Hi, Perseners! Kembali sama aku, Keysha.
Aku pingin nanya nih, kalian semua pada ngikutin series Start-Up ngga sih? Kalau iya, berarti kita sama. Jujur, sebenarnya aku disini masih newbie banget dalam hal “drakor” karena emang sebelumnya ngga pernah tertarik sama yang berbau drama.
Tapi, ngga tau kenapa begitu lihat poster Start-Up di Netflix intuisi aku langsung bilang “wah kayaknya menarik nih” dan ngga lama setelah itu teman-teman aku juga pada bilang kalau series itu bagus. So, jadilah aku ngikutin series itu sampe detik ini.
Dari series Start-Up, sebenarnya banyak banget hal yang bisa dijadikan pelajaran. Salah satu isu yang ingin aku bahas adalah pertemanan antara Nam Do-san, Kim Yong-san, dan Lee Chul-san. Supaya ngga spoiler buat teman-teman yang belum nonton, aku di sini cuma mau recalling sedikit aja tentang pertemanan tiga orang itu.
Nah, jadi Nam Do-san, Kim Yong-san, dan Lee Chul-san mereka tuh udah berteman sejak kuliah. Karena udah lama berteman, pastinya sering banget dong mengalami pasang-surut-pahit-manisnya suatu hubungan pertemanan. Karena yang namanya suatu hubungan, termasuk pertemanan, pasti akan ada masa di mana kalian mengalami konflik satu sama lain dan itu wajar.
Ketiga orang dalam series tersebut (Nam Do-san, Kim Yong-san, dan Lee Chul-san) pernah suatu ketika mengalami konflik yang lumayan bikin gregetan sampai-sampai akhirnya mengancam keberlangsungan bisnis yang mereka rintis bersama. Hebatnya, the bonding in their friendship is so strong. Pertemanan mereka itu solid banget, jadinya konflik yang terjadi ngga bikin hubungan itu pecah melainkan semakin erat.
Dari ilustrasi scene di series Start-Up, mungkin banyak juga dari teman-teman yang pernah atau sedang mengalami hal serupa. Tapi, teman-teman pernah berpikir ngga sih, sebenarnya pertemanan itu artinya apa?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada cerita yang ingin aku bagikan sama teman-teman di mana dari cerita ini harapannya ada hal positif yang bisa dipetik sama kalian semua.
Sebenarnya, tulisan ini terinspirasi dari cerita salah satu teman aku. Intinya, pada saat itu dia merasa lagi jauh banget sama teman-teman kuliahnya. Dia merasa kalau teman-teman kuliahnya yang dulu satu circle satu per satu mulai lost contact dan hanya komunikasi ketika ngucapin ulang tahun atau ada keperluan.
Dia bingung kenapa pertemanannya jadi seperti itu padahal juga mereka ngga berantem, tiba-tiba jadi jauh aja, without particular reason. Akibatnya, kejadian itu membuat dia jadi merasa bersalah sama diri dia sendiri bahkan sampai mikir “gue tuh annoying ya? Atau ngga asik gitu orangnya?”. Teman aku ini merasa kalau dia ngga pandai dalam berteman.
Sebenarnya, dia penasaran banget kenapa temannya ini jadi menjauh, tapi dia merasa ngga enak buat nanya karena di sisi lain dia merasa ngga berhak untuk menanyakan hal tersebut. Dia merasa iri sama orang-orang yang masih bisa deket sama teman-teman kuliahnya walaupun udah beda lokasi dan bilang “Gue pingin bisa kayak gitu, karena gue merasa ngga deket sama sekali sama teman-teman kuliah gue”.
Jadi, teman aku ini merasa kalau selama ini dia ngga “klop” sama circle pertemanan kuliahnya. Maksudnya adalah dia merasa kalau dia ngga bisa terbuka secara penuh sama mereka dan canggung ketika ngobrol. Akibatnya, topik pembicaraan mereka ketika ngobrol cenderung superfisial, padahal juga teman aku ini ngga pingin begini sebenarnya.
Lalu, dia juga cerita kalau dia bahkan sampai nge-hide teman-teman kuliah dia di second account Instagram karena dia merasa oversharing. Dia merasa kalau pertemanan antara dia dan teman-teman kuliahnya itu adalah pertemanan yang “dipaksakan”, jadinya dia ngga “luwes” ketika menjalani pertemanan tersebut. Alhasil, teman aku ini jadi sering banget membandingkan antara teman-teman kuliah dan SMP-nya karena dia merasa lebih dekat dengan circle pertemanan SMP-nya, dan hal seperti itu ngga sehat.
Ketika denger cerita itu, ada ngga sih dari teman-teman yang pernah mengalami hal serupa? Kalau aku pribadi jujur pernah. Namun, pada saat itu aku milih untuk ngga sharing hal tersebut karena at some point, aku ngga ingin jadi overreacting terhadap suatu permasalahan jadinya aku cuma berpikir “Yaudahlah, mau gimana lagi”.
Permasalahan lost contact ini sebenarnya hal yang wajar dialami dalam dinamika pertemanan. Tapi, meskipun wajar pada saat kita mengalami hal tersebut pastinya bikin sedih dan overthinking. Aku pribadi pernah berada di situasi itu dan mikir “aku ada salah ya emangnya?” karena sebelumnya ngga pernah berantem sama sekali dan baik-baik aja tapi tiba-tiba lost contact.
Cerita lain yaitu pernah suatu ketika aku berada di circle pertemanan yang membuat aku merasa sulit untuk terbuka secara emosional. Bukan karena mereka jahat, justru aku seneng banget berteman sama mereka karena menurut aku mereka semua inspiring in their own way. Tapi entah kenapa terkadang aku merasa ngga satu frekuensi karena satu dan lain hal.
Lalu, Pertemanan Sendiri itu Artinya Apa Emang?
Menurut aku pribadi, arti pertemanan itu adalah ketika aku sebagai suatu individu bisa merasa aman dan terbuka secara emosional ke mereka. Artinya aku bisa mendapatkan emotional security dan being emotionally vulnerable tanpa takut merasa di-judge. Istilahnya, aku perlu untuk merasakan sense of home di dalam suatu pertemanan.
Ketika aku ngga bisa terbuka secara emosional artinya aku ngga merasakan sense of home terhadap orang-orang itu dan hal tersebut emang ngga bisa dipaksakan. Kalian boleh setuju atau pun ngga setuju karena memang statement itu hanya opini aku pribadi. Pastinya, tiap orang punya arti pertemanannya masing-masing yang berbeda.
Kalau dari teman-teman ada juga yang sedang mengalami hal serupa, aku cuma ingin bilang it’s ok, kok. Namanya juga dinamika pertemanan. Ada juga pertemanan yang pernah mengalami konflik tapi masih tetap bertahan, contohnya pertemanan antara Nam Do-san, Kim Yong-san, dan Lee Chul-san dalam series Start-Up. Namun, ada juga pertemanan yang lurus-lurus aja, ngga pernah berantem, konflik, atau apa pun itu tapi malah tiba-tiba lost contact.
Mungkin teman-teman ada yang mikir dan ingin melontarkan pertanyaan “lo sedih ngga sih lost contact? Kok kayaknya terlihat biasa aja", jawabannya adalah jelas sedih. Ya kalau dipikir siapa sih yang mau kehilangan teman, terlebih I’m not good dealing with loss.
Tapi, tenang aja, hanya karena satu pertemanan berakhir bukan berarti kebahagiaan kalian akan berakhir juga, kok. Kalian tetap bisa bahagia meskipun tanpa mereka. Kalau kalian ingin tahu gimana caranya untuk memperoleh kebahagiaan jangka panjang, kalian bisa menonton video ini!
Beberapa waktu lalu, aku pernah berada di fase berusaha untuk selalu memperbaiki keadaan dan terjebak di dalam situasi yang dinamakan sunk cost fallacy.
Gampangnya, sunk cost fallacy ini merupakan situasi di mana seseorang cenderung untuk melanjutkan usaha, atau terus mengonsumsi atau mengejar suatu pilihan padahal hal tersebut ngga membuat bahagia atau bahkan berdampak buruk bagi orang yang melakukannya.
Apa sih dampaknya dari Sunk Cost Fallacy ini?
Menurut Christopher Olivola, seorang Asisten Profesor Pemasaran dan juga penulis di salah satu jurnal internasional Psychological Science, sunk cost fallacy ini dapat menyebabkan seseorang terjebak di dalam psychological trap dan mengalami cognitive dissonance.
Peneliti menyebutkan bahwa psychological trap dapat menyebabkan seseorang mengalami bias dalam pengambilan keputusan. Hal ini terjadi karena pikiran manusia itu secara sadar atau tidak sadar enggan mengakui suatu keputusan yang buruk, atau gampangnya orang itu “takut” untuk mengakui rasa kecewa, kehilangan, kekalahan, dan lain sebagainya.
Jika dikaitkan dalam hal pertemanan, yang sering terjadi adalah kalian merasa sayang untuk being unfriend with your friend karena pertemanan kalian ini udah lama bertahun-tahun walaupun sebenarnya ketika menjalani pertemanan tersebut kalian merasa ngga sepenuhnya nyaman. Bisa disebabkan karena perbedaan values, prinsip, atau karena udah beda lokasi aja gitu jadi susah untuk mempertahankan hubungan pertemanan itu.
Meskipun demikian, kalian tetap berusaha untuk nge-keep pertemanan itu karena kalian takut kehilang sesuatu atau seseorang yang menurut kalian berharga, padahal rasa “berharga” itu hanya bias yang disebabkan oleh ketakutan kalian sendiri. Karena, kalau suatu hubungan pertemanan itu memang “berharga” seharusnya kalian ngga mungkin sedikit pun berpikiran untuk mengakhiri pertemanan tersebut.
Ketika sedikit aja kamu ada pikiran untuk mengakhiri pertemanan, itu tandanya kamu mulai merasakan ketidaknyamanan (discomfort).
Discomfort ini bisa berbagai macam bentuknya–ada shame, embarrassment, regret, dan lain sebagainya. Situasi inilah yang nantinya dapat menyebabkan cognitive dissonance, yaitu suatu kondisi yang menggambarkan ketidaknyamanan (discomfort) mental akibat memegang dua keyakinan, nilai, atau sikap yang saling bertentangan.
Gampangnya, antara apa yang kalian pikirkan dan apa yang kalian lakukan itu ngga konsisten. Cognitive dissonance ini salah satunya dapat disebabkan karena adanya forced compliance atau kesesuaian yang dipaksakan.
Contoh, kalian sadar kalau sebenarnya prinsip kalian dan teman kalian itu berbeda. Tapi, karena kalian merasa ngga enak untuk mengekspresikan perbedaan prinsip tersebut dan berpikir kalau mengekspresikan perbedaan prinsip itu dapat merusak hubungan pertemanan kalian, jadinya kalian memilih diam dan “memaksakan” diri untuk mengadopsi prinsip teman kalian. Padahal udah jelas ngga sesuai. Hal ini dilakukan karena kalian ingin memenuhi ekspektasi dan merasa “diterima” oleh lingkungan sosial tersebut.
Mungkin kalian banyak yang mikir “Loh wajar dong kalo kita ingin diterima sama lingkungan sosial?”. Jawabannya wajar kok dan emang ngga salah merasa gitu. Tapi, hal tersebut bisa menjadi salah kalau rasa selalu ingin diterima itu sampai memengaruhi self-esteem dan self-worth kalian secara negatif, hal tersebut justru bisa menyebabkan kalian merasakan stres dan anxiety berkepanjangan.
Nah, yang ingin aku tekankan dari konsep sunk cost fallacy tersebut adalah apabila teman-teman ada yang mengalami situasi seperti itu dan dirasa sampai mengganggu kondisi psikologis kalian, please seek for help.
Sebagai Life School terbesar di Indonesia, Satu Persen di sini bisa membantu kamu untuk mengatasi permasalahan yang sedang kamu alami sekaligus sebagai teman untuk bercerita. Kalau masalah pertemanan yang sedang kamu alami sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, kamu boleh banget untuk mendaftar konsultasi bersama psikolog Satu Persen melalui layanan konseling.
Dibutuhkan awareness yang tinggi supaya kamu bisa keluar dari psychological trap dan juga meminimalisir terjadinya cognitive dissonance. Satu Persen akan memberikan kamu layanan berupa worksheet, catatan konsultasi, lembar hasil psikotes dan masih banyak lagi. Pastinya, hal ini dilakukan oleh mentor-mentor terbaik lulusan S1 Psikologi universitas ternama di Indonesia.
Memang, tidak mudah untuk membangun awareness yang tinggi terhadap suatu permasalahan yang sedang kita hadapi karena saat ini pun sekolah-sekolah konvensional di Indonesia juga tidak mengajarkan hal seperti itu.
Nah, kalau kalian udah mendapatkan gambaran mengenai dampak dari sunk cost fallacy tersebut dalam hubungan pertemanan, mungkin dari kalian ada yang bertanya-tanya “gimana ya caranya mengakhiri pertemanan dengan baik?”. Sebenarnya, “baik” itu kan relatif ya. But, let’s have a deal, “baik” di sini diartikan dengan tidak menyakiti satu sama lain.
Ada dua cara yang bisa kalian lakukan, yaitu:
1. Gradual Fade-Out
Cara ini bisa dibilang cara yang paling “halus” untuk dilakukan ketika kalian ingin mengakhiri suatu pertemanan. Gradual fade-out atau dapat diartikan menghilang secara perlahan. Maksudnya adalah kalian bisa mengurangi frekuensi komunikasi secara bertahap dengan teman kalian tersebut. Cara ini biasanya dilakukan apabila kalian merupakan circle pertemanan acquaintance yang komunikasinya hanya bersifat transaksional.
Poin plus dari cara ini adalah kalian dapat meminimalisir terjadinya konfrontasi dalam jangka pendek di mana hal tersebut sangat memungkinkan kalian untuk tetap bisa menjaga hubungan baik dengan teman kalian. Namun, dalam jangka panjang cara ini justru bisa jadi bumerang bagi kalian karena secara “terpaksa” kalian harus menyimpan unek-unek sendiri dan besar kemungkinan teman kalian ini ngga sadar kalau sebenarnya selama ini kalian punya concern terhadap mereka. Akibatnya, unek-unek yang menumpuk tersebut bisa menjadi emotional burden yang justru membuat kalian stres, overthinking, atau bahkan anxiety.
Namun, yang perlu diingat ketika kita melakukan gradual fade-out terhadap seseorang, bukan berarti kita membenci orang tersebut. Terkadang, kita ingin menghilang dari kehidupan seseorang karena kita merasa harus dealing sama diri kita sendiri terlebih dahulu. Jadi, perlu diingat juga untuk kalian apabila ada teman kalian yang melakukan hal ini ke kalian, jangan langsung judgmental ya.
Berusaha lah untuk memposisikan diri kita di posisi orang itu sebelum memberikan pendapat atau argumen. Karena, kalian sendiri juga ngga mau dong pastinya ketika melakukan hal ini malah dicap sebagai orang yang jahat.
2. Mengomunikasikan Concern
Cara ini biasanya dilakukan apabila temanmu merupakan circle teman dekat atau circle sahabat. Namun, tidak dipungkiri juga kamu tetap bisa melakukan hal ini pada circle pertemanan acquaintance apabila memang diperlukan. Untuk circle acquaintance sendiri, memang sedikit memerlukan lebih banyak effort untuk menyampaikan concern tersebut, karena pasti akan sangat canggung rasanya untuk tiba-tiba bilang ke teman kalian yang sebenarnya.
Ya, hubungan kalian cuma terbatas transaksional aja. Tapi, kalau memang dirasa concern tersebut udah sangat mengganggu buat kalian, please, ngga usah merasa ragu untuk memberi tahu mereka, ya!
Apabila circle kalian adalah circle teman dekat atau circle sahabat, aku pribadi menyarankan untuk mengomunikasikan concern kalian secara langsung dengan orang tersebut. Karena kalau kalian memang teman dekat atau sahabat, seharusnya kalian udah terbiasa untuk bicara heart-to-heart dengan satu sama lain.
Tapi, mungkin beberapa dari kalian masih ada yang merasa ngga enak untuk ngomong dan mikir “gimana ya caranya untuk nyampein unek-unek ke dia?” atau “aku takut dia baper kalau aku ngomong”.
Nah, langkah awal yang bisa kamu lakukan adalah mencari waktu yang tepat untuk berbicara. Karena supaya omongan yang berusaha kamu sampaikan bisa terserap dengan baik, kamu dan temanmu perlu berada dalam mood yang bagus. Berusaha lah untuk menyampaikan dengan jujur apa yang kamu rasakan. Be direct, clear, specific, and be kind.
Sampaikan juga harapan-harapan apa aja sih yang sekiranya ngga bisa terpenuhi di dalam pertemanan kalian ini dan berikan juga alasan kenapa kamu ngga bisa lagi untuk melanjutkan pertemanan tersebut. Cara ini sah-sah aja kok. Karena memang kamu punya hak untuk mengambil keputusan mu sendiri termasuk dalam hal menyudahi pertemanan.
Mungkin, beberapa dari kalian ada yang merasa takut ketika mengakhiri suatu pertemanan akan merasa kesepian setelah itu. Tapi, sebenarnya kalau dipikir yang membuat kita merasa sepi itu adalah justru ketika kita berada di antara orang-orang yang sebenarnya ngga bikin kita fulfill secara emosional.
Kalau kalian ada yang seperti itu dan merasa butuh untuk membangun pertemanan yang baru tetapi masih bingung gimana caranya, kalian bisa menonton salah satu videonya Satu Persen di channel ini.
Inget, semakin kita dewasa akan banyak sekali hal-hal tak terduga yang terjadi di dalam hidup kalian termasuk dalam hal pertemanan. People will come and go, and it’s ok. Karena, memang semua orang akan lost contact pada waktunya, tapi semua orang juga akan kembali pada waktunya – if that person meant to be in your life.
Bisa aja teman yang udah lama banget ngga komunikasi tiba-tiba menghubungi kalian lagi atau bisa juga justru kalian mendapat teman baru yang kualitasnya jauh lebih fulfilling daripada circle pertemanan kalian yang lama. Aku menyampaikan hal seperti itu karena aku pribadi udah sering mengalami hal demikian.
Kalau menurut filosofi Dichotomy of Control, di dunia ini akan selalu ada hal yang bisa kalian kontrol dan hal yang tidak bisa kalian kontrol. Dalam hal pertemanan, kalian mungkin ngga akan punya kontrol atas kejadian yang menimpa kalian–misalnya konflik, teman yang menjauh, ditipu teman, atau bahkan berada di lingkungan pertemanan yang toxic.
Tapi, kalian akan selalu punya kontrol atas reaksi kalian sendiri atas apa yang terjadi. Kalian mau sedih atau justru dibawa santai aja ketika konflik, kalian mau marah atau santai aja ketika ditipu teman, atau kalian mau tetap stay atau pergi dari pertemanan yang toxic itu semua ada pada kendali kalian.
Sama halnya ketika kalian berusaha mengomunikasikan concern kepada teman kalian, tetapi dia ngga terima atas unek-unek yang kamu sampaikan. It’s ok, dia punya hak kok untuk seperti itu, karena memang bukan kewajiban kamu untuk bertanggung jawab terhadap emosi yang dia rasakan, tapi tanggung jawab kamu cukup sebatas menyampaikan concern terhadap hubungan pertemanan itu.
Kalau kamu merasa bingung apakah lingkungan pertemanan kamu saat ini sudah tepat atau tidak, kamu bisa ceritakan keluhan-keluhan yang kamu rasakan yang mungkin selama ini hanya kamu pendam sendirian kepada tenaga profesional dengan mengikuti layanan KONSELING bersama Satu Persen. Masalah - masalah terkait diri dan kehidupan pertemanan kamu yang sulit terselesaikan dapat dibantu untuk dicari jalan keluarnya dengan KONSELING.
Semisal kamu ingin melihat kualitas pertemanan kamu dengan teman-temanmu, kamu bisa juga mencoba tes kualitas pertemanan gratis dari Satu Persen. Kamu bisa mendapatkan informasi lainnya mengenai Personal Finance di channel Youtube Satu Persen dan jangan lupa informasi menarik lainnya yang bisa kamu dapatkan di Instagram, Podcast, dan blog Satu Persen ini tentunya.
Mungkin segitu aja cerita dari aku hari ini. Semoga dari cerita tersebut, ada sedikit manfaat yang bisa kamu petik yang dapat membantumu menuju #HidupSeutuhnya. Karena segala sesuatu dimulai dari hal yang kecil, setidaknya Satu Persen setiap harinya.
I’ll see you in the next article – stay healthy, stay safe & stay sane!
Referensi:
Cherry, Kendra. 2020. “Cognitive Dissonance and Ways to Resolve It.” Verywell Mind. Diakses 24 November 2020. https://www.verywellmind.com/what-is-cognitive-dissonance-2795012.
Cuncic, Arlin. 2019. “The Best Tips for Ending a Friendship.” Verywell Mind. Diakses 24 November 2020. https://www.verywellmind.com/how-to-end-friendship-4174037.
DiGerolamo, D. A. 2019 “The Stoic Dichotomy of Control.” Medium. Diakses 24 November 2020. https://medium.com/stoicism-philosophy-as-a-way-of-life/the-importance-of-understanding-dichotomy-of-control-1f7133210c0d.
Ducharme, Jamie. 2018. “The Sunk Cost Fallacy Is Ruining Your Decisions. Here’s How.” Time. Diakses 24 November 2020. https://time.com/5347133/sunk-cost-fallacy-decisions/.
Hammond, John S., Ralph L. Keeney, dan Howard Raiffa. 1998. “The Hidden Traps in Decision Making.” Harvard Business Review, 1 September 1998. https://hbr.org/1998/09/the-hidden-traps-in-decision-making-2.