Gaya Kepemimpinan Mentor di Era Digital

Adaptasi
Ocky Jhon
20 Sep 2023

Perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi global telah menciptakan tantangan baru bagi para pemimpin di dunia bisnis. Di tengah perubahan yang cepat dan disruptif, banyak perusahaan menyadari bahwa gaya kepemimpinan tradisional tidak lagi efektif. Model manajerial lama yang berfokus pada kontrol dan perintah dari atas ke bawah sekarang dianggap ketinggalan zaman.

Sebaliknya, banyak organisasi beralih ke pendekatan yang lebih kolaboratif dan memberdayakan, di mana para manajer berfungsi sebagai pelatih bagi tim mereka. Menurut Gallup, 70% karyawan yang tidak terlibat di tempat kerja disebabkan oleh manajemen yang buruk, bukan karyawan itu sendiri (Harter, 2018). Oleh karena itu, peran seorang manajer terus berevolusi dari yang semula berfokus memberi perintah menjadi lebih ke arah membimbing dan melatih.

Namun, perubahan ini tidak selalu mudah. Tradisi dan budaya perusahaan seringkali sulit untuk diubah. Banyak manajer yang terbiasa dengan model lama enggan beralih ke pendekatan baru. Tulisan ini akan membahas tantangan dalam adopsi model mentor, serta bagaimana para pemimpin bisnis dapat beradaptasi demi kesuksesan di era digital.

Perbandingan Gaya Kepemimpinan Tradisional dan Sebagai Mentor

Dalam model manajerial tradisional, seorang manajer diharapkan mengambil keputusan untuk timnya, menetapkan tujuan, dan mengarahkan pekerjaan. Fokus utama adalah pada produktivitas dan hasil kerja. Sementara dalam pendekatan mentor, peran utama manajer adalah membimbing karyawan untuk mengidentifikasi masalah sendiri, menemukan solusi kreatif, dan terus belajar serta berkembang.

Menurut Rao (2015), manajer pelatih lebih menekankan pada memberdayakan dan memfasilitasi, bukan mengendalikan. Mereka juga mendorong kepemilikan tanggung jawab pribadi, bukan ketergantungan. Karyawan dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan diajak berpikir secara strategis tentang bisnis secara keseluruhan.

Banyak studi menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan mentor ini dapat meningkatkan keterikatan karyawan, kolaborasi lintas departemen, dan budaya inovasi di organisasi (Ellinger et al., 2003). Oleh karena itu, sangat penting bagi para pemimpin bisnis untuk mulai mengadopsi pendekatan ini demi menjaga daya saing di masa depan.

Tantangan dalam Mengadopsi Model Mentor

Meskipun pendekatan mentor semakin populer, adopsinya di banyak perusahaan masih lambat. Beberapa tantangan umum yang dihadapi para manajer dalam transisi ke peran pelatih antara lain:

Hambatan psikologis

Banyak manajer enggan melepaskan kendali dan menyerahkan tanggung jawab ke karyawan. Mereka khawatir akan kehilangan status atau otoritas (Hamlin et al., 2006). Perubahan peran dari yang mengendalikan menjadi memfasilitasi bisa terasa tidak nyaman.

Budaya organisasi yang hierarkis

Struktur dan proses yang mapan seringkali sulit untuk diubah. Sebagian besar organisasi telah terbiasa dengan model manajerial tradisional selama berpuluh-puluh tahun (Ellinger & Bostrom, 2002). Menjadikan mentorship sebagai norma memerlukan transformasi budaya secara menyeluruh.

Kesalahpahaman tentang mentorship

Banyak manajer menganggap mentor sekedar memberi masukan dan umpan balik kepada karyawan. Padahal, pelatihan yang efektif jauh lebih dari itu - pelatih perlu terampil dalam mengajukan pertanyaan yang tepat untuk memandu proses pembelajaran mandiri (Boyce et al., 2010). Pelatihan memerlukan keterampilan tinggi.

Kurangnya pelatihan untuk para manajer

Kebanyakan manajer tidak pernah dilatih cara menjadi pelatih yang baik. Mereka diangkat ke posisi manajerial berdasarkan keahlian teknis tanpa dibekali keterampilan kepemimpinan dan pelatihan (Riddle et al., 2015). Ini menyulitkan adopsi model baru.

Untuk mengatasi hambatan ini, organisasi perlu memberikan pelatihan yang komprehensif bagi para manajer agar berhasil beralih peran menjadi pelatih. Salah satu model pelatihan yang efektif adalah GROW.

Model GROW untuk Pelatihan

GROW merupakan model pelatihan yang dikembangkan oleh Graham Alexander dan Sir John Whitmore. Keempat huruf dalam GROW merupakan singkatan dari:

G: Goal (Tujuan)

R: Reality (Realita)

O: Options (Pilihan)

W: Will (Kehendak)

Berikut adalah penjelasan dan contoh penerapan langkah-langkah dalam model ini:

Goal (Tujuan)

Pada tahap pertama, pelatih perlu menanyakan tujuan spesifik apa yang ingin dicapai oleh karyawan dari sesi pelatihan - baik tujuan jangka pendek ataupun jangka panjang. Tujuan yang jelas akan memudahkan mengukur kemajuan.

Contoh: "Tujuan spesifik apa yang ingin Anda capai dari proyek ini?"

Reality (Realita)

Kemudian, pelatih menggali pemahaman karyawan tentang situasi atau tantangan nyata yang dihadapi saat ini terkait tujuan tersebut. Ini penting untuk menilai kesenjangan antara realita saat ini dengan tujuan di masa depan.

Contoh: "Ceritakan tantangan spesifik yang Anda hadapi dalam proyek ini."

Options (Pilihan)

Setelah itu, pelatih memfasilitasi karyawan untuk menghasilkan opsi, ide, atau rencana aksi yang berpotensi membawa ke arah tujuan, dengan mempertimbangkan kendala atau hambatan nyata. Pelatih dapat memberi masukan, tetapi hindari mengarahkan atau memecahkan masalah untuk karyawan. Biarkan mereka menemukan solusi sendiri agar lebih termotivasi.

Contoh: "Menurut Anda, apa saja pilihan yang bisa Anda lakukan untuk mengatasi tantangan tadi?"

Will (Kehendak)

Akhirnya, pelatih perlu menanyakan rencana aksi spesifik apa yang akan dilakukan karyawan, kapan akan dilakukan, dan apa hasil yang diharapkan. Rencana aksi harus realistis dan terukur. Pelatih juga perlu mengecek komitmen karyawan.

Contoh: "Oke, lalu langkah apa yang akan Anda ambil minggu ini?"

Dengan menerapkan model GROW, para manajer dapat mengembangkan keterampilan mentor yang efektif. Mari kita lihat manfaat menerapkan pendekatan ini di tempat kerja.

Manfaat Mengadopsi Pendekatan Mentor  

Terdapat banyak keuntungan jika organisasi beralih dari gaya kepemimpinan tradisional menuju pendekatan mentor, di antaranya:

Meningkatkan kolaborasi

Dengan berperan sebagai pelatih, para manajer dapat membangun hubungan yang lebih kolaboratif dengan timnya. Keputusan dibuat bersama, bukan diarahkan dari atas. Ini mendorong sinergi yang lebih baik (Kim et al., 2013).

Menumbuhkan inovasi

Pendekatan mentor mendorong karyawan untuk aktif menemukan solusi kreatif sendiri. Keterlibatan yang lebih besar ini membuat mereka lebih terbuka terhadap ide dan inovasi baru (Ellinger et al., 2003).

Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

Alih-alih selalu menyodorkan jawaban, model mentor melatih karyawan untuk berpikir analitis dan menjadi pemecah masalah yang handal (Hamlin et al., 2006).

Pemberdayaan karyawan

Pelatihan yang efektif dapat meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri karyawan. Mereka merasa dipercaya dan didukung untuk maju (Anderson, 2013).

Membangun budaya pembelajaran

Organisasi yang menerapkan prinsip-prinsip pelatihan cenderung memiliki lingkungan kerja di mana karyawan didorong terus belajar dan berkembang (Ellinger & Bostrom, 2002).

Menurut Anderson (2013), manfaat-manfaat ini pada akhirnya dapat meningkatkan kepuasan kerja, produktivitas, dan retensi karyawan di perusahaan. Oleh karena itu, setiap pemimpin bisnis perlu memulai transisi dari manajer tradisional ke pelatih yang efektif.

Membuat Pelatihan Menjadi Budaya Organisasi

Agar penerapan model pelatihan ini berhasil, perubahan perlu dilakukan secara menyeluruh di seluruh organisasi. Beberapa cara yang dapat dilakukan pemimpin bisnis:

  1. Komunikasikan visi baru kepada seluruh karyawan. Jelaskan bahwa tujuan organisasi adalah menciptakan lingkungan di mana setiap orang didorong terus belajar dan berkembang.
  2. Rombak proses rekrutmen untuk memastikan manajer baru memiliki mindset dan keterampilan pelatihan yang diperlukan. Lakukan assessment untuk mengukur kemampuan calon pelatih.
  3. Desain ulang penilaian kinerja dengan fokus pada peningkatan kompetensi, kolaborasi, dan pemberdayaan, bukan hanya hasil kerja.
  4. Sediakan pelatihan bagi manajer tentang keterampilan coaching dan pembelajaran orang dewasa. Pastikan mereka paham menerapkan pendekatan pelatihan di lapangan.
  5. Dorong dan apresiasi para manajer yang menunjukkan kemajuan dalam berperan sebagai pelatih efektif. Beri penghargaan dan soroti praktik pelatihan yang baik sebagai teladan.

Dengan konsisten dan berkelanjutan menerapkan langkah-langkah ini, budaya dan iklim organisasi yang memberdayakan akan terbentuk. Pelatihan akan menjadi norma, bukan pengecualian.

Kesimpulan

Era digital telah mengubah dunia bisnis dengan cepat. Kini, kolaborasi, kreativitas, dan inovasi menjadi sangat kritikal bagi kesuksesan organisasi. Oleh karena itu, para pemimpin perlu berevolusi dari gaya manajerial tradisional menuju pendekatan yang lebih memberdayakan.

Model kepemimpinan baru ini menempatkan manajer sebagai pelatih yang bertugas membimbing, memfasilitasi dan menginspirasi timnya. Adopsi peran baru ini memang tidak mudah dan memerlukan transformasi besar dalam budaya organisasi. Namun, dengan pelatihan yang tepat dan teladan dari pucuk pimpinan, perubahan pasti dapat dilakukan.

Pelatihan akan menjadi kunci keunggulan kompetitif di era digital. Organisasi yang berani melakukan lompatan besar ini akan menjadi yang terdepan di industri mereka. Jadi, tunggu apa lagi? Saatnya beranjak dari era manajer menuju era pelatih demi menjemput masa depan.

Untuk memulai perjalanan menuju organisasi pembelajar yang memberdayakan, hubungi Satu Persen x Life Skills ID melalui:

Request Pelatihan SDM Satu Persen x Life Skills ID

Untuk Perusahaan, NGO dan Pemerintahan:

+62 882-9762-5596‬ (Margareth, Whatsapp)

Untuk Organisasi dan Kemahasiswaan:

+62 851-7317-1568 (Sheila, Whatsapp)

Daftar Pustaka:

Anderson, V. (2013). A Trojan horse? The implications of managerial coaching for leadership theory. Human Resource Development International, 16(3), 251-266.

Boyce, L. A., Jackson, R. J., & Neal, L. J. (2010). Building successful leadership coaching relationships: Examining impact of matching criteria in a leadership coaching program. Journal of Management Development, 29(10), 914-931.

Ellinger, A. D., & Bostrom, R. P. (2002). An examination of managers' beliefs about their roles as facilitators of learning. Management learning, 33(2), 147-179.

Ellinger, A. D., Ellinger, A. E., Yang, B., & Howton, S. W. (2003). Making the business case for the learning organization concept: The impact of organizational learning on performance. In IEEE International Engineering Management Conference (IEMC), 2003 (Vol. 2, pp. 563-567). IEEE.

Hamlin, R. G., Ellinger, A. D., & Beattie, R. S. (2006). Coaching at the heart of managerial effectiveness: A cross-cultural study of managerial behaviours. Human Resource Development International, 9(3), 305-331.

Harter, J. (2018). Employee Engagement on the Rise in the U.S. Gallup. https://www.gallup.com/workplace/238085/employee-engagement-rise.aspx

Kim, S., Egan, T., Kim, W., & Kim, J. (2013). The impact of managerial coaching behavior on employee work-related reactions. Journal of Business and Psychology, 28(3), 315-330.

Rao, M. S. (2015). Embrace change effectively to achieve organizational excellence and effectiveness. Industrial and Commercial Training, 47(3), 145-150.

Riddle, D., Hoole, E., & Gullette, E. C. D. (2015). The Center for Creative Leadership Handbook of Coaching in Organizations. John Wiley & Sons.

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.