The Psychology of Finance: Membangun Mindset Menuju Financial Freedom

Psychology of Finance
Anindhita Parasdya
20 Sep 2022

Siapa sih yang gak pengen sehat finansial?

Keuangan yang sehat bakal berpengaruh positif ke hampir semua aspek kehidupan kita. Mulai dari kesehatan fisik, kesehatan mental, produktivitas, relationship,dan berbagai aspek lainnya yang mungkin bakal bikin hidup kita jadi lebih bahagia.

Tapi, lo mungkin pernah mengalami saat-saat di mana lo ngambil keputusan keuangan yang akhirnya lo sesali di kemudian hari. Yang mungkin lama kelamaan mulai menghambat kesehatan finansial lo.  

Apakah lo pernah mengalami beberapa situasi kayak ini?

- Beli sesuatu yang sebenarnya nggak bisa lo afford, tapi tetep lo beli karena pengen terlihat keren di mata orang lain.

- Nge-iyain ajakan teman buat nongkrong, padahal lagi bokek.

- Checkout barang diskon di e-commerce, padahal barangnya nggak penting.

- Rela pergi jauh-jauh beli barang karena harganya lebih murah. Alias ngabisin waktu dan bensin.

- Beli sesuatu pakai paylater tanpa berpikir panjang. Tau-tau, tagihannya numpuk di akhir bulan.

Kalau pernah, sebenarnya lo nggak sendirian. Semua manusia di bumi pernah mengambil keputusan finansial yang nggak make sense. Kenapa?

Karena manusia adalah makhluk irasional. Apalagi kalau udah berhadapan sama uang. :D

Kok bisa? Kenapa begitu?

Tes Kesehatan Finansial-mu di sini

Kenapa Kita Nggak Rasional?

Proses berpikir dan pengambilan keputusannya manusia sebenarnya nggak se-perfect itu. Kadang-kadang, kita terjebak sama bias kognitif, alias kesalahan sistematis dalam proses berpikir kita. Bias kognitif terjadi karena otak kita berusaha buat melakukan simplifikasi terhadap segala macam informasi kompleks yang ada di dunia ini.

Bahkan, 90% keputusan yang diambil sama manusia itu didasarkan sama aspek emosi, bukan logika.

Kita coba ambil contoh ketika lo pengen beli handphone apel kegigit, walaupun lo harus beli lewat kredit karena uang lo gak cukup. Lo pengen beli itu karena lo akan terlihat lebih keren di tongkrongan. Lo juga pengen mirror selfie di depan kaca dan post itu di Instagram.

Sebenarnya lo tau kalau uang lo nggak cukup. Lo juga tau kalau banyak HP lain yang speknya masih oke dan lebih murah. Tapi, sisi emosi berupa perasaan bangga bisa foto pakai HP apel kegigit itu jauh lebih kuat dibandingkan dengan sisi logis kalau uang lo nggak cukup.

Jadilah, lo akhirnya memutuskan tetap beli HP apel kegigit itu meskipun harus kredit.

Ada banyak jenis bias kognitif yang bisa mempengaruhi keputusan finansial kita. Yuk, kita bahas satu persatu.

Bias Kognitif: Ketika Pikiranmu Berbohong

1.Mental Accounting

Mental accounting atau akuntansi mental mengacu pada kecenderungan seseorang untuk memandang kalau uang itu punya tujuan dan nilai yang berbeda, meskipun jumlahnya sama.

Jadi gini, misalnya lo adalah karyawan dengan gaji 5 juta. Gaji 5 juta itu sangat berharga. Jumlah yang mungkin bisa lo nikmati buat makan dan senang-senang mungkin cuma 1 juta. Sisanya buat keperluan lain.

Suatu hari, lo menang undian jalan sehat. Hadiahnya 5 juta, sama kayak gaji lo. Tapi 5 juta yang ini rasanya beda. Lo merasa berhak buat memakai uangnya untuk jajan, jalan-jalan.. Karena rasanya itu kayak bukan uang lo, tapi kayak durian runtuh.

Padahal nilainya sama cuy, sama-sama 5 juta. Tapi lo memperlakukan 5 juta hasil gajian dan 5 juta hasil undian dengan beda.

Mungkin sama halnya kalau lo jajan pakai uang orang tua versus jajan pakai uang sendiri. Lebih kerasa berat ketika jajan pakai uang sendiri, kan?

Apa masalahnya? Well, bias kognitif ini kalau dalam jangka besar bisa bikin kita ambil keputusan ceroboh. Kayak menghabiskan uang warisan dalam seminggu daripada buat investasi masa depan.

2. Present Bias

Ketika kita terperangkap di present bias, kita cenderung buat ambil keputusan yang bisa langsung dinikmati dan dirasakan sekarang juga, tanpa memikirkan tentang efeknya di masa depan.

Orang-orang yang terjebak utang seringkali menjadi mangsa dari bias ini. Misalnya kayak kasus beli HP apel kegigit yang tadi udah diceritain di awal.

Pembelian lewat kredit membuat kita nggak perlu susah payah bersabar dan menunggu barangnya di masa depan. Barangnya langsung bisa dipakai sekarang juga. Kita juga kadang terjebak dalam pikiran, “ah besok pasti ada uang buat bayar utangnya”.

Kalau kita nggak terbiasa buat menunda kesenangan dan memikirkan masa depan, this can seriously harm our financial health.

3. Sunk Cost Fallacy

Bayangkan lo saat ini tinggal di rumah peninggalan orangtua lo yang penuh kenangan, walaupun di sisi lain udah banyak trouble-nya. Genteng yang sering bocor, cat yang udah kusam, sampai banjir yang sering muncul. Akhirnya, lo harus keluar banyak uang buat benerin rumahnya.

Lo sebenarnya tau, kalau rumah ini dijual, lo bisa dapat cukup uang buat beli rumah baru. Tapi karena udah terlanjur keluar banyak uang buat benerin rumahnya, lo memilih buat bertahan.

Padahal, buat mempertahankan rumah, lo juga butuh banyak uang. Tapi karena ada perasaan kalau usaha lo selama ini buat benerin rumah bakalan sia-sia, lo jadi mengurungkan niat lo buat pindah.

Itulah sunk-cost fallacy–kecenderungan kita untuk melanjutkan usaha kita yang udah terlanjur dilakukan, walaupun kalau dilihat secara benefit, hal itu bakal ngerugiin kita.

4. Anchoring Bias

Anchoring bias adalah tendensi kita buat ambil keputusan berdasarkan hal yang kita lihat atau ketahui pertama kali, tanpa memikirkan worth atau nggak-nya keputusan itu buat diambil.

Misalnya lo lagi pengen beli sepatu di mall. Ketika lo datang ke toko pertama, lo langsung disambut dengan sepatu seharga 2 juta yang didiskon 50%. Lo langsung memilih sepatu itu tanpa lihat dulu sepatu-sepatu lain yang dipajang di dalam. Lo juga nggak lihat-lihat dulu ke toko lain.

Atau ketika lo makan prasmanan. Di awal, lo langsung ngambil banyak makanan, karena terlihat menggoda. Tapi pas lo jalan lagi, ternyata banyak makanan yang lebih enak, tapi ditaruh di belakang.

Hal terbaik yang bisa lo lakukan untuk mencegah anchoring bias adalah dengan riset! Kumpulin informasi yang cukup sebelum lo memutuskan sesuatu.

5. Status Quo Bias

Bayangkan lo sedang dilanda kebingungan. Uang rasanya cepat banget habis, padahal gaji lo termasuk banyak.

Setelah ditelusuri, pengeluaran paling banyak yang lo keluarkan adalah pengeluaran makan malam. Habis kerja, lo selalu punya kebiasaan untuk pesan makanan online.

Ketika teman lo menyarankan buat mengurangi kebiasaan itu, lo menjawab, “tapi kan pesan makanan online udah jadi kebiasaan..”

Yap, itu adalah status quo bias. Keadaan di mana kita nggak improve dari situasi masa kini karena merasa udah terbiasa.

Kalau lo mengalami bias ini, coba tantang pikiran lo: bukannya kita selalu punya pilihan untuk berubah? Toh kalau berubah juga nggak papa kan?

5 hal tadi adalah contoh bias kognitif yang sering mempengaruhi keputusan finansial kita. Masih banyak lagi contoh-contoh yang belum gue sebutkan. Lo sendiri, paling sering terjebak di bias kognitif yang mana? :D

Pembahasan tentang bias kognitif ini mungkin jarang lo dengar dari influencer-influencer atau bahkan kelas literasi finansial. Padahal, sedalam apapun pengetahuan lo tentang investasi, sejago apapun kemampuan lo dalam mencari uang, kalau lo nggak sadar terhadap pikiran dan emosi lo sendiri, bisa jadi lo bakalan tetap punya chance buat terperangkap ke bias kognitif ini.

That’s why, kalau kita ngomongin tentang finansial, sebenarnya kita nggak bisa melepaskan peran psikologi di dalamnya. Psikologi membuat lo aware terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku yang menghambat lo menuju kesehatan finansial.

Misalnya lo kesulitan buat menabung. Lo udah melakukan berbagai cara yang direkomendasikan sama influencer, tapi gak works.

Kalau udah kayak gitu, mungkin yang lo butuhkan adalah intervensi psikologis, buat mengetahui hambatan apa yang terjadi, either di pikiran atau perasaan yang akhirnya mempengaruhi perilaku menabung yang susah lo lakukan.

Kabar baiknya, lo bisa belajar sisi psikologis dari aspek finansial bareng Satu Persen! Mulai bulan September 2022 ini, kita bakalan ngadain campaign Psychology of Finance. Campaign ini bisa lo ikuti di semua sosial media Satu Persen, mulai dari YouTube, Instagram, sampai Podcast.

Lo juga bisa gabung ke Grup Komunitas - Satu Persen Finance buat dapetin informasi terbaru tentang psychology of finance sekaligus diskusi bareng tentang topik ini. Lo bisa klik link ini untuk gabung.

Stay tuned dan ikuti campaign-nya sampai akhir, ya!

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.