5 Hal yang Dirasakan Anak Broken Home

Kesehatan Mental
Nouvend Setiawan
9 Apr 2021
hal-yang-dirasakan-anak-broken-home
Satu Persen - 5 Hal yang Dirasakan Anak Broken Home

Hello there, Perseners! Aku Nouvend, associate writer di Satu Persen.

Pernah dengar istilah broken home, gak? Mungkin di twitter atau di tiktok, atau di kolom komentar sosial media yang sedang bercanda.

Apa yang terbayang di pikiranmu Ketika mendengar istilah broken home? Gimana perasaanmu ketika mendengar istilah tersebut, atau ketika melihat seseorang yang dating dari keluarga yang tergolong broken home?

Apa kamu sedih? Atau kamu iba? Atau jangan-jangan, kamu relate karena kamu pun adalah seorang anak dalam keluarga yang termasuk broken home?

Tenang, kamu tidak sendiri, kok. Daripada bergumul dalam rasa iba, lebih baik kita mencari tahu lebih lanjut, apa sih sebenarnya broken home itu dan apa yang dirasakan oleh sang anak. Karena, jujur saja, menjadi anak dalam broken home itu tidak enak, sungguh. Apalagi ditambah dengan stereotip yang sering mengiringinya, ugh!

Broken Home Itu Apa?

Sebenarnya broken home sering dianggap sebatas “orang tua bercerai”. Walaupun orang tua bercerai merupakan penyebab dari broken home, tidak selamanya broken home terjadi di dalam keluarga yang orang tuanya bercerai. Sebuah keluarga gak harus pisah untuk menjadi broken home.

Ada kok keluarga dengan orang tua berpisah tapi tetap berfungsi dengan normal. Sebuah keluarga dapat dikatakan broken home ketika ada krisis dalam keluarga tersebut. Kesalahpahaman, ketidak-terimaan, dan masalah lainnya yang sayangnya tidak diselesaikan dengan baik sehingga merusak keluarga tersebut.

Masih menjadi perdebatan apakah cerai sama dengan broken home tapi kurasa kita bisa sepakat bahwa ketika sebuah keluarga tidak berfungsi dengan baik, keluarga tersebut bisa dikatakan rusak.

Lalu ketika sebuah keluarga menjadi broken home, bagaimana nasib sang anak? Apa yang mereka rasakan?

Baca juga: Broken Home: Definisi dan Cara Menghadapinya

Hal yang Dirasakan Anak Broken Home

Sang Anak Akan Terluka

Ketika sepasang orang tua memutuskan untuk berpisah, anak mereka akan secara langsung terkena dampak dari perpisahan tersebut. Dalam pikiran seorang anak, keluarga pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Namun ketika salah satu dari mereka atau bahkan dua-duanya pergi, sang anak akan kehilangan salah satu sosok yang seharusnya mengisi kehidupan mereka.

Ini juga akan menyebabkan luka batin yang bisa jadi menerus hingga waktu yang cukup lama. Aku sendiri kadang masih teringat dan terbayang akan luka batin tersebut, kayak, “Kenapa sih harus pisah dulu?” dan hal-hal lain yang membuatku insecure.

“Kenapa yang lain bisa harmonis sementara aku tidak?” dan semacamnya. Tak jarang pun hal ini akan membuat anak mengalami perkembangan perilaku yang tidak baik, misalnya menjadi anak nakal. Mereka juga dapat melampiaskannya pada hal yang lain dan ultimately leads to problems seperti anger issue, adiksi, dan lain-lain.

Tapi itu tidak berarti begitu bercerai otomatis seorang anak akan rusak, tidak. Dalam keluarga dengan perceraian pun sang anak bisa tetap berkembang dengan baik walau sudah pasti akan ada perbedaan dalam hidupnya. Misal dengan cara orang tua yang tersisa membimbing dan menjelaskan situasinya dengan baik, atau dengan guidance dari sanak saudara/saudara kandung.

My point is, menjadi anak dalam keluarga broken home tidak berarti kamu tidak memiliki masa depan. Anggap saja hidup kita di-setting dengan difficulty yang sedikit lebih tinggi dari orang-orang pada umumnya, hehe.

Performa Edukasional Menurun

Selain insecure dan luka batin yang dirasakan sang anak, hal-hal tersebut juga bisa berujung pada penurunan performa mereka di sekolah. Broken home akan berdampak pada sekolah sang anak melalui tekanan emosional, pergantian gaya hidup yang sebelumnya baik-baik saja menjadi tidak baik-baik saja, dan juga hal-hal lain seperti ketidakstabilan lingkungan rumah, sumber finansial yang tidak cukup, dan rutinitas yang tidak konsisten.

Lingkungan hidup dari anak dengan broken home akan berdampak pada kegiatan sekolah mereka. Bukan hanya itu, keberadaan orang tua pada dasarnya sangat penting dalam pengembangan mental dan intelek sang anak. Ketika salah satu sosok hilang atau tidak dapat memberikan contoh role model yang baik bagi anak, sang anak akan kehilangan beberapa bagian dari kehidupannya yang mungkin saja tidak terasa saat mereka kecil namun akan tercermin seiring bertumbuhnya anak tersebut.

Sebagai contoh, ketika seorang anak hidup tanpa sosok ayah sama sekali, dia akan kehilangan sosok best friend yang seharusnya bisa menemaninya melakukan hal yang ‘seru’ dan mengajarinya hal-hal yang pada umumnya dilakukan oleh seorang ayah. Single parent juga akan berdampak pada anak karena dengan sibuknya pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua tunggal, sang anak akan mendapatkan sedikit waktu bersama sehingga anak akan cenderung untuk belajar sendiri dan menjadi tidak terbuka.

Dampak Sosial

Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, tumbuh dalam broken home akan membentuk kepribadian yang berbeda dengan orang yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang harmonis. Well, tidak selalu sih, tapi sebagian besar orang demikian.

Anak yang tumbuh dalam broken home akan menjadi dewasa ‘sebelum waktunya’ karena mereka harus menghadapi trauma dan hal-hal yang tidak sewajarnya dihadapi oleh seorang anak. Hal ini bisa membuat mereka menumbuhkan sifat-sifat yang akan berdampak pada lingkungan sosial mereka nanti.

Misalnya, mereka bisa mencontoh perilaku abusive, atau menjadi tertutup dan tidak mencintai diri sendiri, atau tidak tahu bagaimana caranya bersosialisasi dengan teman sebayanya. The overall experience of growing in a broken home really affects children’s social life.

Menjadi Lebih Kuat

Whoops, jangan khawatir. Kalau kamu juga merupakan anak dari keluarga broken home, kamu dapat dipastikan lebih kuat secara emosional. Anak dalam broken home sudah terbiasa menghadapi trauma dan roller coaster of emotions selama hidupnya dan mereka akan cenderung dapat mengambil keputusan hidup yang lebih baik, didorong oleh motivasi terbesar mereka yaitu hidup mereka sendiri. Kalau kamu mau tau kemampuanmu dalam mengendalikan diri, kamu bisa nih mencoba tes self-motivation.

Walaupun seharusnya tidak ada anak yang pantas mendapatkan pengalaman seperti itu, kurasa kita harus tetap melihat sisi baiknya. Tumbuh di keluarga broken home tidak hanya membuatmu lebih kuat dan dewasa secara emosional, kamu juga menjadi lebih menghargai sebuah hubungan entah itu dengan teman, sanak saudara, atau bahkan hubungan pekerjaan.

Sederhananya, kamu udah tahu rasanya jadi kamu tidak akan mengulangi hal yang sama.

Compassion and Love

Sebagai anak dari keluarga broken home, kamu pasti tahu betapa bahagianya ketika kamu merasakan cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya. Kamu tahu bahwa hal tersebut adalah hal yang berharga, maka kamu tidak akan menyia-nyiakannya.

Banyak dari kita yang menganggap kasih sayang orang tua itu hal yang sudah natural. We take things for granted. Jadi ketika kamu merasakan pahitnya tumbuh dalam lingkungan keluarga yang rusak, kamu akan sangat menghargai kasih sayang dan cinta.

Never stop loving others. Aku sendiri pun demikian.

Untuk kamu yang sedang sedih karena kondisi keluarga, I am here to tell you that you are not alone! Jika kamu benar-benar sedang terpuruk karena kondisi keluarga, aku sarankan untuk mengikuti konseling yang diadakan Satu Persen.

Satu-Persen-Artikel--30-

Akhir kata, semoga tulisanku ini berguna, ya! Semoga harimu menyenangkan!

References

Saikia, R. (2017). Broken family: Its causes and effects on the development of children. International Journal of Applied Research , 445-448.

Widdicks, M. (2016, October 14). Why I Hate The Term 'Broken Home'. Retrieved from HUFFPOST: https://www.huffpost.com/entry/why-i-hate-the-term-broke_b_8283082

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.