Kenapa Banyak yang Menikah Muda Lalu Bercerai?

BestPremiumArticles
Adinda Giani Suraya
2 Des 2024

Di media sosial, kita sering banget lihat pasangan-pasangan muda yang merayakan cinta mereka dengan pesta pernikahan yang mewah, foto-foto romantis, dan caption penuh harapan.

Tapi, di balik kebahagiaan yang terlihat di layar, ada sisi lain yang sayangnya nggak bisa diabaikan gitu aja: fenomena perceraian yang makin sering terjadi.

Tercatat dalam enam tahun terakhir (2017-2022), angka perceraian terus mengalami kenaikan signifikan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian mencapai 516.344 kasus pada 2022, meningkat paling tinggi sebesar 15,31% dibanding 2021 sebanyak 447.743 kasus.

Kalau kita menyoroti kasus ini, nyatanya nggak cuma terjadi di pasangan biasa. Banyak juga pasangan publik figur di Indonesia maupun luar negeri yang menikah muda lalu memilih bercerai di usia pernikahan awal. Gak sampe 3 tahun, dan ini ya beneran kejadian.

Banyak pasangan yang menikah di usia belasan atau awal 20-an memutuskan untuk bercerai dalam waktu singkat.

Dan dari sini muncul pertanyaan: kenapa banyak yang berpisah setelah baru beberapa tahun menikah?

Kontras di Masyarakat

Kalau dilihat lebih jauh, ada fenomena lain yang justru berbanding terbalik. Banyak perempuan yang berpendidikan tinggi, punya karier yang mapan —alias si independent woman— malah nggak mau terburu-buru buat menikah.

Bagi mereka, menikah mungkin bukan satu-satunya cara buat mencapai kebahagiaan atau membuktikan sebuah pencapaian. Mereka lebih memilih fokus ke pengembangan diri, mengejar mimpi, dan membangun stabilitas keuangan dulu sebelum berpikir melangkah lebih jauh  untuk berkomitmen dalam pernikahan.

Hal ini kontras banget rasanya sama kenyataan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Angka perempuan yang mengalami perkawinan pertama di bawah usia 19 tahun sebesar 33,28%  dan meningkat menjadi 33,74% di tahun 2023 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

Banyak perempuan khususnya dari kalangan yang kekurangan pendidikan atau dari golongan ekonomi yang kurang mampu, memilih menikah muda sebagai jalan pintas mereka untuk masa depan yang lebih pasti.

Latar belakangnya beragam, mulai dari tekanan sosial yang kuat, harapan untuk membantu perekonomian keluarga, hingga anggapan bahwa menikah adalah “solusi” terbaik untuk kehidupan yang lebih baik dan stabil.

Di banyak kalangan masyarakat, menikah muda bahkan dianggap sebagai langkah yang “wajar” atau “semestinya,” dan tak jarang didorong oleh keluarga besar.

Akibatnya, banyak pasangan muda yang akhirnya memilih untuk menikah di usia dini, bahkan langsung memiliki banyak anak, sebagai bentuk pemenuhan harapan sosial dan tanggung jawab keluarga. Ini menciptakan semacam pola yang terus berulang dari generasi ke generasi dalam masyarakat.

Sayangnya, pola pikir kayak gini sering banget bikin masalah di kemudian hari.

Pasangan yang nikah tanpa kesiapan emosional dan finansial yang matang, atau tanpa skill komunikasi yang oke, bakal lebih rentan nyerah buat ngadepin tantangan-tantangan di pernikahan yang susah diatasi.

Tekanan dalam pernikahan bisa jadi makin berat karena mereka belum terbiasa ngadepin ribetnya kehidupan rumah tangga.

Banyak pasangan muda yang akhirnya terjebak dalam hubungan penuh konflik, frustrasi, dan rasa kecewa karena realita pernikahan ternyata jauh dari bayangan mereka. Akhirnya, nikah muda tanpa persiapan malah jadi salah satu alasan tingginya angka perceraian.

Realita rumah tangga yang ternyata jauh lebih kompleks dan menantang bikin mereka susah buat bertahan.

Romantisme vs Realita

Buat banyak pasangan yang memilih menikah muda, keputusan itu sering diambil dengan perasaan cinta mereka yang lagi menggebu-gebu. Mereka ngebayangin hidup yang indah bareng orang yang dicintai dan berpikir kalau semua masalah bakal mudah diatasi asalkan ada cinta.

Manusiawi sebenarnya kalau kita punya harapan buat nikah muda bareng orang yang kita cintai. Siapa sih yang nggak mau punya relationship goals, hidup bahagia selamanya, dan merasa selalu didukung pasangan? Impian itu indah dan bikin semangat.

Tapi, bukan berarti impian itu harus langsung diwujudkan dengan nikah muda tanpa  mikir matang-matang dulu. Pernikahan bukan cuma soal kebahagiaan yang terlihat di luar, tapi juga komitmen jangka panjang yang bakal butuh kesiapan mental, finansial, dan kedewasaan buat menghadapi situasi-situasi yang mungkin nggak pernah kebayang sebelumnya.

Jadi, apa benar cuma modal cinta cukup buat membangun rumah tangga?

@kejarmimpikeluarga.id

Check out this video!

Cinta adalah komponen yang penting, tapi pernikahan butuh lebih dari itu.

Menikah itu nggak sesederhana itu. Ada banyak hal yang bisa jadi sumber stress— peran, tanggung jawab, kompromi, hingga masalah ekonomi. Semua ini bakal terasa berat saat pernikahan dijalani tanpa persiapan yang matang. Ketika fase romantis sudah lewat, dan kehidupan mulai memperlihatkan sisi sulitnya, banyak pasangan yang kaget, ngerasa  nggak sanggup buat melanjutkan, dan berakhir pada perceraian.

Lack of Equality: Ketika Semua Beban Numpuk di Satu Pihak

Salah satu alasan utama kenapa pasangan muda banyak yang bercerai itu karena kurangnya kesetaraan dalam pernikahan. Lack of Equality ini maksudnya ada ketidakseimbangan dalam pembagian peran, tanggung jawab, dan hak antara pasangan

Salah satu bentuk Lack of Equality yang sering kejadian dalam kehidupan pernikahan adalah ketidakseimbangan dalam pembagian tugas rumah tangga.

Misalnya, salah satu pasangan merasa harus menanggung beban lebih besar dalam mengurus rumah, sementara pasangannya kurang berkontribusi.

Atau dalam kasus lain, sering kali hanya satu pihak yang memiliki kuasa lebih besar dalam membuat keputusan, sementara pasangan lainnya merasa suaranya tidak didengar atau tidak dianggap penting.

Belum lagi budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat, mudah sekali mempengaruhi pasangan muda yang belum bisa melihat perspektif secara luas atau memahami pentingnya kesetaraan dalam pernikahan. Mereka mungkin secara otomatis menerima peran-peran tradisional tanpa mempertimbangkan apakah pembagian tersebut adil atau berkelanjutan bagi keduanya.

Dalam pernikahan yang sehat, kesetaraan adalah fondasi penting yang membuat pasangan merasa dihargai, adil, dan diperlakukan setara. Namun, ketika kesetaraan ini tidak ada, hubungan menjadi timpang dan sering kali menciptakan rasa frustrasi atau ketidakpuasan yang dalam.

Pasangan yang menikah di usia muda cenderung belum punya pemahaman yang matang tentang pentingnya kesetaraan, sehingga pernikahan mereka rentan mengalami ketidakseimbangan.

Lack of Commitment

Kenyataannya, menikah muda nggak selalu sesuai sama harapan. Seiring waktu, mereka mungkin baru sadar kalau menjaga komitmen itu nggak sesimpel yang dibayangkan sebelumnya.

Komitmen dalam pernikahan itu lebih dari sekadar mau bareng-bareng; ini adalah janji buat terus saling dukung, meskipun keadaan nggak selalu ideal. Contoh sederhananya,

apakah lo bisa menjadi sosok pendukung pasangan saat di masa sulit?

apakah lo mau meluangkan waktu di saat sibuk agar tetap bisa jalanin hal bareng bersama? sekadar makan bareng atau obrolan santai sebelum tidur?

apakah lo bisa self-controlling ketika terjadi perdebatan dan menghindari bentakan atau perilaku abussive lainnya?

Hal-hal kayak gitu mungkin keliatannya sih sepele, tapi perhatian dan dukungan dalam hal-hal kecil juga termasuk bentuk komitmen yang bisa dijalanin oleh pasangan satu sama lain setiap harinya.

“Komitmen bukan sekadar momen penting dan besar, tapi tentang bagaimana bisa hadir dan berbagi dalam hal-hal kecil yang bikin hubungan jadi lebih berarti setiap hari.”

Komitmen jangka panjang itu ibarat fondasi utama buat rumah tangga. Ini yang bikin hubungan jadi kuat, tempat kita sama pasangan bisa tumbuh bareng—nggak cuma di momen-momen senang, tapi juga pas lagi ada cobaan. Komitmen ini yang jadi pegangan buat setia dan saling percaya, bikin lo sama pasangan lebih siap dan kuat ngadepin hal-hal dalam hidup yang kadang nggak bisa diprediksi.

Jadi gimana hubungan bakal awet kalau dasar pemahaman tentang komitmen aja nggak punya?

Belum Siap dengan Tanggung Jawab Finansial: Menikah Itu Butuh Persiapan Lebih dari Sekadar Cinta

Pernikahan itu melibatkan banyak aspek di luar masalah cinta dan romantisme—salah satunya soal finansial. Tekanan ekonomi sering jadi batu sandungan utama yang bikin hubungan jadi tegang. Hal ini bisa memicu stres bagi pasangan muda.

Data survey Delloitte menunjukkan bahwa, sebanyak 47% Gen Z dan  43% milenial menyatakan bahwa faktor utama penyebab stres saat ini merupakan kecemasan akan masa depan keuangan.

Mungkin sebagian pasangan berpikir, bukankah permasalahan finansial bisa diselesaikan bersama setelah menikah?

Kenyataannya memang banyak pasangan yang berpikir bahwa masalah ekonomi rumah tangga dapat diselesaikan dengan cara “berjuang bersama”. Bagi mereka, romantisme “memulai dari nol” terasa sebagai hal yang indah dan bahkan memotivasi.

Sebenarnya gaada salahnya buat punya semangat optimis membangun kehidupan bersama kayak gitu. Tapi, kalau tanpa persiapan finansial yang memadai, bahkan gaada persiapan sama sekali, kenyataan hidup setelah menikah bakal jadi jauh lebih berat.

Kebutuhan sehari-hari seperti biaya makan, tagihan rumah tangga, cicilan, dan biaya sekolah anak bisa jadi sumber utama stres. Hal itu juga jadi penyebab munculnya ketegangan emosional yang bikin  konflik dalam rumah tangga sulit buat dihindari.

Sayangnya, banyak pasangan muda yang kurang mikirin soal kesiapan finansial.

Mirisnya lagi, ada yang udah nikah muda tapi belum mandiri secara finansial—masih "disubsidi" sama orang tua buat nutupin biaya hidup sehari-hari.

Hal ini tentunya nggak baik dan malah membawa dampak buruk dalam hubungan pernikahan.

Salah satunya soal kemandirian finansial. Ketergantungan sama dukungan finansial dari orang tua bisa bikin pasangan susah buat mandiri secara ekonomi.

Adanya ‘subsidi’ rutin yang masuk tiap bulan, bikin mereka menjadi kurang termotivasi untuk meningkatkan pendapatan atau mengelola keuangan secara efektif. Ini berdampak buruk sama perencanaan keuangan jangka panjang dalam rumah tangga dan kesulitan menghadapi situasi darurat yang datang dikemudian hari tanpa bantuan eksternal.

Terkadang, bantuan finansial dari orang tua sering kali datang disertai dengan harapan atau ekspektasi tertentu. Orang tua mungkin jadi merasa berhak buat terlibat dalam pengambilan keputusan rumah tangga, yang menimbulkan konflik antara pasangan dan keluarga besar.

Selain itu, karena merasa bergantung pada orang tua, anak juga merasa nggak enak mengambil keputusan sendiri sehingga menuruti semua kemauan orangtua. Ketika kemauan orang tua tidak sejalan dengan kemauan pribadi dan pasangan, lo akan sulit menolak. Ujung-ujungnya, muncullah pertengkaran dengan pasangan.

Perubahan Diri dan Prioritas: Buru-buru Menikah Tanpa Selesai "Mengenal Diri"

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat pernikahan pada usia 16-18 tahun (19,24%), 19-21 tahun (33,76%), dan usia 25-30 tahun (17,67%). Rata-rata pasangan yang memilih menikah muda berada pada usia labil.

Usia 16-21 itu sering dibilang masa labil, karena di rentang umur ini, seseorang masih ada di tahap perkembangan yang penuh sama perubahan fisik, emosi, dan psikologis. Di fase ini, kita masih sibuk nyari jati diri, nyoba banyak hal baru, dan pelan-pelan mulai paham apa yang sebenarnya kita mau dalam hidup.

Secara emosional, para pasangan muda mungkin belum sepenuhnya matang dan stabil. Mereka masih belajar gimana cara ngatur emosi, menghadapi konflik, dan memahami konsekuensi dari pilihan hidup mereka. Hal ini bikin orang berada di rentang usia ini lebih gampang bikin keputusan yang didasari oleh perasaan atau hanya impuls sesaat, daripada pertimbangan yang bener-bener matang.

Di masa muda, banyak hal bisa berubah dengan cepat, termasuk diri sendiri dan apa yang kita anggap penting.  Banyak hal-hal yang baru ditemukan tentang diri sendiri maupun prioritas hidup. Apa yang dirasa penting di usia 18 atau 19 bisa saja berbeda drastis ketika mereka menginjak usia 25.  Sayangnya pergeseran ini ga selalu sejalan dengan pasangan.

Pemicu awal permasalahan rumah tangga bisa terjadi sejak pasangan muda memilih menikah ketika mereka masih labil dan belum sepenuhnya memahami apa yang benar-benar mereka inginkan dalam hidup. Pemikiran dan harapan itu bisa aja  berubah. Apa yang dulu dianggap sebagai tujuan bersama, bisa aja jadi terlihat beda, kurang menarik, atau bahkan jadi punya nilai yang sangat bertolak belakang dengan sebelumnya.

Emosi yang masih labil ini bikin pasangan muda sering kesulitan saat dihadapkan dengan tantangan pernikahan yang butuh komitmen dan kesabaran jangka panjang. Konflik kecil aja bisa terasa berat banget, karena kemampuan buat ngatur stres atau komunikasi yang efektif belum sepenuhnya berkembang.

Contoh sederhananya kayak, perubahan minat dan ambisi

Misalnya, salah satu pasangan mutusin buat lanjut pendidikan atau ngejar karier baru yang butuh banyak waktu, sementara yang satunya lebih pengen fokus bangun keluarga dan habisin waktu bareng. Minat dan fokus mereka jadi berubah, bahkan bisa bertolak belakang. Nah, pas ambisi udah nggak sejalan kayak gini, konflik dan perasaan terabaikan dari salah satu pasangan bisa aja muncul.

Perubahan minat dan ambisi itu sebenarnya hal yang wajar. Tapi, kalau terjadi terlalu cepat bahkan tanpa komunikasi yang baik, perubahan ini bisa bikin lo dan pasangan mulai merasa “nggak nyambung”.  Dan dalam kasus yang lebih parah, hal itu bisa bikin kehidupan berdua dirumah tangga merasa seperti orang asing satu sama lain.

Kalau ngobrol biasa aja udah nggak bisa nyambung, Gimana mau jalanin rumah tangga di hari-hari berikutnya?

Padahal, kehidupan pasca menikah itu isinya 90% ngobrol—literally ngobrol, ngobrolin hal-hal serius kayak masalah anak, keuangan, keluh kesah setiap hari, sampai hal-hal random kayak candaan dan obrolan santai.

Bahkan filsuf Friedrich Nietzsche aja nggak setuju dengan gagasan ‘menikah karena cinta’. Alasannya karena cinta itu berbahaya. Cinta romantik itu durasinya bisa habis. Jadi, ketika kita hanya terlibat cinta romantik, hanya cinta pada fisik semata, maka akan ada saatnya semua itu akan selesai. Nietzsche menyarankan buat cari  orang yang asik diajak bicara.

Menurutnya, pernikahan yang bagus itu pada dasarnya adalah persahabatan. Pasangan suami dan istri yang bisa bergaya bisa seperti sepasang sahabat, jadi setiap obrolan selama pernikahan terasa lebih nyaman.

Kalau nggak ada komunikasi yang kuat dan kompromi buat menyesuaikan harapan masing-masing, perubahan prioritas ini bisa bikin pernikahan jadi makin berat dan bikin jarak emosional antara pasangan makin lebar.

Perasaan ditinggalkan, kehilangan rasa kebersamaan, bahkan rasa asing satu sama lain, terkadang jadi beban tersendiri bagi salah satu pasangan, yang kalau dibiarin makin lama bisa jadi bom waktu—menjadi kemungkinan terburuk dalam suatu hubungan yaitu perceraian.

Gaada Support System yang Bisa Diandalkan

Sepenting apa sih Support System?

Data Ipsos dalam rangka World Mental Health Day 2023, menemukan bahwa Gen Z lebih sering terkena stres dibandingkan generasi sebelumnya seperti milenial, Gen X, atau baby boomers. 43% Gen Z di dunia merasa stres hingga berdampak ke kehidupan sehari-hari. Bahkan  36% Gen Z mengalami stres hingga merasa sedih dan putus asa hampir setiap harinya.

Gen Z yang mudah stres dan rentan terhadap putus asa itu butuh support system yang kuat sebagai penopang mental dan emosional. Support system ini bisa dari keluarga, teman dekat, pasangan, serta lingkungan yang mendukung dan memahami. Atau bahkan dalam kasus tertentu sosok support system ini bisa aja digantikan sama tenaga profesional seperti psikolog maupun life coach.

Emangnya iya kita butuh support system lain meskipun udah ada pasangan yaitu suami/istri sendiri?

Dalam rumah tangga, support system itu sebenarnya berfungsi sebagai jaringan dukungan yang bikin kita merasa aman dan lebih kuat di tengah segala tantangan. Mereka jadi tempat buat kita curhat, ngeluarin unek-unek, dan dapetin pandangan yang lebih objektif soal masalah yang lagi dihadapi.

Saat seseorang merasa didengar dan didukung, tekanan emosional jadi lebih ringan, dan perasaan putus asa pun bisa terhindarkan. Support system juga bantu kita tetap punya perspektif yang seimbang saat ada konflik, dengan ngasih saran atau sekadar jadi pendengar setia yang nggak menghakimi.

Dalam pernikahan, support system bisa datang dari keluarga, sahabat, mentor, atau orang-orang terdekat yang selalu siap buat dengerin, ngasih saran, dan bantu nyari solusi waktu pasangan lagi ada masalah.

Dalam kondisi rumah tangga yang penuh konflik, kalau nggak ada dukungan dari pihak luar yang bisa ngasih pandangan lebih objektif, konflik kecil sering banget berkembang jadi masalah besar. Soalnya, nggak ada yang bantu meredakan suasana atau ngasih saran netral. Mereka jadi kehilangan tempat buat belajar dari pengalaman orang lain, curhat, atau sekadar dapetin validasi dari orang-orang terdekat.

Ketika pasangan nggak punya orang yang bisa bantu mereka lihat situasi dengan tenang, mereka cuma bisa ngandelin pengalaman sendiri yang masih terbatas dan sering bingung harus ngadepin masalah dengan cara gimana. Mereka jadi lebih gampang terjebak dalam emosi negatif, kayak frustrasi dan putus asa. Dalam kondisi ini, pasangan muda sering kali ngerasa kalau perceraian adalah satu-satunya cara buat mengakhiri tekanan dan kelelahan emosional yang mereka rasain

Kurangnya Kesiapan Mental dan Emosional

Ketika pasangan lupa tanggal ulang tahun atau lupa janji kecil, apa yang lo lakuin? apakah lo ngerasa tersinggung? atau bahkan langsung marah?

Respon yang lo ambil merupakan cerminan dari kematangan emosional. Dalam pernikahan, respon dari kasus sederhana kayak gini menunjukkan sejauh mana lo siap mental dan emosional untuk membina rumah tangga.

Kesiapan mental dalam pernikahan itu mencakup berbagai kemampuan dan sikap yang bikin pasangan siap ngadepin tantangan, menjaga keharmonisan, dan memelihara komitmen bersama dalam jangka panjang. Kesiapan ini bantu mereka buat bisa komunikasi dengan tenang dan nggak gampang kebawa emosi kalau ada perbedaan pendapat.

Salah satu bentuk kesiapan mental lainnya adalah kemampuan buat terbuka, jujur, dan mau kompromi selama berkomunikasi dengan pasangan satu sama lain. Hal ini termasuk ngomongin perasaan, harapan, dan kekhawatiran setiap pasangan tanpa ada rasa takut dihakimi. Kadang, kita juga perlu nurunin ego dan nyari titik tengah yang bisa diterima bareng-bareng.

Menjalani hidup bareng, apalagi di usia muda, jelas butuh waktu buat adaptasi sama kebiasaan pasangan dan dinamika rumah tangga—mulai dari urusan finansial, pekerjaan, sampai soal anak. Kesiapan mental di sini berarti punya kesabaran buat menghadapi perbedaan dan menghargai proses penyesuaian tanpa buru-buru atau gampang menghakimi. Tanpa kesiapan emosional ini, banyak pasangan muda yang kurang punya ketahanan mental buat bertahan di masa-masa sulit dalam pernikahan.

Kurangnya kesiapan emosional dan ketahanan mental adalah akar dari banyak masalah yang menjadi alasan perceraian pada pasangan muda.

Ketidaksiapan ini menciptakan dasar yang rapuh, dan pasangan jadi lebih sulit menghadapi tantangan yang muncul. Dalam banyak kasus, kurangnya kesiapan emosional dan ketahanan mental bikin pasangan muda nggak mampu ngadepin masalah sehari-hari, kayak konflik kecil, tekanan keuangan, atau perubahan prioritas. Masalah-masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan malah jadi alasan buat berpisah, karena mereka ngerasa kewalahan dan nggak cukup siap secara mental buat bertahan dalam pernikahan.

Intinya, kesiapan emosional dan ketahanan mental itu fondasi penting yang bikin pasangan bisa menjalani pernikahan jangka panjang. Tanpa hal-hal itu, pernikahan jadi gampang goyah dan lebih rentan buat berakhir di perceraian.

Solusi: Apa yang Harus Dilakukan?

Setelah tahu berbagai alasan kenapa banyak pasangan muda yang akhirnya bercerai—mulai dari belum siap secara emosional, masalah ekonomi yang nggak stabil, sampai pembagian peran yang nggak adil—jadi bikin kita berpikir  nih:

apa yang harus kita lakukan? gimana cara menghindari perceraian? dan apakah nikah muda itu sepenuhnya salah?

Sebelum lanjut, ada beberapa hal yang perlu dipahami dan diperhatiin buat siapa pun yang lagi mikir mau nikah muda, atau bahkan buat yang udah menjalani pernikahan:

Kesiapan Emosional adalah Kunci

Menikah muda bukan seubah kesalahan, tapi kesiapan emosional lo dan pasangan adalah kunci utama dalam pernikahan. Emosi yang stabil dan bisa ngatur konflik dengan baik bakal bikin pasangan lebih gampang bertahan di tengah gempuran masalah.

Penting banget buat ngecek diri sendiri dan pasangan:

udah cukup dewasa belum buat paham emosi masing-masing, nggak gampang kepancing kalau ada perbedaan, dan kuat buat bareng-bareng, baik pas senang maupun susah?

Kalau belum, mungkin nikahnya perlu dipikir-pikir lagi nih, atau lo bisa  mulai bangun kesiapan itu lewat konseling pranikah dan belajar dari orang yang udah berpengalaman.

Persiapkan Diri Secara Finansial dan Kemandirian Ekonomi

Kestabilan ekonomi memang bukan satu-satunya dasar buat pernikahan, tapi punya persiapan finansial yang matang itu bisa bantu banget ngurangin tekanan dalam kehidupan rumah tangga. Mengatur keuangan rumah tangga butuh kerja sama dan rencana yang jelas, biar lo dan pasangan nggak ngerasa terjebak dalam masalah ekonomi yang bisa memicu konflik.

Selaint itu, nabung sebelum nikah, rencanain pengeluaran, dan belajar ngatur keuangan bareng itu juga langkah penting. Ini bakal ngasih rasa aman dan membantu ngurangin ketergantungan finansial sama keluarga besar, yang kadang malah bisa nambah tekanan tersendiri.

Pahami dan Sepakati Kesetaraan dalam Peran dan Tanggung Jawab

Kesetaraan dalam peran itu fondasi penting buat pernikahan yang sehat. Daripada ngikutin peran tradisional secara kaku, pasangan muda perlu ngobrol terbuka soal pembagian tugas yang adil—baik soal finansial, urusan rumah tangga, atau pengasuhan anak.

Bicarain harapan masing-masing dengan jujur dan cari keseimbangan yang bikin kedua pihak bisa merasa dihargai dan diperlakukan adil. Kesetaraan ini bukan cuma soal berbagi beban, tapi juga soal membangun rasa saling menghormati dalam menjalani hidup bareng.

Membangun Support System yang Kuat

Pasangan muda yang punya support system yang baik dari keluarga dan teman biasanya lebih gampang ngadepin masalah dalam pernikahan.

Dukungan ini bisa datang dalam bentuk nasihat bijak, tempat buat curhat, atau bahkan sekadar motivasi buat tetap bertahan pas lagi ngerasa down. Ngobrol sama orang tua atau sahabat yang mendukung hubungan kita dan bisa ngasih masukan objektif itu penting banget.

Tapi jangan lupa, pastiin juga kalau support system lo udah itu tepat. Mereka yang tepat adalah orang-orang yang bisa ngasih ruang lo bercerita tanpa menghakimi.

Nah, dengan support system yang kuat, kita jadi nggak merasa sendirian pas ngadepin tantangan, dan jadi lebih termotivasi buat terus mempertahankan pernikahan.

Konseling Pranikah dan Konseling Pernikahan

Jangan ragu buat cari bantuan profesional kalau ngerasa butuh panduan buat bangun hubungan yang sehat.

Konseling pranikah bisa bantu pasangan lebih paham aspek penting dalam pernikahan, kayak komunikasi yang efektif, cara ngatur konflik, dan perencanaan keuangan.

Buat yang udah menikah, konseling pernikahan bisa jadi cara yang baik buat nyelesain masalah secara konstruktif, menjaga komunikasi tetap sehat, dan ngatasi hambatan emosional yang susah dihadapi sendiri.

Belajar dan Terus Mengembangkan Diri Bersama Pasangan

Menikah di usia muda itu artinya kita masih dalam fase pertumbuhan diri, dan di pernikahan, penting banget buat terus belajar dan berkembang bareng.

Komitmen dalam pernikahan itu soal saling dukung perkembangan satu sama lain, baik secara personal maupun profesional.

Ikut kegiatan yang bermanfaat, kayak kursus pengembangan diri atau seminar pernikahan, bisa bantu pasangan muda lebih paham diri sendiri, memperkuat ikatan, dan menghadapi perubahan prioritas dengan saling support.

Penutup

Sekarang kita tahu, bahwa menikah muda bukan sesuatu yang sepenuhnya salah atau harus dihindari.

Tapi, penting banget bagi setiap pasangan buat memahami bahwa pernikahan itu butuh lebih dari sekadar cinta dan komitmen sederhana.

Kesiapan emosional, finansial, keterampilan komunikasi, dan kematangan dalam menghadapi tanggung jawab bersama adalah fondasi yang sangat penting dalam membangun hubungan jangka panjang yang sehat dan harmonis.

Memahami alasan-alasan yang sering menyebabkan perceraian di kalangan pasangan muda, seperti ketidaksiapan emosional, tekanan sosial, hingga ketidakseimbangan peran, bisa menjadi pelajaran berharga bagi siapa pun yang lagi mempertimbangkan untuk menikah di usia muda.

Jadi, pernikahan adalah perjalanan yang penuh tantangan sekaligus keindahan, dan dengan persiapan yang matang, dukungan yang kuat, dan komitmen buat saling belajar mengerti dan menghormati satu sama lain, pasangan muda bakal punya peluang besar untuk bisa mewujudkan pernikahan yang sukses dan bahagia.

Dan, ya, pada akhirnya, bukan usia yang menentukan keberhasilan sebuah pernikahan, tapi nyatanya kesiapan dalam menghadapi segala dinamika yang ada itu lebih penting.

Dengan pengetahuan dan pemahaman yang oke, pasangan muda bisa punya rasa percaya diri yang lebih  dan optimis buat ngejalanin #HidupSeutuhnya untuk melangkah ke pernikahan yang bahagia.

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.