Halo, Perseners! Gimana keadaan lo akhir-akhir ini?
Well, kalau jawabannya adalah lagi nggak baik-baik aja, lo berada dalam page yang tepat. Karena di sini gue bakal bahas satu hal yang akrab banget di kehidupan manusia: stres.
Hah, kok akrab?
Yup. Sebelum gue bahas stres lebih lanjut, gue mau bilang kalau lo nggak sendirian. Stres juga dialami oleh gue, teman-teman lo, orangtua lo, pacar lo, tetangga lo, bahkan nenek moyang lo. Stres adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari yang udah dialami oleh manusia dari zaman purba.
Dalam psikologi, kata ‘stres’ itu merujuk pada kata ‘tekanan’, sebuah hal besar yang membuat lo tertekan. Tekanan itu membuat tubuh lo mengirimkan sinyal ke otak.
“Woy, ada bahaya!”
Berkat sinyal itu, tubuh lo kemudian mengeluarkan dua reaksi: flight atau fight. Kabur atau hadapi.
Misalnya gini, lo sedang menghadapi ujian: sebuah pemicu timbulnya tekanan dalam hidup lo. Ujian ini membuat lo stres. Untuk menghadapi stres ini, lo belajar dengan sungguh-sungguh. Itu artinya, lo merespon stres ini dengan fight, atau menghadapi sumber stresnya.
Lain halnya kalau lo malah bersikap bodo amat terhadap ujiannya. Lo memilih untuk nongkrong atau main game. Itu artinya lo sedang kabur dari sumber stresnya. Lo memilih untuk merespon stres lo dengan cara flight.
Terus, apa hubungannya sama nenek moyang?
Stres ini udah dialami nenek moyang kita dari dulu. Bedanya, dulu sumber stres mereka bukan ujian. Sumber stres mereka itu kayak: dikejar harimau, tiba-tiba ada badai, kedinginan, dan hal-hal primitif lainnya.
Selayaknya kita, respon mereka ketika menghadapi stres juga sama: fight atau flight. Tapi... kalau mereka memilih buat merespon sumber stresnya dengan cara kabur dan bersikap bodo amat, ya nyawa mereka jadi taruhan.
Untungnya, dari dulu nenek moyang kita juga udah dibekali dengan keterampilan manajemen stres. Alih-alih bersikap bodo amat dan kabur dari masalah, nenek moyang kita memilih untuk mengembangkan problem solving yang bagus.
Takut dikejar harimau? Ya bangun rumah pohon, atau pelajari perilaku dan mood harimau. Takut kedinginan? Ya pakai baju, atau ciptakan api. Dan hal-hal esensial lainnya yang bikin manusia bisa survive sampai sekarang.
Poin gue adalah: stres itu wajar dan bahkan sebenarnya kita perlukan. Stres bisa bantu kita buat mengembangkan ide dan keterampilan baru buat menyelesaikan masalah layaknya nenek moyang kita nemuin api biar gak kedinginan.
Tapi stres gue udah berat banget. Gue udah buntu dan nggak bisa nemuin api kayak nenek moyang gue. Kenapa ya...
Eits, tenang dulu. Gue bakal bantu jelasin kenapa. Gue yakin, dari sekian banyak nenek moyang kita, ada juga kok di antara mereka yang merasa nggak kuat menghadapi sumber stresnya.
Pertanyaannya, kenapa bisa ada nenek moyang yang kuat dan nggak kuat menghadapi stres? Kenapa ada orang yang merasa biasa aja, dan ada juga yang merasa stres saat menghadapi ujian?
Jawabannya adalah: persepsi. Yup, stres itu subjektif, tergantung dari bagaimana kita menilai dan mempersepsikan sumber stres kita.
Jadi ketika kita menghadapi sumber stres, kita melakukan screening dulu terhadap sumber stres-nya. Barulah setelah itu kita menentukan, “ini jenis stres yang kuat gue hadapi” dan “ini jenis stres yang bakal bikin gue fucked up”. Istilah itu bisa disebut dengan cognitive appraisal.
Ada dua kali tahap screening yang biasanya kita lakukan kalau menemui kejadian, peristiwa, atau bahkan tugas:
1. Primary Appraisal
Ini adalah tahapan screening pertama di mana kita menilai: seberapa mengancam sumber stres yang kita hadapi buat diri kita?
Kita bakal ngasih 3 reaksi terhadap sumber stres tersebut:
- Ini sumber stres yang bagus, yang bisa bikin kita semangat!
- Wah, ini sumber stres yang gak perlu dipikirin sih.
- Waduh, sumber stres yang ini kayaknya berat..
Nah, kalau ternyata sumber stres kita itu dipersepsikan sebagai sumber stres yang berat oleh kita, otak kita bakalan lanjut screening tahap 2.
2. Secondary Appraisal
Ini adalah tahapan screening kedua. Kira-kira, inilah suasana penilaian stres di otak dan tubuh kita:
“Oke, sumber stresnya berat. Tapi apakah gue punya
- Sumber daya yang cukup
- Dukungan yang kuat
- Pengalaman yang bagus
- Keterampilan yang mumpuni
…buat menghadapi sumber stres itu?”
Kalau jawaban dari keempat penilaian tadi adalah tidak, itulah sebabnya kenapa lo bisa mengalami stres berat.
Gue rangkum lagi ya. Pertama, karena lo menilai sumber stres yang lo hadapi sebagai tekanan yang berat. Kedua, lo nggak punya resources yang bagus buat menghadapi sumber stres tersebut.
Waduh. Terus gue harus ngapain?
Ibarat pertandingan sepak bola, kita harus punya strategi dalam menghadapi stres agar kita menang. Strategi ini juga bisa kita tempuh agar stres yang kita hadapi berbalik jadi sahabat kita dan nggak bikin kita repot lagi.
Strategi khusus untuk menghadapi stres ini dinamakan coping stress. Ada dua jenis coping yang biasa dikenal sebagai strategi yang ampuh buat menangani stres:
1. Problem-Focused Coping
Coping ini adalah jenis strategi di mana lo menumpas stres langsung ke akar masalahnya. Misalnya, lo sedang menghadapi ujian dan lo merasa sangat cemas dan tertekan karena lo nggak menguasai materinya.
Kalau lo pakai strategi coping yang ini, lo mungkin akan:
- Tanya ke teman tentang materi yang belum lo pahami
- Nonton video YouTube tentang materi tersebut
- Menantang diri untuk latihan soal agar percaya diri meningkat
2. Emotion-Focused Coping
Coping ini adalah jenis strategi di mana lo menumpas stres lo dengan cara mengatur atau meredakan emosi lo, sehingga rasa tertekan yang lo alami bisa berkurang.
Dengan kasus yang sama, kalau lo pakai strategi coping yang ini, lo mungkin akan:
- Melakukan hobi untuk meredakan tekanan sejenak
- Menulis ketakutan-ketakutan yang lo alami di buku diary
- Melakukan relaksasi atau berdoa untuk menenangkan diri
Gue udah pernah coba, tapi nggak works. Apa yang harus gue lakukan?
Kalau diibaratkan permainan sepak bola, wajar sebenarnya kalau sebuah strategi itu nggak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Gue rasa, nggak ada tim sepak bola di dunia ini yang menang terus-terusan. Kalau hal tersebut terjadi, lo bisa lakukan evaluasi terhadap masalah yang lo hadapi dan strategi yang lo pakai.
Sebuah strategi bisa nggak works karena beberapa alasan:
- Lo mungkin keliru dalam menerapkan strateginya
- Medan yang lo hadapi berbeda, sehingga lo butuh strategi yang lebih fresh
- Tingkat kesulitannya bertambah, dan lo butuh waktu untuk menyesuaikan
- Lo sudah kehabisan akal tentang strategi apa yang harus lo pakai lagi, karena semua hal udah lo coba
Kalau sudah begini, mungkin lo bisa mempertimbangkan untuk meminta bantuan kepada orang lain. Lo bisa minta bantuan kepada teman, orangtua, pacar, atau bahkan mentor dan psikolog Satu Persen.
Kenapa? Karena, kadang pikiran kita udah terlalu kalut dan ruwet sehingga kita nggak bisa berpikir lagi dengan jernih dan lurus. Di saat itulah, orang lain mungkin punya pandangan yang lebih jernih terhadap masalah yang lo alami.
Bonus kalau lo memilih buat cerita ke mentor atau psikolog, karena mereka udah dibekali pengetahuan dan keterampilan buat mengurai benang-benang kusut yang ada di pikiran lo.
Rasanya mungkin memalukan, karena lo harus bercerita tentang vulnerability yang lo punya, atau bercerita tentang kegagalan-kegagalan yang lo hadapi. Rasanya kayak, jadi manusia kok lemah banget sih? Masalah kayak gini doang nggak bisa dihadapi?
Tips dari gue, perlakukan hal ini sebagai strategi baru dari lo untuk menghadapi stres yang lo alami. Semakin cepat lo tangani, semakin cepat lo akan terbebas dari tekanan.
Good Luck!