Si Cacat yang Bodoh (Based on True Story)

Bilik Sastra
Satu Persen
28 Okt 2020

Namaku Arini, tapi orang biasa memanggilku si cacat yang bodoh. Well, aku memang cacat. Sedari lahir, kedua kaki ini tidak berfungsi dan tidak punya daya guna untukku, entah karena apa. Ayah dan ibu tidak pernah mengatakan apapun dan aku pun tidak terlalu ingin tahu. Hal itu tak lantas membuat ayah dan ibu memasukkanku ke sekolah khusus. Aku menimba ilmu di sebuah sekolah umum sejak berada di sekolah dasar, di mana semua siswa adalah anak normal. Ya, hanya aku yang ‘berbeda’.

Kekurangan yang aku miliki membuatku menjadi seseorang yang sangat tertutup dan pendiam. Ketika ada yang berniat mendekat, aku lantas menjauh. Bukan karena tidak ingin berteman, tapi aku tidak punya kepercayaan diri yang besar untuk memiliki seorang teman. Lagipula, tidak semua orang di dunia ini mendekati kita karena mereka memang ingin menjadi teman kita bukan?

Saat masa Sekolah Dasar (SD), aku tidak merasakan perbedaan di antara aku dan teman-teman yang lain. Mereka juga selalu berlaku baik padaku, meskipun ada beberapa yang bersikap buruk. Aku selalu mengabaikannya. Namun ketika mulai memasuki usia remaja, tepatnya saat aku berada di Sekolah Menengah Pertama (SMP), di mana saat seseorang umumnya mulai masuk masa pubertas, semua berubah.

Semua orang mulai memandangku aneh, seakan aku bukan manusia seperti mereka dan aku mulai merasa tidak nyaman dengan keadaanku. Aku mulai membandingkan diriku dengan yang lain. Rasa minder mulai menjadi bagian dalam diriku. Dahulu, saat aku berada di kelas satu SMP, seorang anak baru dari kelas sebelah menghampiriku ketika aku tengah menunggu jemputan. Dia mengajakku berbincang layaknya seperti sudah lama saling kenal. Nadia, namanya. Nadia anak yang termasuk pintar di kelasnya. Semua guru tak pernah absen untuk memuji kepandaian gadis itu.

Nadia tidak seperti anak lain, ia tidak pernah memandang kekurangan yang kumiliki. Nadia selalu mengabaikan fakta bahwa aku adalah anak cacat. Dirinya selalu memperlakukanku layaknya seseorang memperlakukan temannya. Senang? Tentu saja. Aku merasa sangat bersyukur bertemu dengan gadis itu. Entah kebaikan apa yang sudah aku perbuat di kehidupanku yang lalu, hingga aku bertemu dengan gadis baik seperti dirinya.

Ketika bersama Nadia, aku bisa menjadi diriku sendiri. Aku tidak pernah ragu menunjukkan beberapa sifat jelek yang kumiliki. Aku merasa nyaman dan aman ketika kami bersama. Namun saat kami berada di kelas dua, sebuah rumor menyebar luas seantero sekolah. Rumor bahwa aku berteman dengan Nadia karena aku ingin memanfaatkannya, karena dulu aku sering meminta tolong padanya untuk membeli makanan di kantin.

Entah rumor itu datang dari mana dan siapa akarnya. Penyebaran rumor itu pun lantas sampai ke telinga ibunya. Beliau langsung melarang anak perempuannya mendekatiku dan memutuskan kontak pertemanan kami. Sedih dan kesepian kembali aku rasakan hingga aku dinyatakan lulus dari sekolah menengah pertama. Ketika memasuki masa Sekolah Menengah Atas (SMA), keadaan semakin buruk. Tak ada yang mau berteman denganku karena aku cacat dan merepotkan. Semua orang menggunakan topeng dengan begitu baik di depan guru seolah mereka menerima kehadiranku, walau nyatanya tidak.

Tidak ada hari tanpa aku tidak mendengar seluruh penghuni kelas membicarakanku, seakan aku hanya sebuah sampah dan tak pantas menempuh pendidikan layaknya anak normal. Sakit? Sedih? Kecewa? Semua itu sudah seperti makanan pokok yang kukonsumsi setiap hari. Tentu ayah dan ibu tidak tahu soal ini. Selama satu tahun lebih aku menahan semuanya sendirian. Hingga puncaknya, aku memutuskan untuk keluar dari sekolah dan menjadi anak yang putus sekolah, tentu setelah berpikir panjang dan memikirkan kedua orang tuaku. Aku ingin bertahan untuk mereka, tapi aku tak bisa. Aku bukan gadis yang kuat.

Ayah dan ibu tentu awalnya sangat marah ketika keputusan itu kubuat. Bahkan kami sempat tidak bertegur sapa selama hampir dua bulan lamanya. Mereka selalu menyinggung soal diriku yang putus sekolah. Untuk sekedar informasi, aku tidak berani mengatakan yang sebenarnya terjadi pada anak perempuan sulung mereka ini selama empat tahun lamanya. Tak ada keberanian dalam diriku untuk mengatakan semua kebenaran bahkan pada adikku.

Ayah dan ibu selalu menyalahkanku atas keputusan yang kuambil tanpa mengetahui yang sebenarnya. Frustasi karena selalu disalahkan, setiap hari aku rasakan. Hingga gadis yang tidak memiliki masa depan cerah ini sempat berpikir untuk bunuh diri.

Aku tidak tahu seperti apa masa depan yang akan ku miliki kelak atau mungkin aku tidak akan punya masa depan dan Tuhan sudah memanggilku. Tapi jika Tuhan memberikan gadis ini kesempatan untuk menghirup udara di bumi untuk waktu yang lama, ia berharap, bisa menjadi seorang penulis hebat seperti yang sudah menjadi mimpinya sejak dulu, walau raganya tidak sempurna dan ia tidak menyelesaikan pendidikannya. Semua orang boleh dan punya hak untuk berharap bukan? Termasuk gadis penuh dengan kekurangan ini.

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.