” supaya perilaku yang ditunjukkan oleh individu sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kalau kamu masih bingung mengenai id, ego, dan superego, kamu dapat melihat gambar di bawah ini:
Dalam kata lain, id adalah dorongan dari alam ketidaksadaran. Sedangkan, superego adalah filter yang menyaring apakah dorongan tersebut bisa ditunjukkan dalam perilaku atau tidak, dan ego adalah wujud dari perilaku yang lolos dari filter dan ditunjukkan dalam kesadaran.
Nah, dalam praktiknya, ego selalu memiliki dengan id dan superego, dimana id selalu ingin melakukan dorongan tertentu, tapi superego selalu memberikan sense of morality. Ketika ego bertentangan dengan id dan superego, tindakan kamu pada akhirnya dapat direpresikan ke ketidaksadaran.
Misalnya: Seseorang memiliki phobia terhadap ketinggian. Ia selalu mengalami ketakutan saat berada di tempat yang tinggi, padahal ia hanya berada di lantai dua rumahnya.
Jika ditinjau dari perspektif Sigmund Freud, hal ini mungkin terjadi karena ia pernah jatuh terguling di tangga. Pengalaman terjatuh ini telah ia represikan dan diganti menjadi phobia terhadap ketinggian.
Selain phobia, represi juga dapat terjadi pada orang yang pernah mengalami pelecehan seksual. Dari beberapa penelitian yang aku baca, diketahui bahwa orang yang pernah mengalami pelecehan seksual tidak jarang dapat hidup tanpa mengingat pelecehan yang pernah dialami.
Ingatan ini seolah-olah tidak ada. Tetapi ketika mereka diperhadapkan dengan situasi tertentu, seperti: disentuh dengan lawan jenis, mereka tidak ragu untuk langsung memukul tangan yang menyentuh mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya mereka telah menekan peristiwa pelecehan seksual ke ketidaksadarannya.
Nah, peristiwa ini mungkin berhubungan sama apa yang kamu alami saat ini. Trust issues, rasa takut ditinggalkan oleh orang lain, atau kesulitan dalam menjalin relasi, mungkin saja disebabkan karena pengalaman menyakitkan yang pernah kamu alami.
Pikiran, ingatan, atau perasaan yang dirasa terlalu menyakitkan, telah kamu “tekan” ke alam bawah sadar supaya kamu dapat melupakan semua peristiwa itu.
Jadi, meskipun kamu lupa tentang rasa sakitnya, informasi yang telah kamu represikan malah memengaruhi tingkah laku kamu saat ini.
Selain memengaruhi perilaku, represi juga dapat menyebabkan dampak lain. Aku akan coba jelaskan:
Apa saja dampak dari represi?
Represi dapat menyebabkan kecemasan, rasa sakit, ketakutan, dan kesulitan psikologis. Jika kamu pernah dikhianati oleh teman dekat atau pasangan, kamu mungkin memiliki trust issues. Akhirnya, kamu mudah cemas dan takut dalam relasi yang sedang kamu jalani.
Kamu takut kalau temanmu membicarakan sesuatu yang buruk tentang kamu, atau mungkin kamu takut kalau pasanganmu selingkuh dengan orang lain tanpa sepengetahuanmu.
Perasaan-perasaan yang kamu alami, akhirnya membuat kamu susah tidur, berperilaku impulsif, sehingga kamu mengalami kesulitan psikologis.
Dalam beberapa aspek, represi juga dapat menyebabkan mimpi buruk. Menurut Sigmund Freud, mimpi yang kamu alami mungkin saja mencerminkan rasa takut, kecemasan, dan sesuatu yang benar-benar kamu inginkan.
Mimpi itu sendiri terdiri dari dua aspek, yaitu manifest content dan latent content. Manifest content adalah kondisi dimana kita mengingat mimpi yang kita alami. Sedangkan, latent content merujuk pada makna simbolik yang terdapat dalam mimpi.
Makna simbolik pada mimpi tersebut dapat diterjemahkan dengan terapi Psikoanalisis. Di sini, peran terapis muncul untuk membantu kita mengungkapkan makna dari mimpi yang dialami.
Sebagai contoh: seorang siswa SMA bermimpi bahwa ia sedang berada pada sebuah mobil tanpa pengemudi. Ketika lampu merah berubah merah, ia tidak dapat menghentikan mobil tersebut.
Dari contoh yang aku ungkapkan mengenai siswa SMA, terapis menerjemahkan mimpi tersebut sebagai konflik dalam memilih karir. Mobil yang terus bergerak dapat digambarkan sebagai simbol dari masa depan yang tidak ia ingini. Siswa tersebut tidak dapat memberhentikan mobil tersebut kecuali kalau ia mengisi tempat pengemudi. Dalam kata lain, siswa tersebut harus segera menentukan karier yang ia inginkan.
Selain muncul melalui mimpi, represi juga dapat muncul melalui sebuah peristiwa yang disebut sebagai “slip of tongue”. Slip of tongue adalah kesalahan yang terjadi saat seseorang mengucapkan sesuatu yang berbeda dari apa yang sebenarnya ingin ia ucapkan.
Menurut teori Psikoanalisis, kesalahan ini dapat terjadi karena kamu ingin mengekspresikan sesuatu tapi kamu tidak dapat mengekspresikan hal tersebut, atau karena kamu memiliki perasaan yang tidak kamu sadari.
Misalnya, seorang laki-laki tidak sengaja memanggil pasangannya dengan sebutan “Mama”. Hal ini mungkin disebabkan karena ia memiliki kerinduan terhadap ibunya yang telah lama meninggal.
Sampai di titik ini, mungkin kamu mungkin bisa relate dengan hal-hal yang telah aku jelaskan, dan kamu mungkin bertanya-tanya:
Bagaimana cara mengatasi represi?
Jawabannya simple: jangan memendam pikiran, ingatan, atau perasaan menyakitkan yang sedang kamu alami.
Penting untuk kamu mengekspresikan pengalaman dengan cara yang sehat, bukan merepresikan. Dengan mengekspresikan, kamu benar-benar menyalurkan emosi negatif dan rasa sakit yang kamu alami. Sebaliknya, represi hanya menghilangkan perasaan negatif secara temporer atau sementara saja.
Kamu dapat mengekspresikan pengalaman yang kamu alami dengan cara berteriak, lompat-lompat, berlari keliling kompleks tempat tinggalmu, atau menulis.
Intinya, keluarkan saja dulu semua hal yang kamu alami.
Selain itu, kalau kamu masih mengalami kesulitan dalam mengekspresikan perasaan kamu atau kalau kamu merasa memiliki kesulitan untuk berfungsi secara normal, aku mau ingatkan kalau perasaan ini wajar untuk kamu alami.
Kalau kamu perlu tempat untuk menceritakan permasalahan atau kendala yang kamu alami, aku mau menyarankan kamu untuk menghubungi tenaga profesional, karena kamu pantas untuk mendapatkan pertolongan.
Satu Persen sendiri menyediakan layanan Konseling bersama Psikolog Satu Persen. Di sini, Satu Persen hadir dengan tujuan untuk membantu Perseners dalam mengatasi permasalahan yang sedang dialami.
Dengan ikut layanan konseling ini, kamu bisa konsultasi one-on-one dengan Psikolog yang bekerjasama dengan Satu Persen dan sudah terbukti kredibilitasnya.
Melalui sesi konsultasi ini, kamu dapat dibantu untuk mengetahui core problem atau permasalahan utama yang menyebabkan kamu sulit untuk berfungsi dengan baik. Selain itu, kamu juga akan dibantu untuk menyelesaikan permasalahan kamu.
Sebelum sesi konsultasi, kamu akan diberi asesmen pra-konseling yang dapat membantu Psikolog untuk mengetahui keluhan kamu. Kamu juga akan mendapatkan interpretasi psikotes yang dapat membantu kamu untuk memahami kepribadian, tingkat stress dan kecemasanmu, dan bahkan kamu dapat mengetahui kemampuanmu dalam mengontrol dan mengekspresikan amarah.
Setelah sesi konsultasi sendiri, kamu akan mendapatkan diagnosis psikologis dan terapi yang sesuai dengan permasalahan yang kamu alami. Kamu juga akan dibantu untuk mengatasi permasalahan kamu dengan pemberian lembar kerja atau worksheet. Dengan worksheet ini, kamu akan dibantu untuk merancang hal-hal apa saja yang perlu kamu capai untuk penyelesaian masalah setelah sesi konsultasi selesai.
Kalau kamu perlu bantuan Psikolog untuk membantu proses healing mu, kamu bisa langsung klik gambar di bawah ini!
Kamu juga bisa mengunjungi Instagram @konsultasi.satupersen untuk mengetahui informasi-informasi seputar layanan konsultasi ini.
Kalau kamu ingin mengetahui kondisi kesehatan mentalmu akhir-akhir ini, kamu bisa mencoba Tes Sehat Mental gratis dari Satu Persen. Pada akhirnya, sebagai penutup, aku mau mengingatkan bahwa tidak apa-apa kalau kamu sedang merasa tidak baik-baik saja. Tidak apa-apa kalau kamu sedang merasa bahwa hidupmu buruk. Tapi, jangan lupa untuk tetap berharap ya! Karena beautiful things takes time.
Referensi:
Cherry, K. (2020, February 18). Repression as a defense mechanism. Very Well Mind. Retrieved from https://www.verywellmind.com/repression-as-a-defense-mechanism-4586642.
Good Therapy. (2015, August 21). Repression. Retrieved from https://www.goodtherapy.org/blog/psychpedia/repression#:~:text=Sigmund%20Freud%20originally%20developed%20the,becomes%20unaware%20of%20its%20existence.
Good Therapy. (2016, February 2). Dream analysis. Retrieved from https://www.goodtherapy.org/learn-about-therapy/types/dream-analysis#:~:text=Psychoanalysis%3A%20In%20psychoanalytic%20theory%2C%20dreams,%2C%20unconscious%20desires%2C%20and%20conflicts.&text=Manifest%20content%20includes%20information%20from,meaning%20embedded%20within%20the%20dream.
Nolen-Hoeksema, S. (2013). Abnormal psychology. New York, America: McGraw-Hill.
Shipp, L. (2020, March 9). What is repression? Psychology, example, and causes and effects. ReGain. Retrieved from https://www.regain.us/advice/psychology/what-is-repression-psychology-example-and-causes-and-effects/.