Kiri, kanan, atas, bawah, lalu memutarnya. Memastikan salah satu bagian warna telah tersusun rapi. Dia selalu melakukan itu saat hatinya terluka. Mainan itu membuatnya tenang, walaupun hanya sesaat. Saat semua warna telah tersusun rapi, tapi tidak dengan hatinya yang masih berantakan.
Sudah sering ia merasa dikecewakan, namun ia masih saja belum terbiasa, seringkali larut dalam kesedihan. Sialnya lelaki itu yang berulang kali memberikannya rasa sedih, kecewa, marah, dan menangis. Lelaki yang berulang kali ia beri kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, lelaki yang selalu mendapatkan maafnya, meski untuk kesekian kalinya ia terus mengulang kesalahan itu. Mungkin memang benar, seseorang akan merasa congkak bila mudah mendapatkan sesuatu, tidak peduli yang terjadi, yang ia yakini akan mudah untuk mendapatkannya lagi, termasuk kata maaf.
Sore itu, saat mentari sedang menunjukkan warna terindahnya, namun tak bisa mengindahkan perasaannya yang kembali berantakan atau mungkin hancur. Entah yang ke berapa kali, ia melihat lelakinya dengan gadis lain. Yang bisa ia lakukan hanya mematung dari kejauhan, hingga lelaki itu menyadari kehadirannya. Saat lelaki itu menatapnya tangis pun pecah tak kuasa ia menahannya.
Sebagus apapun sebuah penjelasan, jika kau menjelaskan sesuatu yang salah dan kau mencoba membuat sesuatu itu menjadi terlihat benar, tetap saja hal itu salah dan menyakitkan. Seperti menjawab sebuah esai, katakanlah esai itu matematika, jawabanmu mungkin benar, tapi untuk esai fisika. Benar tidaklah benar jika tidak sesuai.
Pemandangan indah di sore hari takkan bisa membuat hati yang terluka seketika menjadi indah. Tapi ia tetap menikmatinya, lebih tepatnya ia membutuhkannya. Sesuatu hal tak mesti menyembuhkan, meringankan sedikit beban di hati itu sudah cukup. Sebaik-baiknya penyembuh hanya diri kita sendiri, seberapa tangguh diri ini bisa memulihkan perasaan sesak di dada.
Kembali mainan itu ia putar-putar hingga semua warna tersusun rapi. Dan kali ini ia menyadari sesuatu, “Hidup adalah serangkaian peristiwa yang terus berulang”, seperti mainan di tangannya. Bila berantakan kita harus membereskannya, bila sudah rapi jangan terhanyut, karena suatu saat akan kembali berantakan. Terdengar sia-sia, bila kita harus memulai lagi dari awal, lagi, dan lagi. Sesaat kita akan menjaganya tetap rapi, namun suatu saat kita akan membuatnya kembali berantakan, melihat apa kita bisa menyelesaikannya lebih cepat dan lebih cepat lagi. Satu hal lain yang ia sadari, ia tak mesti melakukan hal itu dengan orang yang sama, dan selalu memberinya kesempatan yang selalu ia sia-siakan.
Tak apa berantakan jika kita bisa membereskannya, tak apa berantakan jika membuat kita semakin terlatih membereskannya (bersama-sama). Namun jangan bersusah payah membereskan sesuatu yang tak mesti kau bereskan, gadis lain yang hadir di hubungan kalian, misalnya. Biarlah lelakimu yang menentukan, sudah cukup, kau hanya tinggal diam. Tidak seperti yang gadis itu lakukan, ia membereskan sesuatu sendirian, yang seharusnya lelaki itu bereskan. Entah berapa lama ia adu argumen dengan diri sendiri.
Jeda adalah hal terbaik yang hadir, saat kita mulai tak tahu arah, entah apa lagi yang harus di perbuat. Hingga akhirnya mainan itu kembali rapi, dan kali ini senyuman yang hadir di wajahnya. Menandakan, akhirnya ia sadar apa yang seharusnya ia lakukan sejak lama.
Ada yang lain di sore ini, gadis itu penuh senyuman dengan rubik yang sejak lama ia mainkan. Berulang kali ia menyusun warna-warna di rubik itu. Langit pun mulai gelap, sembari menatap mainan itu, ia kembali menyadari sesuatu. Setiap hal hadir bukan tanpa alasan, selama kau belum menyadarinya, hal itu akan menghantuimu terus menerus. Layaknya sebuah esai, kau belum dianggap lulus jika belum mencapai nilai yang ditentukan, tak mesti semua benar. Yang terpenting kau mencapai kriteria untuk lulus. Sisanya perbaiki.
Kini harinya berubah, sedih, kecewa, marah, sejenak mereka tidak hadir. Tapi pasti mereka akan datang lagi dan lagi. Semoga saat mereka datang lagi, mereka datang untuk alasan menaikan kelasnya. Tidak seperti sebelumnya, menghukumnya karena bodoh terjebak perasaan.