Bagaimana Seharusnya RUU Praktik Psikologi?

Artikel Terbaik
Diaz Ajeng Pradila
23 Okt 2020

Hallo Perseners! Gue mau nanya deh, lo bingung gak sih sama kondisi Indonesia sekarang? Apakah gue merasakan kebingungan ini sendirian atau lo juga ngerasain juga? Gue bingung campur prihatin aja sih, karena sekarang itu terlalu banyak isu yang muncul secara berturut-turut. Belum aja selesai berjuang mengatasi pandemi udah ada lagi masalah muncul.

Lo semua juga udah pada tahu lah ya. Akhir-akhir ini demo terjadi di mana-mana karena disahkannya RUU Cipta Kerja. RUU ini menimbulkan banyak respon negatif dari kalangan masyarakat. Demo sampe rusuh lah, fasilitas umum juga jadi korban, bahkan gue sempet liat di twitter beberapa mahasiswa yang demo itu hilang.

Emang bener ya? Seserem itukah? Untuk Perseners semua gue cuma minta, buat lo yang ikut demo jaga diri lo baik-baik ya! Buat lo yang gak ikut tolong tetap jaga diri juga. Dari hati gue turut prihatin juga untuk Indonesia sekarang yang lagi gak baik-baik aja:(

Minggu ini gue akan bahas sesuatu yang agak berat dikit, tapi tenang tulisan ini akan tetap menarik dan pastinya lo akan lebih banyak mendapatkan ilmu setelah baca ini. Mumpung masih anget, gue mau bahas tentang Rancangan Undang-Undang di Indonesia.

Well, kalau ngomongin RUU yang ada di Indonesia, sering banget ya kayaknya dapet respon negatif dari berbagai pihak. Kaya RUU Cipta Kerja kemarin, terus tahun lalu ada RUU KUHP juga yang bikin ribuan mahasiswa demo turun ke jalan. Tapi, kayaknya gak semua RUU jadi perbincangan masyarakat ya.

Salah satunya RUU Profesi Psikologi yang sekarang dikenal jadi RUU Praktik Psikologi. Banyak orang yang berpendapat bahwa RUU ini sangat ideal untuk segera disahkan, karena maraknya kasus penyalahgunaan profesi psikolog dan kasus-kasus malpraktik. Apa emang gitu kenyataannya?

Tapi gue mau disclaimer dulu nih. Gue sama sekali bukan ahli hukum yang biasa mengkritik RUU sebuah negara ya. Tapi gue sebagai rakyat biasa mau ngajak lo semua untuk yuk sama-sama menilai dan memberikan pendapat tentang RUU Praktik Psikologi ini.

Pembahasan ini juga masih terbuka banget buat didiskusikan lho! Jadi, kalau lo punya pendapat lain, lo boleh banget kirim pendapat lo ke [email protected] ya!

Emang apa sih isi dari RUU Praktik Psikologi itu?

Secara sistematis RUU tentang Praktik Psikologi ini terdiri dari 12 Bab dan 67 Pasal. 12 Bab di antaranya membahas tentang; Ketentuan Umum; Praktik Psikologi, Standar Praktik Psikologi, Hak dan Kewajiban; Uji Kompetensi Berkelanjutan; Organisasi Profesi; Pembinaan; Ketentuan Pidana; Ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup.

Berdasarkan Rapat Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Konsepsi RUU tentang Profesi Psikologi yang diselenggarakan oleh DPR RI tanggal 5 Februari 2020, ada beberapa fenomena yang melatarbelakangi terbentuknya RUU Profesi Psikologi.
Fenomena tersebut diantaranya adalah:

  • Dalam peran profesi Psikologi dibutuhkan standar kualitas layanan jasa dan praktik profesi Psikologi untuk melindungi pengguna.
  • Tenaga profesi psikologi yang mempunyai keahlian dan kewenangan yang berbeda. Hal ini membutuhkan standar kompetensi dan kewenangan yang berbeda dalam layanan jasa dan praktik profesi psikologi, seperti pengaturan hukum tentang cakupan profesi psikologi.
  • Banyaknya jumlah lulusan pendidikan tinggi Psikologi dalam berbagai jenjang dan jenis pendidikan sehingga diperlukan pencatatan tenaga profesi psikologi untuk memberikan perlindungan profesi.
  • Mulai banyak psikolog asing yang melakukan layanan jasa dan praktik profesi Psikologi di Indonesia.
  • Beragamnya kualitas Pendidikan tinggi Psikologi di Indonesia dalam berbagai jenjang sehingga diperlukan penjagaan standar kompetensi tenaga kerja profesi Psikologi untuk memelihara kompetensi dan profesionalitas psikolog.

Dari fenomena di atas, sekilas sih RUU ini penting banget ya untuk segera disahkan. Tapi kalau kita perhatikan lebih lanjut apakah RUU Praktik Psikologi ini sudah mencakup semua bidang terkait Psikologi? Menurut gue belum ya, kayaknya butuh dilakukan analisis lebih lanjut mengenai RUU ini sebelum disahkan dan direalisasikan nantinya.

Kenapa butuh analisis lebih lanjut lagi? Karena jangan sampai nih RUU yang nanti akan jadi UU Praktik Psikologi ini terkesan cuma fokus untuk psikolog klinis aja. Padahal, ilmu serta praktik psikologi itu ranahnya luas dan orang-orang yang bekerja di area itu ada banyak banget, gak hanya psikolog klinis aja. Kenapa gue bisa berpendapat kaya gitu, karena gue gak nemu pembahasan tentang praktik psikolog pendidikan atau psikolog industri organisasi di RUU ini.

Ya, sebenarnya psikolog klinis sendiri memiliki peran sangat besar di dalam dunia praktik psikologi dan psikodiagnostik. Tapi, balik lagi definisi global praktik psikologi itu gak hanya sebatas psikolog klinis aja. Jadi kurang lengkap rasanya kalau sebuah undang-undang yang berjudul UU Praktik Psikologi gak bahas peran psikolog pendidikan atau psikolog yang lain, psikolog sosial contohnya.

Mungkin di Indonesia sendiri gak lazim ya ketika psikolog sosial diminta untuk membahas masalah atau isu sosial yang terjadi. Beda dengan negara Amerika Serikat. Di Amerika Serikat sangat lazim ketika psikolog sosial membahas isu sosial yang ada di kelompok kecil. Bahkan psikolog sosial di Amerika Serikat itu diminta untuk memberikan saran kepada Calon Presiden atau Presidennya sendiri dalam menghadapi isu politik dari pandangan ilmu psikologi sosial tentunya. Di wilayah Amerika Tengah dan Selatan juga, psikolog sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan publik di negara mereka, bahkan bisa menghasilkan sebuah cabang baru yang namanya  Liberation Psychology.

Ini baru psikologi di ranah praktik sosial aja, belum pendidikan, perkembangan, dan lain-lain. Lagi-lagi menunjukkan kalau sebenarnya ranah praktik psikologi itu luas banget, tapi sayangnya gak banyak dibahas dalam RUU Praktik Psikologi ini.

Selain itu, Indonesia punya banyak komunitas Psikolog Akademik yang jumlahnya lebih besar dari psikolog klinis loh. Persebarannya juga lebih merata karena tersebar di Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di seluruh Indonesia. Selain itu Psikolog Akademik juga sangat berperan dalam membuat standar validasi alat tes dan intervensi psikologi. Menurut gue sih harusnya ikut dibahas juga dalam RUU Praktik Psikologi ini.

Ditambah lagi peran psikologi saat ini juga semakin besar juga. Udah lumayan banyak industri organisasi pake layanan psikologi, kaya kementerian, badan pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta juga. Jadi butuh juga dibahas terkait  peran Psikolog Industri dan Organisasi juga. Karena menurut gue, mustahil banget kalau semua masalah terkait psikologi cuma bisa diselesaikan oleh Profesi Psikologi-yang didefinisikan sebagai psikolog klinis aja. Rasanya kalau RUU yang kurang lengkap ini jadi disahkan, belum bisa jadi solusi yang efektif buat masalah kesehatan mental yang ada di Indonesia juga.

Dan mungkin yang gue khawatirkan adalah UU Praktik Psikologi ini malah memperburuk kondisi kesehatan mental di Indonesia aja. Karena setelah disahkan RUU ini menjadi UU pasti banyak kebijakan-kebijakan yang baru juga. Bisa jadi nih program task shifting yang gue bahas kemarin gak bisa terlaksana di Indonesia, padahal cara itu adalah salah satu cara efektif yang bisa dilakukan Indonesia untuk memperbaiki kondisi kesehatan mental yang ada di indonesia. Jadi coba yuk kita buka mata pelan-pelan.

Katanya: “Rancangan Undang-undang Profesi Psikologi yang berfungsi untuk melindungi masyarakat dari tindakan malpraktik psikologi”.

Karena banyaknya profesi psikologi yang disalahgunakan dan juga banyak sarjana psikologi sudah buka praktik psikologi, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) berharap RUU ini harus segera disahkan.

Gue setuju-setuju aja ya. Tapi kalau dipikir, sebenernya malpraktik itu gak ada kaitannya sama profesi atau gelar sarjana. Menurut gue S1 psikologi banyak melakukan malpraktik itu adalah argumen yang fallacy ya. Emang selama ini ada datanya yang menyebutkan bahwa sekian persen sarjana psikologi melakukan malpraktik? “Banyak”nya itu emang berapa? Mungkin itu yang bisa dipertanyakan.

Dr. Juneman Abraham seorang Doktor Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia, mengumpulkan kasus-kasus pelanggaran etika psikologi. Dari 10 data yang dikumpulkan pak Juneman ini hanya 1 yang dilakukan oleh S1 Psikologi. Bahkan keputusan terakhir dari Majelis Psikologi hanya sampai Asas Praduga Tak Bersalah. Sembilan sisanya justru dilakukan oleh psikolog, seorang Magister sampai Guru Besar, bahkan kebanyakan  dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai kualifikasi pendidikan psikologi.

Itu artinya apa? Bukan cuma S1/Sarjana Psikolog memiliki peluang untuk melakukan malpraktik atau pelanggaran kode etik. Psikolog bahkan Guru Besar Psikologi pun sangat besar peluangnya untuk melakukan pelanggaran. Jadi menurut gue kurang tepat rasanya kalau RUU Praktik Psikologi ini segera disahkan karena alasan banyak Sarjana Psikologi yang melakukan malpraktik.

Jadi kalau emang mau dibahas, yang jadi masalah di sini adalah bukan S1nya tapi banyak kasus malpraktiknya. Which is bisa dilakukan sama psikolog juga. Dan kalau emang bener gitu banyak S1 psikologi yang melakukan malpraktik, apa gak seharusnya kita tanya balik: apa ada yang salah sama pendidikan psikologi yang ada di Indonesia sampai S1 berani melakukan malpraktik? Apakah para pengajar udah bener ngajarin pemahaman etis psikologi Indonesia ke mahasiswa sarjananya?

Sebuah undang-undang pasti menyangkut kehidupan publik kan ya, bukan cuma komunitas profesi doang. Nah, gue pribadi sih berharap kalau RUU Praktik Psikologi juga bisa membahas semua hal terkait praktik psikologi. Apalagi masih banyak banget miskonsepsi mengenai ilmu dan praktik psikologi yang masih tersebar di masyarakat. Seharusnya dengan adanya UU yang membawa nama psikologi ini bisa menjawab dan sekaligus memperjelas miskonsepsi-miskonsepsi yang ada di masyarakat juga.

Kaya praktik pelatihan psikotes untuk CPNS atau buku-buku latihan psikotes. Gue sih gak nemu kalau RUU Praktik Psikologi membahas ini. Padahal kalau dikaji lebih lanjut mungkin itu termasuk miskonsepsi yang harus diluruskan, mungkin jadinya malah malpraktik juga. Karena kebanyakan program atau buku psikotes itu ngasih kunci jawaban supaya orang yang mempelajarinya bisa dapet perfect score, seolah membentuk personality lain semata-mata biar lulus psikotes aja.

Dengan kata lain, alat tesnya jadi bocor duluan, hal ini juga akan mengganggu validitas atau keabsahan dari alat tesnya juga. Ibaratnya tuh, kayak mau ujian matematika tapi soal yang sama persis udah bocor duluan dan dijual di toko buku. Apa gunanya lo ikut ujian kan kalau gitu? Coba deh kita analisis, apakah ini etis untuk dilakukan?

Contoh lain misalnya, lo para pemburu Gramedia pasti tau buku berjudul Grit. Nah, konsep “Grit” sendiri secara akademik udah dibantah sama ilmuan-ilmuan psikologi. Bahkan profesor psikologi dari San Francisco University aja udah melaporkan penulis dari buku Grit ini-Angela Duckworth- untuk menarik bukunya kembali, karena konsep Grit sendiri itu sebenarnya keliru. Tapi, sampe sekarang di Indonesia sendiri buku Grit ini malah jadi best seller. Selain itu, masih sering banget dipakai buat pelatihan-pelatihan dan seminar motivasi.

Ada lagi buku terlaris di Indonesia, judulnya The Secret. Buku ini ngejelasin tentang hukum tarik-menarik yang menyatakan bahwa apapun yang dialami dalam hidup adalah akibat langsung dari pikiran. Sesederhana itu. Kalau lo berpikir akan menjadi gemuk, lo akan bertambah gemuk. Kalau lo mikirin orang kurus, lo sendiri akan menjadi kurus. Karena menurut buku ini pikiran dan perasaan memiliki sifat magnetis.

Menurut Benjamin Radford seorang penulis dari Amerika, buku The Secret ini mengklaim kalau konsep yang ada di dalam buku didasari oleh sains, yang dipinjam dari fisika kuantum. Rhonda Byrne menyatakan bahwa hal yang sama menarik satu sama lain, jadi pikiran positif membawa hal positif dan pikiran negatif membawa hal negatif. Oleh karena itu, jika kita hanya memikirkan hal-hal yang kita inginkan, kita akan mendapatkannya. Kalau kita inget-inget lagi nih, dalam ilmu fisika yang tarik menarik itu justru yang berlawanan bukan yang sama.

Selain itu Byrne juga bilang ide dari buku ini didasari oleh teori “Law of Attraction”. Satu Persen juga udah sempet bikin video terkait “Law of Attraction” ini, bisa lo tonton biar lo lebih ngerti tentang teori ini. Masih minim data scienticific terkait teori ini dan sampe sekarang juga masih jadi perdebatan banyak orang. Dan sayangnya sampai saat ini, gue belum menemukan bukti scientific dari Byrne sebagai penulis untuk memperkuat karyanya. Jadi buku ini didasari oleh teori yang masih abu-abu juga. Tapi malah laris banget bukunya di Indonesia.

Buat masyarakat awam mungkin percaya-percaya aja gitu, tapi yang terjadi malah miskonsepsi tadi. Nah, yang kaya gini-gini harusnya dilindungi oleh UU Praktik Psikologi juga. Biar masyarakat juga gak mempelajari konsep yang sesat atau keliru, pengetahuannya juga jadi gak salah.

RUU ini adalah RUU yang akan jadi UU Praktik Psikologi bukan UU Praktik Psikolog. Terlalu nanggung aja gitu kalau cuma bahas psikolog doang, karena kan sebuah UU akan menjadi sebuah kebijakan publik yang pasti akan berimbas juga untuk pelayanan dan perlindungan masyarakat. Jangan sampe dengan keluarnya UU ini malah bikin masyarakat atau Profesi terkait jadi malah makin bingung. Terus apa fungsinya ada UU dong kalau gitu? Gue tau pendapat lo terkait RUU Praktik Psikologi ini gimana?

“Di tengah pusaran kegelapan, kejahatan kerap dimaklumi sebagai kewajaran.” -Najwa Shihab

Gue harap sih UU apapun itu bisa disusun sebijak mungkin dan perlu analisis lebih mendalam lagi sebelum disahkan atau direalisasikan, biar bisa meminimalisir dampak negatif dan biar bisa berjalan efektif aja sih. Dan yang paling penting semoga RUU yang dibuat, tolong dibuat karena kepentingan rakyat dan negara bukan kepentingan suatu kelompok tertentu aja. Ya, namanya juga rakyat biasa gue cuma bisa berharap aja.

Berat ya pembahasannya, but its oke kita sama-sama belajar. Gue rasa cukup itu aja yang mau gue sampein, maaf kalau ada kata-kata yang salah. Gue juga berharap dengan tulisan ini, bisa buat masyarakat yang baca jadi lebih aware aja sih dengan kebijakan-kebijakan publik yang ada. Karena sebagai rakyat penting juga untuk tau apa sebenarnya terjadi di negara ini. Makanya gue ngajak lo untuk ikut menyebarkan artikel ini, biar makin banyak masyarakat yang jadi aware tentang kebijakan publik di Indonesia.

Jangan lupa juga untuk tonton terus video-video Satu Persen di Youtube dan pantengin juga Satu Persen di Instagram @satupersenofficial dan Twitter @satupersen_id. Lo bisa juga coba ikut tes online gratis yang disediain Satu Persen, salah satunya tes sehat mental. Semisal lo merasa butuh konsultasi terkait kesehatan mental lo, lo bisa coba layanan mentoring.  Akhir kata stay safe, healthy, and happy! See you <3

Reference

Abraham, J. (2020, 25 February). Komentar Penutup Mengenai RUU Profesi Psikologi. Binus University. Retrieved from: https://psychology.binus.ac.id/2020/02/25/komentar-penutup-mengenai-ruu-profesi-psikologi/

Chabris, C. F. & Simons, D. J. (2010, September 24). Fight ‘The Power’. The New York Times. Retrieved from: https://www.nytimes.com/2010/09/26/books/review/Chabris-t.html

Hillary. (2018, February 22). The Welcome Debunking of “Grit”. Hillary Rattig. Retried from: https://www.hillaryrettig.com/2018/01/22/welcome-debunking-grit/#:~:text=I'm happy to report,concept%2C has largely been debunked.&text=“These students showed grit%2C that's,%2C” he told his students

Radford, B. (2009, February 3). The Pseudoscience of 'The Secret'. Live Science. Retrieved from: https://www.livescience.com/5303-pseudoscience-secret.html

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.