Social Loafing: Gimana sih Cara Mengatasi Malas Kerja Kelompok?

Produktivitas
Anggreliani Utami
3 Des 2021
Social loafing - malas kerja kelompok
Satu Persen - Social Loafing: Cara Mengatasi Malas Kerja Kelompok

Halo, Perseners! Apa kabar? Semoga kalian sehat selalu, ya.

Pernah nggak sih ketika sedang mengikuti Zoom meeting yang berisi banyak partisipan, kamu otomatis off-cam dan mute Zoom kamu? Kamu jadi nggak merasa harus memberikan ide-ide atau mempersiapkan pertanyaan karena berpikir orang lain pasti akan melakukannya.

social loafing meme - meme malas kerja kelompok
Source: Pinterest

Atau kamu punya teman yang suka tiba-tiba ngilang dan nggak ada kabar saat ada tugas kelompok? Di-chat lewat Whatsapp cuma di-read, diajak kerja kelompok nggak pernah muncul, atau di saat diskusi malah sibuk main handphone. Menjengkelkan banget, kan?

Peristiwa kayak gini pasti pernah dialami oleh semua orang. Saat ada tugas kelompok, pasti nggak semua anggota mengeluarkan usaha yang sama untuk menyelesaikan tugas tersebut. Ada yang semangat 45 cari materi sampai bikin PPT, tapi ada juga yang cuma haha-hihi dan numpang nama.

Nah, fenomena inilah yang disebut dengan social loafing atau kemalasan sosial. Dan social loafing adalah kecenderungan individu untuk mengeluarkan usaha yang lebih sedikit saat bekerja secara kolektif daripada secara individual.

Sebelumnya perkenalkan, aku Anggi, Part-time Blog Writer Satu Persen, dan melalui artikel debutku di Satu Persen ini, aku akan membahas lebih dalam mengenai social loafing. Mulai dari apa sih kemalasan sosial itu, apa penyebabnya hingga cara untuk mengatasinya. Jadi, simak baik-baik ya, supaya jadi lebih paham!

Apa itu Social Loafing?

Social Loafing
Source: Twitter @Deepuasok

Social loafing atau kemalasan sosial pertama kali dicetuskan oleh Max Ringelmann, seorang ahli teknik pertanian dari Perancis. Pada tahun 1913, Ringelmann tertarik untuk meneliti cara agar para petani dapat memaksimalkan produktivitas mereka.

Dalam penelitian tersebut, Ringelmann meminta sekelompok orang untuk menarik seutas tali. Ia berharap, semakin banyak orang yang menarik tali, maka kekuatan yang dihasilkan akan semakin besar. Namun, hasil yang didapatkan justru sebaliknya. Dia menemukan bahwa sekelompok orang itu justru menarik tali lebih kuat saat mereka sendirian, daripada saat mereka melakukannya secara berkelompok.

Penelitian serupa kemudian dilakukan oleh beberapa peneliti lainnya di tahun 1974. Namun, berbeda dengan penelitian Ringelmann, pada penelitian ini, hanya satu orang yang diuji. Sisanya diminta berpura-pura untuk menarik tali.

Penelitian ini menemukan bahwa semakin banyak orang dalam kelompok, maka semakin berkurang usaha dan tenaga yang dikeluarkan untuk menarik tali. Itulah social loafing.

Fenomena yang juga dikenal sebagai Ringelmann effect ini adalah sebuah situasi di mana seseorang cenderung melakukan lebih sedikit upaya ketika bekerja dalam kelompok, dibandingkan saat mereka bekerja sendirian.

Dalam kalimat yang lebih sederhana, seorang social loafers nggak mau berusaha secara maksimal dalam mengerjakan tugas kelompok. Hal ini karena adanya asumsi bahwa tugas tersebut akan diselesaikan oleh rekannya yang lain.

Lalu, apa sih yang menyebabkan kemalasan sosial ini bisa terjadi?

Penyebab Munculnya Social Loafing

Dilansir Verywell Mind, terdapat empat penyebab utama munculnya social loafing, yakni:

1. Motivasi

Motivasi adalah salah satu faktor utama dari kemunculan fenomena kemalasan sosial. Berkurangnya motivasi seseorang dalam kelompok bisa dipengaruhi oleh banyak hal.

Misalnya, seseorang yang lebih suka bekerja sendirian rentan kehilangan motivasi saat berada dalam sebuah kelompok. Selain itu, kehadiran anggota lain juga cenderung memicu timbulnya sikap santai sehingga berkurangnya motivasi untuk tampil dengan optimal. Coba deh kamu ikut tes self motivation supaya bisa mengendalikan diri dalam mencapai tujuan, misalnya supaya semangat kerja kelompok.

2. Berkurangnya Rasa Tanggung Jawab

Seorang individu cenderung terlibat dalam social loafing apabila merasa tidak memiliki tanggung jawab penuh akan apa yang sedang dikerjakan. Mereka sadar bahwa kontribusi mereka tidak terlalu berguna atau berdampak besar pada hasil akhirnya kelak.

Nah, perilaku ini mirip dengan bystander effect, yakni suatu kecenderungan seseorang untuk tidak memperdulikan atau membantu orang yang membutuhkan pertolongan karena beranggapan orang lain akan menolongnya.

Baca juga: Belajar Empati dari Fenomena Bystander Effect

3. Besarnya Kelompok

Semakin banyak anggota dalam sebuah kelompok, maka semakin kecil upaya yang dikeluarkan masing-masing individu. Dan sebaliknya, semakin kecil ukuran kelompok, tiap-tiap individu akan semakin merasa memiliki peran penting, sehingga upaya dan kontribusi yang dikeluarkan akan lebih maksimal.

4. Ekspektasi

Williams dan Karau (1991) di dalam penelitian mereka mengenai social facilitation menemukan bahwa individu akan bekerja lebih keras dalam kelompok ketika berpikir rekan kerja mereka memiliki kinerja yang buruk.

Social Loafing Meme
Source: 9GAG

Dengan demikian, kemalasan sosial lebih mungkin terjadi pada orang-orang yang bekerja dengan kelompok high-achiever. Hal ini karena adanya tendensi untuk membiarkan orang lain yang dirasa lebih kompeten melakukan sebagian besar pekerjaan mereka.

Baca Juga: Filosofi Teras untuk Belajar Menjadi Manusia

Upaya untuk Mengurangi Social Loafing

Apabila dibiarkan, fenomena kemalasan sosial cukup memiliki dampak yang buruk, lho. Salah satunya adalah berdampak serius pada kinerja dan efisiensi kelompok. Saat anggota kelompok semakin banyak, maka kontribusi tiap-tiap anggota justru semakin menurun. Nggak cuma itu, pekerjaan kelompok bisa jadi nggak selesai tepat waktu atau selesai dengan hasil yang nggak maksimal.

Tapi tenang aja, Perseners. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir efek dari social loafing, di antaranya adalah:

1. Membagi tugas dan tanggung jawab individu

Tugas harus dibagikan dengan jelas sehingga setiap anggota dalam kelompok dapat berkontribusi dan merasa bahwa pekerjaan mereka itu penting. Menetapkan tujuan dan tanggung jawab yang berbeda untuk setiap anggota tim juga dapat membantu anggota kelompok menjadi lebih produktif, sehingga mengurangi social loafing.

2. Mengevaluasi kinerja individu dan kelompok

Salah satu faktor yang meningkatkan produktivitas kelompok adalah ketika anggota kelompok merasa bahwa mereka sedang dievaluasi secara individual. Dengan melakukan evaluasi terhadap performa kelompok, kamu dapat mengetahui apa yang masih perlu untuk ditingkatkan atau diperbaiki dan mana yang telah berjalan dengan baik.

3. Mengapresiasi pencapaian anggota individu

Siapa sih, yang nggak senang hasil kerja kerasnya diapresiasi? Nah, salah satu hal yang mungkin sepele tapi sebenarnya cukup mampu memotivasi dan meminimalisir kemalasan sosial adalah dengan memberikan apresiasi. Apresiasi bisa menjadi stimulus untuk menambah rasa semangat tiap individu dalam melakukan tugasnya. Dengan begitu, mereka akan merasa bahwa kerja keras mereka lebih dihargai dan diakui.

4. Menetapkan aturan yang jelas

Dalam sebuah kelompok, menetapkan aturan yang jelas merupakan hal yang penting. Aturan ini bisa mencangkup tenggat waktu, pembagian tugas, dan mekanisme lainnya. Maka dari itu, komunikasi antar kelompok juga perlu diperhatikan agar aturan yang telah ditetapkan dapat tersampaikan dengan baik.

Jadi, gimana Perseners? Sekarang jadi lebih paham kan, bahwa ada alasan di balik tingkah malas anggota atau rekan kelompok kamu dan cara untuk mengatasinya.

Bisa dibilang kunci utama untuk meminimalisir kecenderungan social loafing di ruang lingkup kerja adalah dengan menciptakan komunikasi yang baik antar anggota kelompok. Namun, tentu saja praktik nggak akan semudah teorinya, ya.

Tapi, tenang aja! Kalau kalian merasa bingung atau kesulitan menghadapi para social loafers di lingkungan kerja kalian, Perseners bisa banget nih coba mentoring Satu Persen. Bersama mentor-mentor terlatih di Satu Persen, kalian bisa mulai curhat tentang masalah-masalah yang kalian hadapi dan bersama-sama mencari solusinya. Kalian bisa langsung klik aja banner di bawah ini buat kepoin lebih lanjut tentang layanannya, ya!

Mentoring-5

So, sekian dari aku, Anggi Part-time Blog Writer Satu Persen. Aku harap artikel ini bermanfaat bagi kalian, ya. Sampai jumpa di tulisanku berikutnya!

Referensi:

Cherry, Kendra. (2020). How Social Loafing Is Studied in Psychology. Verywell Mind. Retrieved November 23, 2021, from https://www.verywellmind.com/what-is-social-loafing-2795883

Hoffman, Riley. (2020). Social Loafiig: Definition, Examples and Theory. Simply Psychology. Retrieved November 23, 2021, from https://www.simplypsychology.org/social-loafing.html

Social Loafing. (d, n). The Decision Lab. Retrieved November 23, 2021, from https://thedecisionlab.com/reference-guide/sociology/social-loafing/

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.