Halo, Perseners! Kenalin, gue Andin dan gue adalah Head of Content-nya Satu Persen. Biasanya gue biasa ditemukan di Youtube tetapi kali ini gue juga akan menampakkan diri gue di blog.
Sedikit sejarah kecil soal gue, gue lulus kuliah S1 Psikologi nih dan karena pendidikan gue itu, gue memiliki concern yang cukup besar dalam hal-hal berbau psikologi, termasuk ya kesehatan mental. Karenanya, gue merasa memiliki pengetahuan yang mumpuni buat mengajak kalian untuk merenung dan berdiskusi mengenai masalah kesehatan mental yang terjadi di Indonesia.
Nah jadi, melalui tulisan ini, gue mau ngajak lo buat ngecek kondisi kesehatan mental di Indonesia.
Tapi sebelumnya gue mau lo menjawab pertanyaan deh. Biar seru: Menurut lo kondisi kesehatan mental di Indonesia gimana sih?
Hmm.. Kalau menurut gue pribadi, kondisi kesehatan mental di Indonesia saat ini sebenarnya sudah membaik dibandingkan sekitar lima tahun lalu, mungkin.
Kenapa gue bisa bilang kalau udah membaik?
Karena sekarang, awareness atau kesadaran orang-orang mengenai kesehatan mental sudah jauh lebih baik. Mereka udah mulai paham kalau masalah stres, kecemasan, bahkan depresi bukanlah masalah yang bisa dipandang sebelah mata atau dianggap nggak penting.
Hal ini tentunya bisa tercapai berkat peran berbagai macam pihak, misalnya organisasi, support group, komunitas online, bahkan media yang bergerak di bidang kesehatan mental yang gue yakin kalian familiar karena sering lihat di media sosial. Satu Persen termasuk salah satunya dengan jumlah subscribers yang mau mencapai angka 900.000.
Selain peran media sosial, awareness ini juga sudah membaik karena berbagai lintas masyarakat mulai membahasnya, mulai dari mahasiswa di kalangan organisasi atau bahkan tingkat konferensi internasional, hingga musisi (seperti Kunto Aji dengan lagu-lagunya), hingga perusahaan-perusahaan dengan program bantuan kesehatan mental mereka.
Nah, selain awareness yang meningkat, pemerintah juga sudah mulai menyertakan layanan konsultasi ke psikolog di layanan BPJS Kesehatan serta memastikan adanya kehadiran psikolog di beberapa puskesmas di kota besar. Hal ini juga udah aktif juga disosialisasikan oleh beberapa lembaga-lembaga yang bergerak di kesehatan mental yang udah disebutkan tadi.
Mungkin setelah lo baca pendapat gue di atas, respon lo adalah : “lah kalo udah membaik terus kenapa artikel ini ada?”
Balik lagi yang gue bilang, memang di beberapa aspek, kondisi kesehatan mental kita sudah lumayan membaik. Seperti dalam aspek informasi, kesadaran, dan ketersediaan bantuan dari pemerintah. Tetapi, masih jauh banget dari ideal.
Karena gue bisa bilang akses informasi dan ketersediaan masih terbatas di penduduk yang bermukim di kota-kota besar. Jumlah tenaga kesehatan mental yang masih sedikit diberdayakan, hingga masih banyak masyarakat yang punya stigma negatif. Poin-poin ini akhirnya terakumulasi sehingga masalah kesehatan mental di Indonesia sebenarnya masih termasuk darurat.
Kenapa Indonesia Masih Darurat Kesehatan Mental?
1. Jumlah Tenaga Kesehatan Mental yang Minim
Tenaga kesehatan mental sebenarnya ada berbagai macam jenis profesinya, tetapi kali ini gue bakal bahas dua pemeran utama tenaga kesehatan mental yang mungkin kalian tahu: Psikolog dan Psikiater.
Tahu gak sih kalau sebenernya jumlah Psikolog dan Psikiater yang ada di Indonesia itu sedikit banget?
Kita udah bahas di artikel sebelumnya, tetapi gue singgung lagi ya. Menurut data Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas dari Kemenkes RI, Indonesia cuma punya sekitar 2500 psikolog klinis dan 600-800 psikiater.
Coba kita refresh memori ya, dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai angka 250 juta orang, hal ini berarti 1 psikiater harus melayani 300.000-400.000 pasien. Padahal, dari WHO sendiri itu menetapkan standar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1:30 ribu orang. Bahkan, pergerakan orang yang menjadi Psikiater juga rendah, hanya nambah 50 orang setiap tahunnya, dimana masing-masing universitas meluluskan 5-6 psikiater dalam satu tahun.
Hal yang perlu digaris bawahi adalah peningkatan kasus orang dengan gangguan kesehatan mental serta gangguan psikologis itu bertambah lebih banyak dan lebih cepat dibandingkan pertambahan jumlah Psikolog dan Psikiater. Riskesdas RI tahun 2018 lalu menyebutkan kenaikan kasus bisa mencapai 7-10% per tahunnya.
Persebaran Psikolog dan Psikiater ini juga termasuk gak merata karena sebagian besar masih terkonsentrasi di kota-kota besar, spesifiknya di Jakarta. Di Sulawesi Tengah sendiri, jumlah Psikolog Klinis yang terdaftar di HIMPSI hanya 17 orang di tahun 2018, bahkan menurut artikel yang dikeluarkan UGM di tahun 2015, wilayah Timur Indonesia masih kesulitan mencari tenaga dokter di puskesmas, apalagi tenaga kesehatan mental.
2. Fasilitas Kesehatan Mental yang disediakan Pemerintah Masih Kurang
Poin kedua ini masih berhubungan dengan poin pertama tadi. Jumlah tenaga kesehatan mental yang bisa dibilang sangat minim ini, juga tidak berusaha untuk diberikan support oleh pemerintah.
Kalau lo bingung kenapa gue di awal artikel memuji langkah pemerintah dan BPJS Kesehatan, tapi di sini masih bilang kalau peran pemerintah masih kurang banget sempat singgung.
Ketersediaan akses ke layanan kesehatan mental tersebut masih terbatas di kota besar dan pemerintah sendiri masih jarang mensosialisasikan hal ini; biasanya gue tau informasi ini ya dari komunitas-komunitas di media sosial. Atau gue mainnya kurang jauh?
Gue pernah beberapa kali bantu teman gue di luar Jawa buat mencari psikolog yang available serta terjangkau buat mereka, dan itu susah. Selain susah dan cukup tricky buat mencarinya, ketersediaan dan pemahaman informasinya masih cukup sulit dicerna oleh teman-teman yang bukan anak Psikologi.
Belum sampai sini aja, tapi lo tau nggak sih kalau Indonesia cuma punya 48 rumah sakit jiwa terhitung pada tahun 2018? Itu pun, lagi-lagi, belum tersebar di penjuru Nusantara, ada 8 provinsi Indonesia yang tidak memiliki rumah sakit jiwa.
3. Stigma dari Orang Indonesia Mengenai Orang-Orang dengan Masalah Kesehatan Mental
Nah, selain jumlah tenaga kesehatan mental yang minim serta pemerintah yang belum bisa menyediakan fasilitas yang mumpuni; poin ketiga adalah poin yang gue yakin kalian pernah mendengar atau bahkan menerimanya dari orang: stigma negatif dari masyarakat mengenai masalah kesehatan mental.
Ada orang kalau lagi stress dibilang lagi kerasukan jin lah, yang lagi panic attack sambil nangis sesenggukan malah diketawain dan dikatain lebay lah, dan gue yakin you had your fair share, baik menyaksikan, mendengar, atau mengalami stigma tersebut secara langsung.
Atau kasus ekstremnya deh, praktek pemasungan di Indonesia.
Pemasungan adalah ketika orang dengan gangguan kesehatan mental atau gangguan psikologis dikurung di rumah, institusi sosial, bahkan kandang hewan, dan menjalani sehari-hari mereka dalam keadaan yang tidak manusiawi.
Ada beberapa kasus yang gue baca, dimana satu orang di daerah Bogor dikurung di dalam kamarnya sendiri selama lima tahun sampai dia nggak bisa berjalan karena ototnya lemas dan hanya diberikan ember buat buang air.
Di tahun 2016, which is empat tahun lalu, ada artikel yang menerbitkan mengenai kritik praktek pemasungan yang dilakukan kepada ribuan orang penderita disabilitas psikososial yang masih terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, walaupun pemerintah udah melarang praktek ini sejak tahun 1977.
Kalau kita lihat dari beberapa berita terbaru pun, walaupun sebenarnya angka pemasungan di Indonesia udah mulai berkurang per tahun 2018 apabila dibandingkan dengan tahun 2016 silam, tetap aja praktek ini masih dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia.
4. Pemahaman mengenai Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia yang Masih Minim
Keseluruhan poin yang gue jabarkan tadi sebenarnya punya satu muara yaitu: orang-orang nggak punya pemahaman yang mendalam mengenai kesehatan mental dan kenapa menjadi aspek yang juga penting di kehidupan kita.
Kesadarannya memang udah ada berkat maraknya informasi-informasi di media sosial mengenai kesehatan mental, tetapi kadang kesadaran aja nggak cukup. Butuh pemahaman lebih biar isu mengenai kesehatan mental bisa dimengerti. Nah, hal ini yang masih kurang dan perlu buat dikembangkan di Indonesia.
Coba kita bermimpi sejenak deh. Kalau aja memang semua orang paham pentingnya kesehatan mental di hidup kita, mungkin aja sosok-sosok tenaga kesehatan mental selain psikolog dan psikiater juga bisa diberdayakan dan diperlakukan sama pentingnya kayak mereka. Mungkin aja, pemerintah bakal memfokuskan waktu mereka buat mengembangkan fasilitas dan infrastruktur yang bisa mendukung keberlangsungan kesehatan mental.
Kalau aja semua orang paham mengenai kesehatan mental, mungkin aja stigma negatif di masyarakat nggak akan sebanyak dan sebesar yang terjadi sekarang ini.
Gak jarang juga, orang-orang baru memahami kesehatan mental, baik masalah yang terjadi serta gangguan-gangguannya ketika udah terjadi atau menimpa mereka. Sesimpel, baru tau kalau selama ini ada di toxic relationship pas diselingkuhin pacar padahal ternyata sejak dulu udah keliatan tanda-tandanya. Atau mungkin, baru sadar waktu didiagnosis punya gangguan depresi, padahal waktu dicek ternyata selama ini udah punya gejala-gejalanya. Jadinya telat.
Padahal kan gak seharusnya ketika kita mengalaminya, kita baru sadar kalau ternyata ini penting buat kita perhatikan, kan?
Masih berhubungan sama pemahaman orang-orang yang masih kurang tentang kesehatan mental, kalian sadar gak sih kalau hal ini gak dibahas sama sekali waktu kita sekolah?
Kita nggak dipersiapkan apa yang harus kita lakukan kalau kita merasa sedih yang berkepanjangan, kalau kita nggak tau arah tujuan hidup, atau kalau kita lagi merasa stress banget. Atau mungkin kalau diajarin pun, dibahasnya sangat simpel dan nggak dijelaskan lebih lanjut.
Contohnya, gue pernah waktu SD pernah disuruh nulis sifat baik dan buruk teman-teman gue di buku tulis mereka dan waktu gue menerima punya gue, guru gue gak menjelaskan kenapa aktivitas ini dilakukan atau kalau itu adalah salah satu bentuk dari pengenalan diri. Yaudah, ditinggal aja gitu dan akibatnya gue menghabiskan sekitar 3-4 tahun hidup gue mikirin kenapa teman-teman SD gue bilang gue SKSD di kolom sifat buruk gue. Agak curhat sih tapi you get the point, kan?
Satu Persen Indonesia Life School
Nah, berangkat dari seluruh poin mengenai masalah kesehatan mental di Indonesia yang bikin seorang Kak Evan dan Kak Rizky berpikir: kalau sebenarnya masalah-masalah kesehatan mental ini mungkin bisa diatasi dengan upaya promotif, bersifat edukasi mengenai pemahaman, serta upaya preventif, sebelum orang-orang telat menyadari kondisi mereka yang udah memburuk.
Kemudian berdirilah Satu Persen, biggest Indonesian Life School, di Bulan September 2019 untuk berusaha memenuhi tujuan tersebut. Salah satu slogan awalnya bahkan adalah, “Mengajarkan hal-hal yang tidak diajarkan di sekolah konvensional”, termasuk salah satunya pemahaman mengenai kesehatan mental serta hal-hal lainnya.
Contrary to popular belief, gak, Satu Persen bukan Biro Psikologi dan bukan sekedar channel youtube yang kebetulan punya section blog sehingga lo bisa baca tulisan ini. Tetapi, layanan-layanan Satu Persen yang berhubungan dengan ilmu psikologi kayak konsultasi bareng Mentor dan Psikolog adalah bentuk kuratif. Atau yang sifatnya untuk penyembuhan dan pemulihan bagi mereka yang udah memiliki masalah dan butuh bantuan.
Satu Persen di sini hadir sebagai platform untuk membantu orang-orang mengenal diri mereka, menyelesaikan masalahnya, serta membantu mereka untuk menjadi sosok yang selalu berkembang.
Karena menurut Satu Persen dan nilai-nilai yang dianut pun, kami percaya kalau untuk bisa menyelesaikan masalah apapun, termasuk kesehatan mental, mereka harus terlebih dahulu mengenal diri sendiri.
Oleh karenanya, Satu Persen menyusun kurikulum untuk mencapai #HidupSeutuhnya. Langkah pertama ini diawali dengan kesadaran akan masalah yang tengah dialami, begitu juga sikap belajar serta skill yang efisien dan efektif.
Karena ketika mereka udah sadar kalau mereka punya masalah dan siap buat belajar, hal ini bakal mempermudahkan mereka untuk menyelesaikan masalah serta mengembangkan diri.
Setelah sadar dan memiliki sikap belajar, Satu Persen memberikan pemahaman mengenai masalah yang dimiliki serta cara untuk menyelesaikannya agar bisa kembali untuk mencapai titik fungsional. Misalnya, kalau orang yang habis putus karena diselingkuhin, bakal dibantu dulu buat paham cara-cara apa yang bisa dia lakukan buat mengelola emosi negatif yang dialami, sebelum bisa lanjut mengembangkan diri.
Setelah memahami cara menyelesaikan masalah, Satu Persen mendorong orang-orang untuk belajar mengenali diri mereka sendiri dan tujuan jangka panjang mereka. Karena setelah mengenali diri sendiri dan paham tujuan mereka, mereka paham minat serta hal-hal yang mau dicapai di dalam hidup.
Langkah berikutnya sembari mengenali diri sendiri adalah menjalin hubungan baik dengan orang-orang lain di sekitarnya, seperti teman, pasangan, serta keluarga.
Kan kalau sudah mengenal diri sendiri, idealnya, seseorang bakal paham juga sosok-sosok seperti apa yang mau dia jalin hubungan baik di hidupnya dan memahami kalau sosok-sosok tersebut akan menjadi support system yang baik dan mendukung di hidupnya.
Setelah mengenali diri sendiri dan memastikan kalo dia memiliki pasukan yang mendukungnya di hidupnya, seseorang akan diajak untuk mencari tahu bagaimana cara mencapai tujuan-tujuan yang sudah ia susun di proses mengenal diri sendiri sebelumnya dengan cara yang tentunya efektif dan efisien.
Terakhir, Satu Persen percaya bahwa tingkat tertinggi adalah ketika diri seseorang itu bisa mencapai #HidupSeutuhnya adalah ketika mereka sudah berkontribusi secara luas kepada masyarakat dan dunia.
Agar seseorang bisa mencapai tingkat tertinggi di #HidupSeutuhnya tersebut, Satu Persen hadir dengan mengembangkan produk-produk serta layanan-layanan tersebut. Seperti konsultasi bersama Mentor Satu Persen, konseling bersama Psikolog, kelas online, serta webinar. Informasi lebih lanjut lo bisa klik di sini!
Selain layanan-layanan yang disebutkan dan bisa lo akses di kolom produk di website, Satu Persen juga memiliki berbagai macam konten-konten edukatif serta interaktif yang membahas berbagai macam permasalahan serta bidang-bidangnya, dan tentu aja tersebar di seluruh media sosial Satu Persen. Ada juga beragam tes yang bisa lo coba, salah satunya Tes Sehat Mental.
Dari pengalaman gue sendiri sih, ketika gue menonton youtube, topik yang dibahas itu beda-beda dengan apa yang dibahas di instagram, twitter, ataupun podcast.
Tetapi ada satu poin yang sama: kayak lagi dengerin temen yang pinter menjelaskan mengenai konten-konten tersebut. Gue suka menyebutnya sebagai the kind of smart best friend gitu, atau teman dekat kita yang pintar.
Memang game plan yang Satu Persen mainkan saat ini bersifat jangka panjang dan membutuhkan waktu yang tentunya nggak sebentar, apalagi biar seluruh masyarakat Indonesia bisa mencapai #HidupSeutuhnya. Tetapi, baby steps. Pelan-pelan aja. Satu persen setiap harinya lebih baik daripada nggak sama sekali, bukan?
Satu Persen percaya kalau kontribusi perusahaan melalui layanan-layanan serta produk-produknya bisa membantu untuk mengurangi masalah kesehatan mental di Indonesia. salah satunya adalah memberdayakan lulusan S1 Psikologi menjadi Mentor melalui layanan berbayar konsultasi bersama Mentor, yang sudah pernah dibahas rekan gue, Diaz, di artikel sebelum ini tentang kenapa produk cukup kontroversial namun kebanggaan Satu Persen ini termasuk valid serta reliabel.
Satu Persen juga percaya kalau lo yang baca ini bisa juga membantu mengurangi masalah kesehatan mental di Indonesia. Dengan cara apa? Ya dengan membagikan keberadaan Satu Persen ini ke komunitas, teman-teman, dan keluarga lo. Ada lho, life school di Indonesia yang bisa membantu lo mengenal diri lo sendiri, ada lho perusahaan yang punya banyak konten-konten berkualitas mengenai kesehatan mental.
Jadi, jangan lupa buat share informasi mengenai Satu Persen dan artikel ini ke teman-teman serta persekutuan sejawat lo! Ke Instagram? Boleh! Ke twitter sambat? Boleh! Ke chat room Among Us di server Asia? Boleh juga! ajak gue main dong kapan-kapan.
Yuk, bantu kita buat bisa mengurangi masalah kesehatan mental di Indonesia dan mencapai #HidupSeutuhnya.
Gue Andin dari Satu Persen, sampai jumpa di blog lain waktu dan stay safe!
Reference
Hi Pontianak. (2019, November 13). Ternyata Konsultasi ke Psikolog Bisa Pakai BPJS Kesehatan. Kumparan.com. Retrieved from https://kumparan.com/hipontianak/ternyata-konsultasi-ke-psikolog-bisa-pakai-bpjs-kesehatan-1sFBMjt3GIU/full
Lintang, A. (2019, February 2). Tingkat Depresi Tinggi dan Minimnya Tenaga Kesehatan Jiwa di Indonesia. Retrieved from https://ultimagz.com/lifestyle/tingkat-depresi-tinggi-dan-minimnya-tenaga-kesehatan-jiwa-di-indonesia/
Nugraha, A. (2020, January 8). Jumlah Psikiater di Indonesia Masih Kurang. Retrieved from https://www.liputan6.com/health/read/4150824/jumlah-psikiater-di-indonesia-masih-kurang#:~:text=Liputan6.com%2C Bandung Jumlah dokter,kasus gangguan kejiwaan terus bertambah