Hai semua! Balik lagi sama aku Senja, Part-time Blog Writer di Satu Persen.
Hari ini aku seneng banget karena sepupuku lagi main ke rumahku, kebetulan dia memang sedang libur kerja. Niatnya sih, menyempatkan waktu buat aku sekalian melepas penat dari hectic-nya pekerjaan. Aku dan sepupuku duduk santai di beranda rumahku sambil nikmatin udara yang gak sejuk-sejuk amat. Belum lama kita duduk, aku dibuat kaget olehnya karena tiba-tiba dia cerita kayak gini, nih:
S: “Kayaknya aku bipolar, deh."
A: “Kok bisa tahu, Kak?”
S: “Akhir-akhir ini mood-ku sering berubah-ubah, ngerasa putus asa, dan cemas. Aku habis nyari di internet, katanya itu tanda-tanda gangguan bipolar.”
A: “Udah coba periksa ke psikolog atau psikiater, Kak? Siapa tahu bukan.”
S: “Belum, aku takut.”
Nah, siapa yang suka kayak gini? Kalau ngerasain suatu keluhan penyakit, sukanya langsung browsing di internet. Terus setelah baca informasi di internet, kalian langsung menduga-duga penyakit tertentu tanpa ada diagnosis langsung dari profesional?
Hmm, kalau iya nih, berarti kalian lagi ngelakuin self diagnosis, Perseners!
Apa Itu Self-Diagnosis?
Self-diagnosis adalah mendiagnosis diri sendiri terkena suatu penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki atau setelah membaca informasi di internet yang berkaitan dengan keluhan tersebut. Padahal informasi yang tersedia di internet seringkali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis atau tidak evidence-based medicine.
Sering ketika mendapatkan suatu informasi penyakit, kita langsung menyimpulkan apa yang kita ketahui tanpa mengonsultasikan lebih spesifik kepada profesional. Padahal informasi yang tersebar di luar sana, ada yang bersifat mentah dan butuh proses pemahaman lebih lanjut untuk dapat dikonsumsi oleh pembaca.
Contohnya seperti yang dilansir Psychological Today bahwa orang yang sering mengalami mood swing biasanya mendiagnosis dirinya terkena gangguan bipolar. Padahal, perubahan suasana hati atau mood swing tidak hanya merujuk pada penyakit bipolar saja, namun dapat mengindikasikan gangguan kepribadian ambang atau depresi berat.
Alasan Melakukan Self-Diagnosis
1. Takut Sama Psikolog atau Ahli Lainnya
Alasan banyak orang memilih lebih percaya informasi yang ada di internet adalah karena mereka takut pada apa yang dikatakan oleh psikolog atau ahli lainnya mengenai keluhan penyakitnya. Jangan-jangan gejala yang dirasakan merupakan penyakit yang fatal dan ternyata gak bisa disembuhkan oleh ahli sekalipun.
2. Kurangnya Kepercayaan Terhadap Para Ahli
Alasan lainnya adalah kurangnya kepercayaan pasien terhadap dokter, psikolog, psikiater, atau ahli lainnya. Banyak yang percaya bahwa tenaga ahli melakukan malpraktek sehingga seenaknya mendiagnosis suatu penyakit.
Cobain Yuk, Tes Sehat Mental
Apa Aja Bahaya Self-Diagnosis?
1. Risiko Salah Diagnosis
Seperti yang aku sebutin di atas, menduga-duga penyakit secara mandiri berisiko buat salah diagnosis. Aku contohin semisal penyakit tumor otak. Kita tidak bisa mengidentifikasi penyakit tumor otak hanya berpegang pada informasi dari internet semata. Sebab, harus ada prosedur pemeriksaan lebih mendalam yang dilakukan oleh dokter sampai bisa mendiagnosis bahwa itu benar tumor otak.
Apabila kita gegabah mendiagnosis penyakit, akibatnya bisa fatal, loh! Seperti timbulnya gangguan depresi hingga nekat bunuh diri.
2. Risiko Salah Obat
Tanpa pengawasan dan persetujuan profesional, kita berisiko salah meresepkan obat untuk diri kita sendiri, Perseners! Ada risiko kemungkinan keracunan obat di dalam tubuh.
Semisal kita lagi mencari solusi buat nurunin berat badan. Ada beberapa artikel di internet yang memberi tips untuk minum obat diet. Padahal mengkonsumsi obat diet sembarangan tanpa teruji Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) berisiko mengganggu sistem pencernaan, jantung, tekanan darah, dan lain-lain.
3. Sulit Mempercayai Kenyataan
Banyak dari kita yang akhirnya memilih pergi memeriksakan diri kepada profesional. Namun setelah mendapatkan diagnosis penyakit dari ahli, kita kemudian lebih memilih untuk mempercayai informasi yang dibaca dari internet. Hal ini membuat para ahli kesulitan menyadarkan pasiennya. Sehingga dalam situasi ini, para ahli harus menenangkan pasien untuk menerima kenyataan yang ada.
4. Risiko Penanganan Mandiri yang Salah
Informasi pengobatan atau penanganan penyakit yang didapat dari internet tidak bisa jadi patokan untuk semua orang. Karena setiap orang punya riwayat penyakit yang berbeda. Sehingga penting untuk mengetahui riwayat medis kita guna menangani diri sendiri secara benar.
Contohnya, orang yang memiliki riwayat penyakit bipolar penanganannya berbeda dengan orang yang baru saja memiliki indikasi terkena bipolar.
5. Pemborosan Uang
Setelah mendiagnosis diri orang cenderung memesan produk atau obat-obatan sesuka hati. Dampaknya, tidak hanya merugikan kesehatan tetapi juga menyebabkan pemborosan uang, mengingat obat itu kemungkinan tidak efektif untuk mengobati suatu penyakit.
Baca juga: Ketahui Kondisi Mentalmu dengan General Health Questionnaire
Terus, Bagaimana Kalau Kita Gak Puas Sama Diagnosis Para Ahli?
Pada dasarnya jika pasien tidak puas dengan diagnosis para ahli, pasien bisa mencari second opinion. Mencari pendapat kedua yang berbeda adalah hak seorang pasien dalam memperoleh jasa pelayanan kesehatan. Hak yang dipunyai pasien ini adalah hak mendapatkan pendapat kedua (second opinion) dari ahli lainnya.
Nah, semisal Perseners lagi memeriksakan diri ke suatu biro konsultasi psikolog atau psikiater non Satu Persen. Namun, kalian ngerasa belum puas atau ragu sama jawaban psikolog atau psikiater itu. Kalian bisa banget konseling sama Satu Persen buat dapet second opinion dengan klik banner di bawah ini!
Atau mungkin kalau kalian udah bener-bener percaya sama layanan Satu Persen, kalian juga bisa langsung konseling kok, apabila merasakan suatu gejala tertentu. Satu Persen di sini bakal hadir dengan tulus buat memberikan opini pertama dan kedua buat kalian. Intinya jangan sampai self-diagnosis, ya!
So, sekian dulu dari aku, semoga artikel ini ngebantu kalian buat dapet pencerahan. Sampai jumpa lagi!
Referensi:
Akbar MF. Analisis Pasien Self-diagnosis Berdasarkan Internet pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. 2019
https://dualdiagnosis.org/dual-diagnosis-treatment/dangers-self-diagnosis/
https://www.psychologytoday.com/us/blog/debunking-myths-the-mind/201005/the-dangers-self-diagnosis