Self-Sabotage: Perilaku Toxic ke Diri Sendiri yang Sering Gak Disadari

Pemahaman Diri
Afifah Iftah Nurul Isnaini
9 Des 2021
self-sabotage perilaku toxic ke diri sendiri
Satu Persen - Self-Sabotage: Perilaku Toxic ke Diri Sendiri

Halo, Perseners! How’s life? Semoga kalian semua dalam keadaan bahagia. Kenalin aku Fifi, Part-time Blog Writer Satu Persen.

Pepatah yang mengatakan kalau “Musuh terbesar bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri” ternyata memang benar adanya. Karena seringkali tidak disadari bahwa kita sedang melawan diri sendiri dan mempersulit diri sendiri mencapai tujuan. Semua orang pasti ingin bahagia dan sukses, tapi tidak sedikit dari kita justru merusak tujuan kita dengan perilaku dan pikiran kita sendiri.

Contohnya dalam pendidikan. Ketika kamu berkeinginan melanjutkan S2 di sebuah universitas, tapi selama proses menyiapkan pendaftaran kamu selalu pesimis dan mengatakan tidak akan bisa diterima. Hal yang biasanya terjadi adalah usahamu jadi tidak maksimal dan kamu tidak diterima.

Nah, perilaku yang kamu lakukan ini yang dinamakan self-sabotage atau sabotase diri. Self-Sabotage adalah perilaku atau pola pikir yang tidak disadari merusak atau menghalangi kamu untuk melakukan apa yang kamu inginkan untuk mencapai tujuanmu.

self-sabotage - perilaku toxic ke diri sendiri
Cr. Ahseeit.com

Sabotase diri ini bisa mengikis kepercayaan diri karena setiap kali kamu mengalami kegagalan pada satu tujuan, seakan-akan itu “membuktikan” bahwa kamu memang tidak mampu atau tidak layak. Bentuk sabotase diri yang paling umum dilakukan adalah prokrastinasi (perilaku menunda pekerjaan), perfeksionis, negative self-talk, melukai diri sendiri, penggunaan alkohol atau obat terlarang.

Mengapa Self-Sabotage Bisa Terjadi?

1. Trauma Masa Lalu

Ketika kamu tumbuh di lingkungan yang penuh tekanan, ketakutan, dan kekhawatiran membuat kamu terbiasa dengan kesedihan. Bahagia adalah satu kata yang tidak familiar dan bertentangan dengan intuisi. Ini membuat kamu tumbuh menjadi orang yang menerima nasib apa adanya daripada memperjuangkan hal-hal baik namun penuh tantangan dan ketidakpastian.

2. Perasaan Rendah Diri

Seorang yang merasa rendah diri, merasa bahwa dirinya tidak bisa mencapai kesuksesan. Jika kamu berpikir bahwa kamu tidak bisa sukses, maka pada akhirnya tidak akan sukses. Karena apa yang kamu pikirkan akan memengaruhi tindakanmu dan berimbas pada hasil.

Perasaan rendah diri ini berhubungan dengan pola asuh orang tua. Menurut Maria Montessori, otak anak pada usia 0 – 6 tahun menyerap banyak hal. “Mereka tidak hanya mengingat apa yang mereka lihat dan mereka dengar. Semua informasi yang mereka ingat kemudian membentuk kepribadian mereka.”

Contohnya, ketika orang tua mengatakan, "Anak saya ini memang pemalu," "Anak saya gak terlalu pintar," "Anak saya ini pemalas." Kata-kata ini yang kemudian membentuk pribadi anak. Anak melabeli dirinya menjadi orang yang pemalu, tidak pintar, dan pemalas.

Supaya kamu tidak merasa rendah diri, kamu juga perlu mengetahui kelebihanmu. Coba tes ini supaya kamu semakin mengenal kelebihan dan kekuatan dirimu ya.

3. Takut pada Kegagalan

perilaku toxic ke diri sendiri
Cr. Dictio.id

Setiap orang tidak mengharapkan kegagalan. Takut pada kegagalan ini yang membuat kamu membatasi diri dan hanya menunggu di zona nyaman. Untuk merasa aman kamu perlu memiliki kendali atas apa yang akan terjadi ke depannya. Setiap kali akan melakukan sesuatu, muncul perasaan ragu yang akhirnya justru membuat kinerjamu tidak maksimal.

Menurut Jeffrey Bernstein, seorang psikolog, perilaku sabotase diri ini biasanya dilakukan tanpa sadar. Kita terperangkap dalam perilaku ini karena kurangnya pemecahan masalah yang kita miliki. Kita jadi selalu melakukan self-talk yang negatif. Dibutuhkan kesadaran untuk bisa keluar dari kebiasaan sabotase diri dan mewujudkan hidup yang bahagia.

Bagaimana Keluar Dari Perilaku Sabotase Diri?

1. Menyadari Perilaku Sabotase Diri

Hal yang kamu bisa lakukan terlebih dahulu adalah menyadari bahwa perilaku sabotase diri ini adalah perilaku yang merugikan. Kamu bisa keluar dari kebiasaan ini dengan mencari dari kebiasaanmu  yang tampak salah, yang tidak sejalan dengan tujuan jangka panjangmu.

Pikirkan kapan biasanya kamu melakukan sabotase diri dan cari tahu apa yang mungkin menyebabkan kamu melakukan hal tersebut. Faktor yang mungkin menjadi pemicu seperti pola asuh atau trauma dimasa lalu. Setelah memahami akar masalah dari munculnya sabotase dirimu, cobalah untuk memunculkan reaksi produktif untuk menggantikan perilaku sabotase diri.

2. Belajar Berdamai dengan Kegagalan

Takut akan kegagalan, penolakan, dan rasa sakit adalah perasaan yang normal. Kamu mungkin akan menghindari hal-hal yang tidak kamu inginkan. Hal ini jadi masalah jika langkah yang kamu ambil membuatmu terjebak dalam perilaku sabotase diri. Kamu akan terhindar dari hal-hal yang tidak kamu inginkan sekaligus juga kehilangan kesempatan untuk meraih tujuanmu.

Untuk mengatasi ketakutan ini, berani untuk menerima kegagalan dan penolakan adalah hal yang tepat. Tapi ini tentu tidak bisa terjadi dalam sekejap. Mulailah dari sesuatu yang kecil untuk memprediksi kegagalan yang mungkin terjadi. Apakah kegagalan tersebut membawa dampak yang tidak bisa kamu atasi? Memprediksi kemungkinan-kemungkinan terburuk dari setiap tujuanmu akan membuatmu lebih siap menghadapi kegagalan.

3. Cari Tahu Apa yang Benar-benar Kamu Inginkan

Sabotase diri bisa terjadi ketika kamu tidak merasa nyaman dengan apa yang kamu lakukan. Misalnya, ketika kamu diminta atasanmu untuk mengerjakan tugas di luar job desc. Kamu mungkin akan kesal dan menunda mengerjakan tugas tersebut. Ketika kamu mengalami hal semacam itu, kamu perlu menanyakan kepada dirimu sendiri: “Apa yang sebenarnya kamu inginkan?”

Mengenal diri lebih baik dengan mengeksplorasi hal-hal yang benar-benar kamu inginkan. Dengan begitu kamu bisa menjalani tujuanmu dengan bahagia dan mencegah perilaku sabotase diri. Namun bukan sekadar mengetahui apa yang kamu inginkan, kamu juga perlu berkomitmen dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya.

Tidak mudah untuk bisa menyadari dan keluar dari perilaku sabotase diri. Terutama mengikuti pola-pola perilaku yang sudah kamu lakukan sejak lama. Jika upaya yang kamu lakukan tidak memberi dampak apapun, atau hanya berdampak sementara waktu, melakukan mentoring mungkin bisa membantumu.

Satu Persen menyediakan layanan mentoring untuk membantu masalahmu. Mentor Satu Persen akan membantu kamu merefleksikan diri dan mencari solusi atas permasalahan kamu ini. Kamu bisa langsung klik banner di bawah ini!

Mentoring-5

Sekian dulu konten dariku tentang self-sabotage, sampai ketemu di kontenku selanjutnya, ya! Aku Fifi pamit undur diri. Selamat menjalani #HidupSeutuhnya!

Referensi:

Brito, J. (2021). How Self-Sabotage Holds You Back. Healthline. https://www.healthline.com/health/self-sabotage#seeking-help

Everly, G. (2020). Self-Sabotage: How to Recognize and Conquer It. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/when-disaster-strikes-inside-disaster-psychology/202001/self-sabotage-how-recognize-and-conquer

Bernstein, J. (2020). Two Proven Ways to Overcome Self-Sabotage. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/liking-the-child-you-love/202010/two-proven-ways-overcome-self-sabotage

Why Your Child’s Brain is Like a Sponge. Age of Montessori. https://ageofmontessori.org/why-your-childs-brain-is-like-a-sponge/

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.