Halo Perseners, balik lagi sama aku Senja, Part-time Blog Writer di Satu Persen.
Setiap orang pasti akan mengalami rasanya kehilangan apalagi ditinggal pergi oleh orang terkasih. Kehilangan berarti berpisah untuk melepaskan dan memulai kehidupan baru tanpa kehadiran orang tersebut. Menghadapi kehilangan memang tidak pernah mudah. Sebab, hal itu berarti kita harus melewati berbagai pengalaman emosi negatif, seperti kegelisahan, kemarahan, atau ketidakpercayaan.
Untuk lebih dekat dengan emosi itu, aku coba bertanya kepada temanku yang pernah mengalami rasanya ditinggal oleh orang terkasih. Sebut saja si C, temanku yang paling aku sayangi. Ia baru saja ditinggal oleh ibunya beberapa bulan lalu karena terkena suatu penyakit.
Aku tidak bertanya terlalu jauh mengenai detail penyakitnya. Sepanjang percakapan, aku hanya sibuk bertanya mengenai keadaannya. Dan kira-kira begini jawabannya.
C : "Jangan tanya perasaanku saat itu, aku tidak bisa menjelaskannya. Terlalu pahit."
Aku : "Aku tahu pasti sangat menyedihkan, apa yang kamu lakukan untuk mengatasi kesedihanmu saat itu, C?"
C : "Saat itu, aku hanya menjalani hari demi hari dengan kosong."
Aku : "Terus, bagaimana sampai akhirnya kamu bisa bangkit dari masa kelam itu?"
C : "Aku tak tahu, aku jalani seperti biasa melewati fase demi fase emosi. Aku sempat depresi berat dan tidak bergairah hidup. Sampai akhirnya aku pasrah dan coba menerima semua ini."
Pengalaman temanku tadi mengingatkan aku sama teori yang dikembangkan oleh psikiater dan penulis buku Elisabeth Kübler-Ross. Elisabeth Kübler-Ross dalam bukunya berjudyl On The Death and Dying yang terbit pada tahun 1969 mengatakan bahwa terdapat 5 fase dalam berduka atau istilah Bahasa Inggrisnya 5 stages of grief. Kelima tahapan itu meliputi denial (penolakan), anger (marah), bargaining (menawar), depression (depresi), dan acceptance (penerimaan).
Seperti yang dikatakan oleh C, ia mengaku telah melewati fase demi fase emosi, bahkan pernah mengalami depresi berat. Tanpa C sadari, ia telah melewati fase dalam berduka sampai akhirnya ia menerima semua kesedihannya. Beranjak dari situ, aku mau bahas lebih jauh soal the 5 stages of grief (lima tahap berduka), Perseners!
Jadi, kalian bisa baca artikel ini sampai habis buat dapet insight mengenai teori ini ya!
Baca juga: Mengenal 5 Jenis Gangguan Kecemasan (Mungkin Kamu Mengalami Gejalanya)
Lima Tahap Kesedihan
1. Denial (Penolakan)
Fase pertama ialah penolakan. Penolakan di dalam diri membantu kita meminimalisir rasa sakit karena kehilangan. Penolakan ibarat sebuah benteng pertahanan untuk menangkal emosi berupa rasa sakit yang kita alami. Karena mungkin untuk sesaat kita akan sulit percaya bahwa kita telah kehilangan seseorang yang kita cintai.
Penolakan bukan hanya upaya berpura-pura bahwa kematian itu tidak ada. Namun, kita juga berusaha menyerap dan memahami apa yang terjadi.
Terutama apabila mungkin kita baru saja berbincang atau berkumpul dengannya. Sehingga butuh waktu bagi pikiran untuk menyesuaikan diri dengan realita yang ada. Sedikit ruang untuk merenungkan pengalaman yang telah dilakukan bersama orang tersebut. Dan penolakan dapat memperlambat proses menyakitkan itu dan membawa kita melewatinya selangkah demi selangkah.
2. Anger (Amarah)
Kemarahan terjadi sebagai bentuk penyaluran emosi akibat rasa kehilangan. Ketika kehilangan, sistem saraf yang ada di dalam tubuh mempengaruhi emosi sehingga timbul suatu amarah.
Kemarahan merupakan suatu yang wajar dan umum terjadi setelah kehilangan orang yang dicintai. Kita mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru sehingga wajar apabila kita mengalami perubahan emosional yang signifikan.
3. Bargaining (Menawar)
Bargaining berarti melakukan negosiasi dengan menawarkan apapun untuk bisa menghindari rasa sakit akibat kehilangan. Biasanya, hal ini dilakukan dengan menawarkan berbagai janji, seperti:
"Tolong Tuhan sembuhkan ibu saya, saya janji akan berubah lebih baik."
“Tolong beri kesempatan satu kali lagi, biarkan ibu saya hidup.”
Biasanya, kita akan meminta penawaran agar mendapat hasil seperti yang kita harapkan. Walaupun sebenarnya mustahil, proses tawar-menawar ini memberi kita perasaan lebih baik. Saat menawar, kita juga cenderung berfokus pada kesalahan atau penyesalan pribadi kita.
Kita mungkin masih teringat interaksi terakhir dengan orang tersebut, memori bersamanya mungkin masih tergambar jelas sehingga kehilangan orang tersebut menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Kita juga cenderung berasumsi bahwa apabila segala sesuatunya terjadi secara berbeda, hal mengerikan, seperti kehilangan tentu tidak akan terjadi.
4. Depression (Depresi)
Setelah fase tawar menawar kita kemudian menyadari suatu realita bahwa apa yang terjadi itu benar adanya. Sehingga fase menawar sudah tidak terjadi lagi. Kita mulai merasakan kesedihan yang lebih dalam karena kehilangan orang yang kita cintai.
Pada saat-saat itu, kita cenderung menarik diri dan masuk ke dalam pusaran kesedihan. Kita terpuruk, mungkin juga mendapati diri sudah tidak bersemangat menjalani kehidupan. Fase ini disebut dengan tahapan depresi.
5. Acceptance (Penerimaan)
Fase terakhir adalah tahap penerimaan. Pada fase ini, bukan berarti kita sudah tidak lagi merasakan sakitnya kehilangan. Namun, kita menerima dengan tidak melawan kenyataan yang ada.
Kita tidak berjuang lagi untuk memaksakan kenyataan yang sudah terjadi. Kesedihan dan penyesalan tentu masih ada. Tetapi pada tahap ini kita sudah bisa mengendalikan emosi tidak seperti keempat tahap sebelumnya, seperti penolakan, marah, menawar, dan depresi. Penerimaan lebih kepada memaknai hidup dengan perubahan yang ada.
Oh iya Perseners, berdasarkan teori Elisabeth Kübler-Ross, ternyata tidak semua orang akan melewati fase-fase berduka tersebut. Beberapa orang mungkin tidak mengalami tahap depresi atau amarah. Tapi ada juga orang yang mengalami semua tahapan dalam berduka. Namun, pada intinya semua orang akan mengalami fase penerimaan dalam diri mereka (acceptance).
Baca juga: IKIGAI: Konsep Hidup Bahagia dan Cara Mencapainya
Bagaimana Cara Melewati Kelima Fase Kehilangan?
Berduka memang tidak ada obatnya. Berduka merupakan suatu proses yang alami atau respon wajar dalam menghadapi kehilangan, Perseners! Cara terbaik dalam menghadapinya adalah memberi ruang untuk diri sendiri berduka. Meski luka kehilangan tidak bisa seluruhnya terobati paling tidak seiring waktu bisa sedikit tertutupi.
Namun, berduka dapat menjadi buruk apabila dibiarkan berlarut-larut. Akibatnya bisa fatal apabila mengalami fase emosi yang berkepanjangan. Apalagi sampai mengalami gangguan kesehatan mental, seperti Prolonged Grief disorder (gangguan kesedihan berkepanjangan) atau depresi mayor.
Sehingga, kalau Perseners butuh bantuan untuk memproses rasa berduka tersebut atau merasa kesedihan berduka yang terlampau lama, kalian boleh untuk berkonsultasi dengan mentor.
Mentoring Satu Persen di sini hadir membantu kalian melewati fase menyedihkan tersebut serta membantu Perseners untuk sampai ke tahap penerimaan. Mentoring nantinya akan membantu Perseners mengelola emosi-emosi negatif di dalam diri dan membantu mencari solusi atas itu. Kalau kalian mau coba layanannya, kalian bisa klik banner di bawah ini, ya!
Namun, apabila kalian sudah mulai kehilangan kendali dalam mengatasi duka yang berkepanjangan dan sudah mengganggu mengganggu banyak aspek kehidupan kalian, kemungkinan kalian lebih cocok mengikuti konseling yang ditangai oleh psikolog. Supaya kalian lebih yakin layanan mana yang cocok untuk kalian, kalian bisa mengikuti tes konsultasi dulu. Gratis ya!
Sekali lagi berduka memang tidak mudah, namun alangkah lebih baik apabila kita berusaha untuk menerima kehilangan dengan bijaksana. Dan di dunia ini setiap pertemuan pasti berujung perpisahan. Seperti kalimat anonim yang aku sisipkan ini bahwa grief only exist where love lived first.
So, sekian dulu dari aku, semoga artikel ini bisa membantu kalian mencapai #HidupSeutuhnya, ya. Sampai jumpa lagi!
Referensi:
Wang R-R, Wang Y. Using the Kübler-Ross Model of Grief with Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD): An Analysis of Manchester by the Sea. Metathesis J English Lang Lit Teach. 2021;5(1):79.