Hai semua, hari ini aku mau bahas soal The Good Girl Syndrome. Sebuah sindrom yang lagi hype akhir-akhir ini. So, aku highlight buat para perempuan-perempuan, sini pada kumpul! Kita bahas sama-sama, ya!
Tanpa kita sadari, beberapa dari kita tumbuh dalam pola asuh di mana orang tua memberi petuah bahwa seorang perempuan harus bisa bersikap baik dalam tindakannya. Sebab, secara sosial budaya pun terdapat standar ideal bagi perempuan untuk berperan dalam masyarakat.
Contohnya bisa kalian temui di kehidupan sehari-hari, kayak gini, nih: “Kalau jadi perempuan ya harus penurut, jangan suka bantah apa kata orang tua,” atau “Kalau jadi perempuan harus sopan, jangan ugal-ugalan kayak laki-laki."
Kemudian menginjak dewasa, sikap baik perempuan harus bisa diaplikasikan dalam caranya menyenangkan orang di sekitar, mengurus suami, mengurus rumah tangga, melahirkan serta membesarkan seorang anak. Walau sebenarnya bersikap baik bukanlah suatu kesalahan. Problematikanya adalah apabila “sikap baik” ini gak didasari oleh kesadaran penuh dari perempuan itu sendiri.
Mereka terpaksa melakukan ini karena terbentur oleh norma, standar, dan pola asuh yang membentuknya. Akibatnya, perempuan gak bisa mengekspresikan apa yang sebetulnya ia inginkan. Sikap ini disebut sebagai The Good Girl Syndrome.
So, Apa Itu The Good Girl Syndrome?
The Good girl syndrome adalah sikap ketika seorang perempuan memaksa dirinya untuk selalu bersikap baik dan menyenangkan orang lain, tanpa memikirkan perasaannya atau bahkan haknya sendiri.
Karakteristik perempuan yang memiliki The Good Girl Syndrome biasanya adalah takut mengecewakan orang lain, takut berbicara supaya gak menyakiti orang, menghindari konflik, menaati peraturan, dan juga sulit menolak permintaan orang lain. Sehingga perempuan dengan sikap ini cenderung menghindari kritik, konflik, penolakan, kesalahan, serta selalu bermain aman.
Baca juga: Apa Itu Altruisme? Mengapa Manusia Melakukan Hal-hal Baik?
Penyebab The Good Girl Syndrome
1. Pola Asuh
Pola asuh otoriter menjadi salah satu penyebab terbentuknya The Good Girl Syndrome. Melansir dari verywellmind.com pola asuh otoriter adalah gaya pola asuh yang menuntut anak-anak mereka untuk berperilaku sesuai ekspektasi orang tuanya. Walaupun begitu, para orang tua ini biasanya gak memberikan pengasuhan secara maksimal. Sehingga apabila anak mereka melakukan suatu kesalahan, para orang tua ini gak segan memberikan hukuman.
Menurut Diana Baumrind, terdapat banyak alasan mengapa orang tua memiliki pola asuh otoriter, salah satunya adalah faktor sosial budaya. Di mana para orang tua memasukkan nilai-nilai dan budaya yang ada di suatu masyarakat kepada anak-anak mereka tanpa menyaring kebenarannya. Sehingga para orang tua ini berfokus pada kepatuhan alih-alih menghargai perilaku positif anak.
Contohnya seperti orang tua melarang anak perempuan untuk main dengan anak laki-laki tanpa memberi alasan yang jelas. Apabila anak perempuan melanggar, maka akan kena hukuman dari orang tuanya. Padahal seharusnya orang tua memberi kebebasan anak perempuan untuk berteman dengan siapa saja tanpa bias gender.
2. Sosial Budaya
Menyambung poin pertama tadi, faktor sosial budaya ternyata juga ikut berperan membentuk The Good Girl Syndrome pada perempuan. Melansir dari Jurnal Perempuan berjudul “Perempuan dan Belenggu Peran Kultural” disebutkan bahwa menjadi istri dan ibu rumah tangga (homemaker) sudah sejak lama melekat dalam diri perempuan.
Hal tersebut kemudian menjadi budaya dan adat istiadat. Ketika perempuan lahir ia sudah dicap sebagai makhluk berperasaan yang sulit mengambil keputusan dengan baik. So, dengan kata lain budaya yang ada menjadikan para perempuan tanpa sadar mendukung hal-hal yang sebenarnya membuat dia kehilangan jati dirinya.
"Perempuan adalah dunia perlawanan dalam diam, dunia pemberontakan dalam kepatuhan, dunia hening di tengah kekacauan hidup, dunia kesendirian dalam riuh dan sunyi, dan dunia penyerahan dalam ketakutan dan ketidakberdayaan." - Maria Hartiningsih
Baca juga: 4 Cara untuk Menghilangkan Sifat Gak Enakan Agar Lebih Produktif
Bagaimana Mengatasi The Good Girl Syndrome?
Melansir dari rachelsimmon.com, cara untuk mengatasi kutukan The Good Girl Syndrome adalah dengan mendengarkan suara hati kalian serta bertindak berdasarkan itu. Perempuan harus percaya diri dan berani mengekspresikan perasaannya.
Kemudian gak merasa bersalah atas kesedihan orang lain, berpegang teguh pada prinsip yang dipercayai, serta belajar mencintai diri sendiri sebagaimana kalian mencintai dan memperlakukan orang lain dengan baik.
Sikap menjadi perempuan baik dengan mengorbankan perasaan dan merugikan sendiri, tentunya gak baik jika terus dipelihara, Perseners! So, kalau kalian masih merasa bingung buat mengatasi The Good Girl Syndrome, kalian bisa konsultasikan ini ke Satu Persen aja!
Satu Persen akan memberikan bantuan buat kalian. Langsung aja ikutan mentoring Satu Persen karena di sini Satu Persen akan memberikan insight berupa arahan, refleksi diri, atau action plan buat pemecahannya. Langsung aja klik banner di bawah ini, ya!
Tetapi kalau kalian merasa sindrom ini semakin mengganggu keseharian Perseners, bisa jadi masalah kalian butuh ditangani oleh psikolog yang profesional. Nah, kalau kalian masih ragu apakah harus ikut mentoring, atau justru harus ketemu psikolog, kalian bisa coba ikut tes konsultasi dulu. Supaya kalian bisa menemukan layanan yang cocok nih.
Sekian dulu dari aku, semoga artikel ini bisa memberi sedikit ilmu buat kalian. Sampai jumpa lagi, Perseners!
Referensi:
Kusmana K. Menimbang Kodrat Perempuan antara Nilai Budaya dan Kategori Analisis. Refleksi. 2014;13(6):779–800.
https://voi.id/en/lifestyle/28863/good-girl-syndrome-demands-to-be-good-but-not-happy
https://www.rachelsimmons.com/books/the-curse-of-the-good-girl/
https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/perempuan-dan-belenggu-peran-kultural
https://www.verywellmind.com/what-is-authoritarian-parenting-2794955