"Pagi ke pagi
Ku terjebak di dalam ambisi
Seperti orang - orang berdasi
Yang gila materi, rasa bosan
Membukakan jalan mencari peran
Keluarlah dari zona nyaman."
Hayo, siapa yang nggak asing dengan lagu di atas? Yup, lagu Fourtwnty dengan judul Zona Nyaman yang pernah booming pada masanya. Secara singkat, lagu ini bercerita tentang seseorang yang hidup dengan rentetan tugas tanpa ada habisnya, hingga pada bait-bait tertentu diminta untuk hidup dengan sepenuh hati dan keluar dari zona nyaman.
Sebentar, memang apa sih zona nyaman itu?
Apa Itu Zona Nyaman?
Kalimat “keluarlah dari zona nyaman” sebenarnya sudah populer sejak tahun 1990-an lho, Perseners. Ungkapan 'zona nyaman' diciptakan pertama kali oleh Judith Bardwick dalam bukunya Danger in the Comfort Zone tahun 1991. Judith Bardwick, mengartikan zona nyaman sebagai perilaku di mana seseorang beroperasi atau bekerja dengan perilaku terbatas untuk memberikan tingkat kinerja yang stabil, sehingga umumnya pekerjaan dilakukan tanpa risiko.
Menurut Alasdair A. K. White, dalam bukunya From Comfort Zone to Performance Management, zona nyaman merupakan kondisi di mana seseorang bekerja secara umum atau dapat dikatakan nyaman, tanpa usaha yang lebih maksimal. Sehingga orang-orang yang berada di zona aman cenderung mengerjakan sesuatu dengan netral tanpa adanya kecemasan dan menimbulkan risiko. Hal ini menyebabkan orang-orang yang berada di zona nyaman cenderung memiliki karier yang menetap.
Dari definisi diatas, kedua-duanya sama ya, Perseners. Menekankan pada pekerjaan yang dilakukan secara wajar sehingga tidak menimbulkan risiko dan kecemasan. Namun di sisi lain, menyebabkan kinerja yang stabil tanpa adanya peningkatan.
Pentingkah Keluar dari Zona Nyaman?
Ketika kita berada di zona nyaman atau dapat dikatakan juga bekerja tanpa adanya risiko yang besar. Karena tidak adanya risiko, maka orang-orang yang bekerja di zona nyaman cenderung tidak memiliki rasa kecemasan. Hal ini menyebabkan hasil kinerja cenderung stabil dan netral tanpa ada peningkatan yang drastis. Hah, kok bisa?
Bisa, Perseners! Jadi, ada sebuah eksperimen yang dilakukan pada tikus oleh Roberts dan John Dodson pada tahun 1907, menjelaskan hubungan antara kecemasan dengan kinerja. Eksperimen ini dilakukan dengan memberikan kejutan listrik dengan intensitas yang meningkat–tetapi hanya sampai titik tertentu pada tikus yang sedang berada di labirin. Dan ternyata, tikus tersebut menjadi lebih termotivasi untuk menyelesaikan labirin.
Nah, perilaku ini juga sebenarnya masuk akal dan sesuai pada manusia, sebagaimana dijelaskan dalam Hukum Yerkes-Dodson (Yerkes & Dodson, 1907). Hukum ini menjelaskan tentang bagaimana manusia merespons atau menanggapi rangsangan yang memicu kecemasan.
Dalam menanggapi rangsangan tersebut, manusia dapat melakukan 3 hal, yaitu melawan (memenuhi tantangan), lari (lari/bersembunyi), atau membeku (menjadi lumpuh). Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan sistem saraf manusia memiliki zona gairah yang disebut Goldilocks. Jika terlalu sedikit, dan tetap berada di zona nyaman, maka kebosanan muncul. Tapi, terlalu banyak memasuki zona panik juga bisa menghambat kemajuan.
Cara Keluar dari Zona Nyaman
Kalau Perseners pernah melihat hierarki kebutuhan manusia dari Maslow, maka yang ada dipuncak adalah aktualisasi diri. Aktualisasi diri tersebut dapat tercipta salah satunya dengan memaksimalkan apa yang kita miliki. Dan untuk mendapat hasil yang maksimal, keluar dari zona nyaman adalah salah satu caranya.
Caranya gimana? Baca artikel ini sampai akhir, ya!
1. Menemukan Kekuatan dan Mengambil Sikap Berani
Mengetahui dan memahami apa yang menjadi kekuatan kita menjadi pondasi ketika kita keluar dari zona nyaman. Saat kita sudah tau di mana kekuatan yang dimiliki, maka rasa takut akan sedikit berkurang karena rasa yakin dapat melewati dengan kekuatan yang kita punya. Rasa takut yang berkurang karena sudah mengetahui kekuatan yang dimiliki, juga harus dibarengi dengan sikap berani. Berani mengambil keputusan untuk keluar dari zona nyaman dan melangkah ke zona yang lebih menantang.
Keluar dari zona nyaman, tentu nggak asal keluar juga kan, ya. Perlu ada perencanaan yang matang. Nah, memahami secara mendalam tentang apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan yang Perseners punya, akan membuat rencana keluar dari zona nyaman tersebut lebih terukur dan pasti.
Perseners bisa loh, mulai menemukan kekuatan yang Perseners punya dengan mengenal diri Perseners seutuhnya terlebih dahulu. Dengan jujur kepada diri sendiri, akan membuat Perseners lebih mengenal diri Perseners dan menemukan kekuatan yang Perseners punya.
Coba yuk: Tes Kelebihan Diri
Baca Juga: 5 Manfaat Jujur Pada Diri Sendiri, Cara Sederhana Belajar Self-Love
2. Memahami Ketakutan dan Rasa Stress
Ternyata, nggak semua rasa stress itu bisa dikategorikan sebagai suatu hal yang buruk, loh. Ada sebuah gagasan yang disebut Eustres atau stres positif. Hal ini dapat ditemukan ketika semisal sedang akan berpidato di depan orang banyak, yang awalnya kita stres dan takut, kemudian kita menjadi rajin berlatih. Bisa juga saat kita akan tampil diatas panggung, yang semula kita stres karena grogi, rasa stres tersebut malah mendorong kita untuk lebih produktif berlatih agar penampilan dapat berjalan dengan baik. Eustress memberikan energi untuk melewati situasi-situasi tersebut.
Eustres dapat hadir ketika kita mampu melihat suatu permasalahan lebih jernih dan dari sudut pandang positif. Sisi positif yang kita lihat dari suatu masalah akan dapat mengubah hal-hal yang sebelumnya merupakan rintangan menyakitkan menjadi tantangan yang membangun. Dengan melihat “keluar dari zona nyaman” sebagai suatu yang positif, maka eustres akan hadir dan mendorong kita untuk menghadapi zona tersebut.
3. Mempersiapkan dan Menghargai Diri Sendiri
Rasa takut dan cemas yang pertama kali muncul ketika hendak keluar dari zona nyaman adalah suatu hal yang wajar. Perasaan tidak nyaman ini dapat diminimalkan salah satunya dengan persiapan yang matang. Sebagai contoh, Perseners adalah seorang yang pemalu. Kemudian diminta untuk berpidato di depan umum. Hal ini tentu harus membuat Perseners keluar dari zona nyaman lo sebagai orang yang pemalu. Lo pasti ngerasa takut kalau pidato lo nggak lancar atau cemas kalau apa yang lo omongin jelek.
Nah, gimana cara ngatasinnya? Ya lakukan persiapan! Latihan memahami teks pidato lo, latihan di depan cermin dan bahkan latihan pidato di depan teman-temen terdekat lo. Intinya, semakin besar persiapan lo, maka kemungkinan berhasil akan semakin besar dan rasa takut akan semakin berkurang. Sama juga ketika lo ngerasa takut buat keluar dari zona nyaman, persiapan yang matang akan membuat rasa cemas dan takut lo berkurang.
Terakhir adalah menghargai diri sendiri. Keluar dari zona nyaman adalah hal yang nggak mudah. Setiap langkah maju adalah kemajuan sekecil apa pun langkah itu. Dengan lo menghargai diri lo sendiri, akan membuat lo semakin bersemangat untuk keluar dari zona nyaman.
So, itu dia penjelasan dari gue kenapa keluar dari zona nyaman adalah hal penting. Semoga beberapa cara di atas bisa berguna buat lo untuk keluar dari zona nyaman. Dan kalau lo merasa masih butuh saran lainnya untuk bisa keluar dari zona nyaman biar bisa terus berkembang, bisa banget untuk ikut layanan mentoring dari Satu Persen.
Layanan mentoring dari Satu Persen bakal ngebantu lo untuk mengenal diri lo seutuhnya, sehingga lo bisa tau kekuatan dan batasan mana untuk keluar dari zona nyaman. Untuk informasi lebih lanjut, klik banner di bawah ini, ya!
Referensi:
- Oliver. 2021. How to Leave Your Comfort Zone and Enter Your ‘Growth Zone’. Retrieved on How to Leave your Comfort Zone and Enter your ‘Growth Zone’ (positivepsychology.com)
- Andy Molinsky Ph.D. 2017. Follow These 3 Tips to Get Outside Your Comfort Zone. Retrieved on Follow These 3 Tips to Get Outside Your Comfort Zone | Psychology Today