Alasan Terobsesi kerja Tanpa Kenal Lelah

kantor
Product Satu Persen
5 Okt 2023

Di era modern saat ini, tampaknya kita semua terobsesi untuk terus bekerja tanpa kenal lelah. Teknologi memungkinkan kita untuk tetap "terhubung" dan terus bekerja 24/7. Batas antara kehidupan pribadi dan profesional pun semakin kabur. Namun apakah tren ini sehat dan berkelanjutan? Dalam artikel ini, kita akan merefleksikan mengapa kita terobsesi untuk bekerja tanpa kenal lelah, serta cara menemukan keseimbangan yang lebih baik.

Bekerja tanpa kenal lelah dapat didefinisikan sebagai situasi dimana seseorang sangat terfokus pada pekerjaan sehingga mengabaikan kebutuhan istirahat dan kehidupan di luar pekerjaan. Gejala-gejalanya antara lain bekerja berlebihan di luar jam kerja, kesulitan melepaskan diri dari pekerjaan, dan menjadikan pekerjaan sebagai prioritas utama hidup.

Topik ini sangat relevan dibahas di era modern karena tren digitalisasi dan perkembangan teknologi memungkinkan kita untuk terus terhubung dan bekerja tanpa batas waktu. Hal ini berpotensi membawa dampak negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu serta masyarakat. Oleh karena itu penting untuk merefleksikan trend ini dan mencari solusi yang tepat.

Sejarah Budaya Kerja

Untuk memahami fenomena obsesi bekerja saat ini, kita perlu melihat bagaimana budaya kerja berkembang sepanjang sejarah. Pada zaman dahulu, bekerja dipandang sebagai cara untuk bertahan hidup. Namun sejak revolusi industri, pandangan terhadap pekerjaan berubah drastis menjadi simbol status dan identitas diri.

Pada abad ke-18 dan 19, muncul etos kerja Protestan yang mengajarkan bahwa bekerja keras adalah panggilan suci dan jalan menuju kesuksesan. Etos kerja inilah yang melandasi kapitalisme modern. Pekerja diharapkan bekerja keras demi keuntungan material dan status sosial.

Memasuki abad ke-20, jam kerja mulai dibatasi dan gerakan serikat pekerja memperjuangkan hak cuti dan waktu luang. Namun, budaya konsumerisme pasca PD 2 menciptakan tekanan baru untuk terus mengejar uang dan barang.

Di era digital saat ini, kita menghadapi tantangan baru akibat ketergantungan pada teknologi. Batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi kabur. Orang merasa perlu terus terhubung dan bekerja untuk tetap kompetitif dan relevan.

Jadi meskipun konteks historisnya berbeda, obsesi untuk maju dan sukses tetap menjadi pemicu utama budaya kerja tanpa henti. Perlu dilakukan refleksi mendalam untuk membangun budaya kerja yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Obsesi Bekerja

Ada beberapa faktor utama yang mendorong munculnya obsesi bekerja di era modern ini:

Tekanan Sosial

Secara sosial, kesuksesan kerap diukur dari prestasi dan status pekerjaan seseorang. Orang yang bekerja keras dan mencapai posisi tinggi dihormati sebagai teladan. Ini menciptakan tekanan untuk terus maju demi pengakuan sosial. Stigma terhadap pengangguran atau 'orang malas' juga memaksa orang untuk terus bekerja.

Teknologi

Perkembangan teknologi komunikasi memudahkan kita untuk terus terhubung dengan pekerjaan. Smartphone dan laptop membuat kantor selalu ada dalam genggaman. Ini mendorong orang untuk terus bekerja dan memeriksa email di luar jam kerja karena takut ketinggalan.

Krisis Ekonomi

Ketidakpastian ekonomi dan persaingan kerja yang ketat membuat orang merasa perlu bekerja lebih keras untuk mengamankan pekerjaan. Banyak yang merasa perlu 'membuktikan diri' dan mengesampingkan kebutuhan pribadi demi karier.

Identitas Diri

Bekerja juga menjadi sumber identitas dan harga diri bagi banyak orang. Mereka yang mendefinisikan diri melalui kesuksesan karier akan terobsesi untuk terus maju. Pekerjaan menjadi penanda nilai dan makna hidup.

Faktor-faktor ini saling terkait dan memperkuat satu sama lain dalam menciptakan lingkaran setan obsesi bekerja yang tidak sehat dan tak berkesudahan.

Dampak dari Obsesi Bekerja Tanpa Kenal Lelah

Terobsesi untuk terus bekerja dan sukses ternyata membawa dampak negatif yang signifikan, baik pada level individu maupun sosial. Dampak utamanya antara lain:

Kesehatan Fisik

Bekerja berlebihan dan kurang tidur meningkatkan risiko penyakit fisik seperti diabetes, stroke, dan serangan jantung. Kelelahan kronis juga berkontribusi pada penurunan sistem kekebalan tubuh.

Kesehatan Mental

Stres kronis dan kelelahan akibat overwork dapat memicu gangguan mental seperti depresi dan kecemasan. Fenomena 'karoshi' (kematian karena kelelahan) di Jepang menunjukkan risiko ekstrem dari budaya kerja tanpa henti.

Hubungan Sosial

Obsesi bekerja juga merusak hubungan dengan pasangan, keluarga, dan teman karena waktu bersama berkurang. Kualitas hubungan menjadi dangkal akibat kurangnya investasi emosi.

Produktivitas

Paradoksnya, produktivitas justru menurun jika orang bekerja berlebihan dalam jangka panjang tanpa cukup istirahat. Overwork dan kelelahan mental membuat kreativitas dan fokus berkurang.

Melihat dampak buruk dari overwork, jelas kita perlu mengubah cara pandang dan mendefinisikan kembali makna sukses. Beberapa kisah nyata berikut menunjukkan bahaya obsesi berlebihan terhadap karier.

Kasus Nyata: Akibat Terobsesi Bekerja

Salah satu dampak ekstrem dari budaya kerja tanpa henti di Asia adalah karoshi atau kematian akibat stroke dan serangan jantung karena kelelahan berlebihan.

Di Jepang, kasus karoshi meningkat tajam sejak tahun 1970-an. Seorang engineer berusia 26 tahun bernama Kenichi Uchino tewas akibat stroke setelah bekerja lembur 80 jam per minggu selama 2 bulan berturut-turut. Tragedi ini memicu gelombang protes yang memaksa pemerintah Jepang mulai membuat regulasi jam kerja.

Kisah nyata lainnya adalah Josh, seorang eksekutif periklanan di New York yang rutin bekerja 80-100 jam per minggu. Obsesinya pada karier menelan korban berat: perceraian dari sang istri dan jarang bertemu anak-anak. Josh juga mengalami depresi dan kecanduan alkohol akibat stres kronis. Setelah hampir terkena serangan jantung, dia memutuskan berhenti dari pekerjaan dan menjalani terapi.

Kasus-kasus ini menjadi peringatan bahwa tanpa batasan yang jelas, pekerjaan bisa dengan mudah menjajah dan merusak hidup kita. Kesuksesan tidak boleh diburu dengan mengorbankan kesehatan dan kebahagiaan.

Menemukan Keseimbangan: Mengatasi Obsesi Bekerja

Untuk mengatasi masalah overwork, kita perlu mengenali tanda-tanda obsesi berlebihan pada diri sendiri dan sekitar kita. Berikut adalah beberapa langkah praktis untuk menciptakan budaya kerja yang lebih sehat dan berkelanjutan:

  1. Prioritaskan istirahat dan pemulihan – Jadwalkan waktu luang untuk relaksasi dan menenangkan pikiran dari rutinitas pekerjaan. Liburan dan cuti juga penting untuk mencegah burnout.
  2. Tetapkan batasan yang jelas – Atur jumlah jam kerja per hari dan pertahankan batasan antara kehidupan pribadi dengan pekerjaan. Matikan notifikasi pekerjaan di luar jam kerja.
  3. Kelola ekspektasi – Komunikasikan pada atasan dan rekan kerja mengenai batasan waktu dan kapasitas kerja Anda. Kelola ekspektasi pelanggan secara realistis.
  4. Rencanakan karier jangka panjang – Jangan terobsesi dengan kesuksesan jangka pendek. Rencanakan karier dalam jangka waktu yang realistis sambil memperhatikan work-life balance.
  5. Temukan identitas di luar karier – Bangun hobby, minat, dan lingkaran sosial di luar pekerjaan untuk menemukan sumber makna dan tujuan hidup lainnya.
  6. Reformasi budaya kerja – Kampanyekan perilaku dan kebijakan yang mendukung work-life balance di tempat kerja Anda. Ajak rekan seprofesi untuk membatasi overwork.

Dengan langkah-langkah ini, kita dapat membangun lingkungan kerja yang lebih manusiawi. Produktivitas yang berkelanjutan hanya dapat dicapai dengan menghargai keterbatasan manusiawi para pekerja.

Kesimpulan

Obsesi bekerja tanpa henti merupakan fenomena yang berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental kita. Kita perlu melakukan refleksi mendalam terhadap motivasi dan dampak dari overwork ini. Dengan membangun kesadaran kolektif dan mengambil langkah nyata, kita dapat menemukan keseimbangan yang lebih baik antara kehidupan pribadi dan profesional demi keberlanjutan individu, keluarga, dan masyarakat.

Di masa depan, tantangan terbesar adalah menjaga agar teknologi memberdayakan manusia, bukan menjajah hidup kita. Kita juga perlu terus berinovasi menciptakan budaya kerja inklusif yang menghargai kontribusi setiap orang tanpa mengorbankan kesehatan dan martabat. Dengan bijaksana memanfaatkan peluang di era digital, kita dapat membangun masyarakat yang lebih sejahtera dan berkelanjutan.

Request Pelatihan SDM Satu Persen x Life Skills ID

Untuk Perusahaan, NGO dan Pemerintahan:

+62 882-9762-5596‬ (Margareth, Whatsapp)

Untuk Organisasi dan Kemahasiswaan:

+62 851-7317-1568 (Sheila, Whatsapp)

Daftar Pustaka

Arinto, P. B. (2019). Overworked society: The origins and ends of work. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hatori, M., & Patten, E. (2021). Karoshi: Death from overwork in Japan. Occupational Medicine, 71(2), 69-70.

Schwartz, T. (2015). Why we work too much and what we can do about it. Medium. https://medium.com/@tonyschwartz/why-we-work-too-much-and-what-we-can-do-about-it-7f098332987f

Sugawara, I. (2018). Historical development of occupational health in Japan: The occupational safety and health act in 1972. Industrial health, 56(1), 17–24. https://doi.org/10.2486/indhealth.2017-0096

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.