Sebelum membaca lebih lanjut, jawablah pertanyaan berikut: Menurutmu, apakah hubungan seks adalah bukti cinta?
Setiap orang sangat mungkin memiliki pendapat yang berbeda. Ada yang berkata iya, beranggapan bahwa hubungan seks adalah bentuk komunikasi pasangan untuk menungkapkan perasaannya dan mendorong pasangan untuk semakin lekat satu sama lain. Namun, ada juga yang berkata tidak, menganggap bahwa hubungan seksual adalah hal yang berbeda dan tidak dapat dijadikan pembuktian cinta semata. Mungkin, kamu juga punya pendapatmu pribadi untuk menyetujui atau tidak menyetujui hal tersebut. Lantas, mana yang benar?
Jawabannya, keduanya bisa benar— bergantung kepada nilai-nilai yang kita anut atau pandangan pribadi kita berkaitan dengan aktivitas seksual itu sendiri. Oleh karena itu, pilihan untuk melakukannya atau tidak adalah pilihan yang sangat personal. Menentukan pilihan berkaitan dengan prinsip pribadimu bukanlah hal yang salah, justru merupakan suatu hal yang seharusnya selalu dilakukan.
Namun, yang salah adalah ketika kita memaksakan pilihan kita kepada orang lain. Mengingat hubungan intim bukanlah kegiatan yang dapat dilakukan seorang diri, melainkan perlu melibatkan orang lain, aspek sexual consent adalah hal yang penting sebelum memutuskan untuk melakukan hubungan tersebut.
Apa itu sexual consent?
Sexual consent adalah ungkapan menyetujui atau tidak menyetujui untuk berhubungan seksual. Ungkapan ini sangat penting, mengingat setiap orang memiliki pandangan yang berbeda mengenai hubungan seksual— mulai dari apakah harus dilakukan atau tidak, kapan dapat dilakukan, aktivitas apa yang dapat dilakukan, dan sebagainya. Karena setiap orang memiliki hak dan otoritas atas tubuhnya, setiap orang dapat menentukan aktivitas yang dilakukan berkaitan dengan tubuhnya, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan hubungan intim.
Meskipun demikian, terkadang term sexual consent diartikan berbeda-beda oleh tiap orang sehingga sering terjadi miskomunikasi dalam pasangan. Misalnya, terkait sejauh mana dan apa aktivitas yang akan dilakukan. Oleh karena itu, penting untuk benar-benar memastikan setiap tindakan didasari persetujuan oleh kedua belah pihak.
Perbedaan pengertian sexual consent
Contohnya adalah penggunaan kata “tidak” saat pasangan menawarkan untuk berhubungan seksual. Seringkali, kata tidak ini tidak dimaknai sebagai penolakan, tetapi sebagai bentuk “kebimbangan” atau “jual mahal”. Terkadang, bahkan diam dianggap sebagai bentuk persetujuan. Jika hubungan seksual dipaksakan tanpa kesepahaman, sexual consent tidak tercapai dan tindakan pelecehan atau bahkan pemerkosaanlah yang terjadi.
Kemudian, seiring berkembangnya sosial media, istilah baru berkaitan dengan aktivitas seksual pun tercipta sehari-hari dan dipopulerkan melalui media sosial. Suatu istilah dapat memiliki beragam makna yang berbeda. Sebagai contoh, dalam sebuah kasus pada tahun 2015, seseorang menawarkan kepada temannya jika ia ingin melakukan “hook up”. Temannya, yang mendefinisikan “hooking up” sebagai tindakan berciuman, akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan orang itu di sebuah kawasan terpencil.
Rupanya, “hook up” yang dimaksudkan juga berkaitan dengan aktivitas seksual lainnya. Meskipun temannya telah menolak berulang kali ketika dipaksa melakukan aktivitas seksual lainnya, orang itu beranggapan bahwa persetujuan yang diberikan sebelumnya masih berlaku dan tetap melakukan aktivitas seksual lainnya— membuatnya menjadi pelaku pemerkosaan.
Karena berbagai istilah dapat dimaknai berbeda oleh banyak orang bergantung dengan lingkungan tempat ia berada, nilai-nilai yang ia anut, dan orang-orang di sekitarnya, penggunaan istilah yang ambigu sangat mungkin memicu banyak persoalan, terutama untuk mengekspresikan sexual consent. Penting untuk memastikan adanya kesepahaman di dalam pasangan mengenai aktivitas yang ingin dilakukan dan yang tidak.
Apa yang terjadi jika tidak ada mutually sexual consent?
Jika kamu ingin melakukan hubungan seksual untuk mengekspresikan cintamu kepada pasangan, tanpa sexual consent, pasanganmu tidak akan merasakan kebahagiaan yang ingin kau berikan. Bahkan, jika ia tidak benar-benar menginginkannya, ia justru akan merasa sangat tidak nyaman dengan hubungan itu— atau sangat mungkin merasakan trauma yang mendalam.
Jed Rubenfeld, Profesor Hukum dari Yale Law School, bahkan menyatakan dalam bukunya bahwa aktivitas seksual tanpa consent adalah bentuk pemerkosaan. Pemerkosaan adalah tindakan yang sangat melukai korban secara fisik dan mental, juga melanggar hukum.
Lalu, sexual consent yang tepat itu seperti apa?
Sebelum memutuskan untuk melakukan hubungan seksual, penting untuk memahami konsep sexual consent untuk memastikan kedua belah pihak sepaham dan setuju terhadap aktivitas yang akan dilakukan. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang sexual consent:
1. Aktivitas seksual harus disampaikan secara spesifik
Ketika ingin menyampaikan ajakan atau keinginan untuk berhubungan seksual, pastikan kamu menyampaikan aktivitasnya secara spesifik: aktivitas apa yang ingin kalian lakukan, untuk waktu berapa lama, dan lain-lain. Penting juga untuk menyampaiakan dan mengingatkan satu sama lain terkait dengan penggunaan alat kontrasepsi.
Jika ingin melakukan aktivitas seksual secara pertahap, penting pula untuk memastikan pada tiap-tiap tahap, pasangan menyetujuinya. Intinya, sexual consent berlaku ketika kedua belah pihak sudah benar-benar aware dan setuju dengan kegiatan yang akan mereka lakukan bersama.
2. Consent yang diberikan dapat dibatalkan kapan pun
Meskipun kalian telah paham dan setuju dengan aktivitas seksual yang akan kalian lakukan, jika di dalam keberjalanannya ada salah satu pihak yang merasa tidak nyaman dan ingin aktivitas seksual dihentikan, aktivitas tersebut harus dihentikan. Hal ini kembali lagi karena setiap orang memiliki hak penuh atas aktivitas yang dilakukan dengan tubuhnya sendiri. Jadi, pastikan untuk memastikan kesediaan kedua belah pihak bahkan ketika aktivitas sudah atau sedang dilakukan.
3. Consent diberikan dalam kondisi sadar dan tidak terintimidasi
Persetujuan terhadap hubungan seks dapat diberikan bukan atas kehendak sendiri, melainkan karena ada tekanan tertentu, baik secara fisik maupun mental. Seseorang yang terlalu terkejut dengan approach seksual yang diberikan orang lain akan sulit untuk menghindar atau mengekspresikan ketidaksetujuannya.
Apabila pasangan kehilangan sebagian atau seluruh kesadarannya, misalnya karena pengaruh alkohol, ia juga tidak mampu memberikan persetujuan secara sadar. Intinya, kita harus memastikan bahwa kita dan pasangan kita dalam kondisi sadar dan tidak terintimidasi ketika memberikan consent.
4. Consent diberikan oleh orang yang mampu memberikan consent
Aspek ini berarti memastikan bahwa seseorang dinilai dapat memberikan consent. Anak-anak belum mampu memberikan consent terkait dengan hubungan seksual, bukan hanya karena tergolong di bawah umur secara legal, melainkan juga belum memahami sepenuhnya tentang aktivitas yang akan diakukan dan konsekuensi yang didapat dari tindakan itu.
Hal ini juga berlaku kepada orang-orang yang mengalami disabilitas mental. Consent harus diberikan oleh sosok individu dewasa yang secara mental dapat mengerti dasar dan konsekuensi dari hubungan seksual yang akan dilakukannya.
Riset menunjukkan bahwa hubungan intim dapat membawa kebahagiaan dan kelekatan bagi pasangan. Namun, hubungan intim yang tidak dilandasi sexual consent di antara kedua belah pihak, dapat menjadi luka dan trauma bagi sepasang kekasih atau bahkan suami isteri. Komunikasi yang baik adalah kunci agar kedua belah pihak dapat menikmati segala aktivitas yang dilakukan bersama.
Untuk mengetahui kualitas hubunganmu dengan pasangan, kamu bisa mencoba Tes Relationship Quality ini secara gratis. Nah, kalau kamu memiliki masalah terkait sexual consent ini, kamu bisa berkonsultasi dengan ahlinya, misalnya dengan mengikuti mentoring online di Satu Persen. Mentor akan memberikan insight supaya kamu bisa memecahkan masalah yang kamu hadapi.
Kemu dapat membaca artikel lainnya dari Satu Persen, seperti artikel mengenai hubungan seks pertama kali. Kamu juga dapat menonton video di youtube Satu Persen mengenai sexual consent di bawah ini. Jangan lupa buat terus pantengin informasi dari kita dengan follow instagram Satu Persen di @satupersenofficial. Semoga artikel ini dapat membantumu untuk mengerti lebih baik, setidaknya Satu Persen setiap harinya.
Referensi
Dixie, Kyana D. (2017) "Defining Consent as a Factor in Sexual Assault Prevention," McNair Scholars Research Journal: Vol. 10 : Iss. 1 , Article 5.
Brogaard, B. (2018, March 31). Why Agreement to Sex Is Not Consent. Retrieved August 09, 2020, from https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-mysteries-love/201803/why-agreement-sex-is-not-consent