Editor's Note: Sebelum lo membaca artikel ini, gue mau kasih tau dulu kalau beberapa hal yang dibawain di sini bakalan mengandung bahasan yang sensitif. Jadi, buat lo yang mudah ke-triggered, mungkin lo bisa persiapkan diri lo lebih dulu atau coba baca artikel-artikel yang lain aja, ya!
Halo, Perseners! Gimana kabarnya?
Gue Dimas Yoga dan kali ini gue mau bahas suatu isu hangat yang bikin gue marah. Beberapa minggu ini, jagat media sosial tengah menjadi perbincangan hangat karena berita pemerkosaan yang dialami oleh seorang perempuan di mana Novia Widyasari (gue gak mau menutupi atau menyingkat namanya, sebab dia bukan aib) menjadi korban pemerkosaan oleh pacarnya sendiri dengan modus pemberian obat-obatan.
Dia meminta pertanggungjawaban pacarnya, tapi pacarnya malah memintanya untuk menelan sebanyak-banyaknya pil aborsi. Dia meminta bantuan kepada paman-pamannya, namun dia justru dianggap sebagai sebuah aib yang mencoreng nama baik keluarga.
Bahkan, ketika berita pemerkosaan ini beredar luas, masih ada aja segelintir oknum yang menganggap bahwa ini adalah sebuah hal yang sangat wajar dan beberapa dari oknum tersebut bahkan ada yang mengatakan:
“Kenapa gak menikmatinya saja?”
“Lagian mau aja berduaan di hotel,”
Atau bahkan parahnya lagi ada yang mengatakan, “Udah dua kali diperkosa kok baru sekarang melapor? Berarti sebelum-sebelumnya menikmati, dong?”
Sungguh miris bukan, Perseners?
Perkataan-perkataan dari beberapa oknum tersebut mengungkapkan bahwa rape culture atau budaya pemerkosaan adalah suatu hal yang dianggap wajar dan normal karena sikap masyarakat terhadap gender dan seksualitas.
Karena lagi ngomongin tentang kasus yang dialami oleh Novia Widyasari nih, di artikel kali ini gue akan membahas tentang rape culture atau budaya pemerkosaan dan bagaimana cara agar lo dapat mengedukasi tentang budaya pemerkosaan. Jadi, simak hingga akhir dan jangan lupa buat share ke teman-teman maupun kerabat lo, ya. Selamat membaca!
Tapi sebelumnya, ada pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang, semakin kenal tambah sayang. Jadi, kenalin nama gue Dimsyog (acronym dari Dimas Yoga). Di sini gue sebagai Part-time Blog Writer dari Satu Persen. Simak sampai habis, ya!
Baca juga: Rape Trauma Syndrome: Kenapa Penderitanya Perlu Konseling Online?
Apa Itu Budaya Pemerkosaan atau Rape Culture?
Percaya atau enggak, budaya pemerkosaan atau rape culture sudah merajalela dari dulu. Budaya ini tertanam dalam bagaimana cara kita berpikir, berbicara, dan bergerak di dunia. Meskipun konteksnya mungkin berbeda, budaya pemerkosaan atau rape culture ditemukan selalu berakar pada kepercayaan, kekuasaan, dan kontrol patriarki.
Budaya pemerkosaan atau rape culture adalah lingkungan sosial yang memungkinkan kekerasan seksual dinormalisasi dan dibenarkan. Hal ini didorong oleh ketidaksetaraan gender yang terus-menerus dan sikap tentang gender dan seksualitas. Penamaan itu adalah langkah awal untuk membongkar budaya pemerkosaan ini.
Setiap hari kita memiliki kesempatan untuk memeriksa perilaku dan keyakinan kita untuk bias yang memungkinkan budaya pemerkosaan untuk terus berlanjut. Dari sikap yang kita miliki tentang identitas gender hingga kebijakan yang kita dukung di komunitas kita, kita semua dapat mengambil tindakan untuk melawan budaya pemerkosaan dan menciptakan lingkungan yang aman bagi semua orang.
By the way, ada satu video dari YouTube Satu Persen yang juga ngebahas tentang kasus ini. Lo bisa cek videonya di bawah ini, ya!
Cara yang Dapat Lo Lakukan untuk Mengedukasi tentang Budaya Pemerkosaan atau Rape Culture
1. Fokus kepada korban
Menurut gue cara ini sering dilupakan oleh banyak orang. Bahkan ketika korban pelecehan seksual membutuhkan ketenangan pikiran. Nggak dapat dipungkiri, peristiwa yang dialaminya dapat menimbulkan shock berat, bahkan mampu menghilangkan rasa percaya diri. Sebagian besar dari kita sering terlalu fokus pada pelaku dan memikirkan apa yang harus dilakukan sehingga justru lupa dengan perasaan korban.
Karena itu, jika lo melihat pelecehan seksual di sekitar lo, jangan ragu untuk memberikan ketenangan kepada korban. Misalnya, tanyakan apa yang dapat lo lakukan, perlu menemani atau nggak, dan sebagainya. Dengan memberikan kepercayaan kepada korban pelecehan seksual, mereka dapat terbantu dan kembali percaya diri.
Hal-hal seperti itu bisa membuat korban jadi nggak merasa sendirian dan merasa bahwa masih banyak orang-orang di dunia ini yang sangat peduli kepadanya. Perlu diingat, menjadi korban dari pelecehan seksual adalah suatu hal yang berat karena mereka akan merasa bahwa dunia ini tidak adil dan mungkin jalan satu-satunya adalah pergi jauh. Jadi, bantu tenangkan mereka ya, Perseners.
3. Fokus kepada edukasi diri
Cara termudah yang dapat kita lakukan adalah dengan mengedukasi diri sendiri. Jika kita bisa memahami dan mengenali bentuk budaya pemerkosaan, kita nggak akan tinggal diam ketika orang-orang di sekitar kita dan orang lain mengalami hal ini. Kita secara naluriah akan membantu mereka sekuat tenaga kita.
Ada banyak cara untuk mengedukasi diri, seperti berdiskusi, mengikutsertakan diri untuk menyuarakan suara korban, dan menentang normalisasi budaya pemerkosaan. Lo juga bisa memberikan informasi tentang gender, toleransi, dan kelompok minoritas dari buku, penelitian, atau media terpercaya.
Dengan pengetahuan yang benar, lo akan menemukan bahwa ini adalah hal yang salah untuk dilakukan. Maka yang lo lakukan bukanlah menertawakan atau mengejek, tetapi menempatkan diri bersama mereka untuk melindungi para korban dan membantu mereka melaporkan kekerasan dan pelecehan seksual yang mereka alami.
Nggak peduli dari mana pelaku berasal, tanpa memandang status sosial atau asal-usul lainnya, pelaku harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Dan tentunya, korban harus dilindungi.
4. Bantu sebar awareness
Selain itu, kita harus menyebarkan informasi dan pengetahuan yang kita terima kepada orang banyak agar budaya pemerkosaan tidak berkembang ke generasi berikutnya. Semakin anak muda memahami makna budaya pemerkosaan, semakin banyak korban yang berani speak up.
“We hear you. We see you. We believe you.”
Mari bersama-sama ciptakan tempat yang aman bagi para korban dan penyintas.
Dan jika lo atau teman, keluarga atau kerabat lo mengalami kekerasan dan membutuhkan bantuan, dukungan, atau layanan lainnya. Lo dapat menghubungi titik layanan terdekat dan silakan mengakses @carilayanan @KomnasPerempuan @LBHAPIK atau penyedia layanan lainnya.
Menurut gue, isu ini sangat serius dan cukup berat. Nggak semua orang cukup kuat untuk menghadapinya. Tapi, kalo lo ngerasa ketika lo membaca atau mendengar berita seperti ini merasa nggak tenang, lo berarti butuh bantuan. Misalnya dengan ikut di layanan mentoring di Satu Persen.
Di sini, lo bisa cerita sama mentor-mentor di Satu Persen. Bareng-bareng cari solusi dari masalah yang lo hadapi tentunya lewat worksheet yang dibuatkan sesuai dengan masalah lo dan tentunya agar lebih mengenal diri sendiri melalui berbagai psikotes.
Caranya gampang banget, lo bisa langsung aja klik banner di bawah ini.
Kalau lo masih ragu buat ikut mentoring, lo bisa coba tes konsultasi dulu ya. Selain itu, lo juga bisa mendapatkan informasi lain mengenai kesehatan mental di channel YouTube Satu Persen. Dan jangan lupa buat dapetin informasi menarik lainnya di Instagram, Podcast, dan blog Satu Persen ini tentunya.
Ingatlah selalu bahwa kekerasan yang terjadi bukanlah kesalahan korban!
Akhir kata, sekian dulu tulisan dari gue. Semoga informasinya bermanfaat, ya! Dan pastinya selamat menjalani #HidupSeutuhnya!
Referensi:
16 ways you can stand against rape culture | UN Women. (n.d.). Retrieved December 8, 2021, from https://www.unwomen.org/en/news/stories/2019/11/compilation-ways-you-can-stand-against-rape-culture
Rape culture isn’t a myth. It’s real, and it’s dangerous. - Vox. (n.d.). Retrieved December 8, 2021, from https://www.vox.com/2014/12/15/7371737/rape-culture-definition
Sering Dinormalisasi, Sudah Saatnya Rape Culture Dihentikan untuk Selamatkan Korban. (n.d.). Retrieved December 8, 2021, from https://www.beautynesia.id/berita-others/sering-dinormalisasi-sudah-saatnya-rape-culture-dihentikan-untuk-selamatkan-korban/b-242071