Pelatihan Mengatasi Learned Helplessness: Membangun Tim Proaktif dan Berdaya bagi Perusahaan di Yogyakarta

Refi Nafilatul Iflah
31 Okt 2025

Key Takeaways

  • Learned Helplessness (Ketidakberdayaan yang Dipelajari) adalah kondisi psikologis di mana karyawan menjadi pasif dan berhenti mencoba setelah mengalami kegagalan berulang.
  • Kondisi ini berakar dari keyakinan bahwa usaha mereka tidak akan mengubah hasil, yang secara langsung membunuh produktivitas, inovasi, dan motivasi kerja.
  • Ini bukanlah "malas" atau cacat karakter; ini adalah respons yang dipelajari terhadap lingkungan yang tidak suportif atau situasi di luar kendali.
  • Kabar baiknya, karena ini dipelajari, ini juga bisa dibatalkan (unlearned) melalui pelatihan yang tepat yang berfokus pada growth mindset dan membangun kembali rasa kontrol.
  • Bagi perusahaan, mengatasi learned helplessness berarti menurunkan turnover, meningkatkan engagement, dan mengubah tim yang pasif menjadi proaktif.
  • Di Yogyakarta, learned helplessness bisa menjadi masalah tersembunyi di balik budaya "harmonis," di mana kepasifan disalahartikan sebagai kepatuhan.

Saat Karyawan Terbaik Anda Berhenti Mencoba

Sebagai manajer HR atau pemimpin tim, Anda mungkin pernah menyaksikan transformasi yang menyedihkan ini. Seorang karyawan yang awalnya Anda rekrut karena cerdas, penuh ide, dan bersemangat, kini berubah. Saat rapat, ia lebih banyak diam. Ketika diberi tantangan, jawabannya hanya, "Baik, Bu/Pak," "Akan saya coba," atau yang lebih mengkhawatirkan, "Sepertinya tidak bisa, sudah pernah dicoba."

Inisiatifnya hilang. Energi proaktifnya padam. Mereka tidak lagi malas, mereka hanya... pasrah.

Ini bukanlah kemalasan. Ini adalah gejala dari kondisi psikologis yang disebut Learned Helplessness atau Ketidakberdayaan yang Dipelajari. Ini adalah kondisi di mana seseorang, setelah mengalami kegagalan berulang atau berada dalam situasi di luar kendali mereka (seperti target yang mustahil, micromanagement yang berlebihan, atau kebijakan yang terus berubah), akhirnya menyimpulkan satu hal: "Apapun yang saya lakukan, tidak ada gunanya."

Begitu keyakinan ini tertanam, dampaknya merusak. Karyawan berhenti memberikan ide, berhenti berinovasi, dan berhenti berusaha lebih. Mereka hanya melakukan minimum untuk bertahan. Bagi perusahaan, ini adalah kebocoran produktivitas yang senyap namun masif.

Kabar baiknya tertulis jelas pada namanya: learned. Karena kondisi ini "dipelajari", ia juga bisa "dibatalkan" (unlearned). Namun, ini tidak terjadi secara alami. Dibutuhkan intervensi yang disengaja dan strategis. Di sinilah pelatihan untuk mengatasi learned helplessness menjadi sangat penting. Di kota yang dinamis seperti Yogyakarta, Anda tidak bisa membiarkan potensi tim Anda terkubur dalam kepasifan.

Manfaat Utama Workshop Mengatasi Learned Helplessness

Berinvestasi untuk membebaskan tim Anda dari siklus ketidakberdayaan ini memberikan keuntungan langsung, baik bagi kesejahteraan karyawan maupun bagi kesehatan finansial perusahaan.

1. Membangun Kembali Rasa Kontrol dan Kepemilikan (Ownership)

Akar dari learned helplessness adalah hilangnya rasa kontrol. Karyawan merasa seperti pion, bukan pemain. Pelatihan ini membantu karyawan memetakan kembali apa yang bisa dan tidak bisa mereka kendalikan. Mereka mungkin tidak bisa mengendalikan ekonomi makro atau keputusan klien, tetapi mereka 100% bisa mengendalikan usaha, respons, dan sikap mereka. Dengan memfokuskan kembali energi pada lingkaran kontrol ini, rasa kepemilikan (ownership) atas pekerjaan mereka mulai tumbuh kembali. Bagi perusahaan, ini berarti lebih sedikit karyawan yang menyalahkan faktor eksternal dan lebih banyak yang proaktif mencari solusi.

2. Menggeser Pola Pikir dari Fixed Menjadi Growth Mindset

Learned helplessness adalah manifestasi ekstrem dari fixed mindset ("Saya gagal, berarti saya adalah seorang yang gagal"). Pelatihan ini secara intensif memperkenalkan konsep growth mindset ("Saya gagal, berarti saya belajar sesuatu"). Karyawan diajarkan untuk membingkai ulang kegagalan, bukan sebagai vonis akhir, tetapi sebagai umpan balik (feedback) dalam sebuah proses. Bagi perusahaan, pergeseran mindset ini adalah fondasi dari budaya inovasi. Karyawan menjadi tidak takut lagi untuk mencoba hal baru.

3. Memulihkan Motivasi Intrinsik melalui "Kemenangan Kecil"

Ketika seseorang merasa tidak berdaya, motivasi intrinsiknya mati. Bonus atau ancaman (motivasi ekstrinsik) tidak lagi banyak berpengaruh. Cara memulihkannya adalah melalui pengalaman sukses. Workshop ini melatih karyawan untuk memecah tujuan besar yang terasa mustahil menjadi langkah-langkah kecil yang realistis dan dapat dicapai. Setiap "kemenangan kecil" (quick win) yang berhasil diraih bertindak sebagai bukti nyata bahwa usaha mereka memang berdampak. Ini secara perlahan tapi pasti mengisi ulang baterai motivasi mereka.

4. Meningkatkan Keterampilan Pemecahan Masalah (Problem-Solving)

Karyawan yang pasif tidak memecahkan masalah; mereka menunggu instruksi atau menyerahkan masalah itu ke atasan. Ini sangat tidak efisien. Pelatihan learned helplessness selalu mencakup modul keterampilan problem-solving praktis. Karyawan diajarkan cara menganalisis masalah secara objektif, melakukan brainstorming solusi, dan mengambil langkah pertama yang terukur. Bagi perusahaan, ini membebaskan waktu manajer, karena tim menjadi lebih mandiri dan mampu mengatasi tantangan mereka sendiri.

5. Membangun Resiliensi dan Keterampilan Koping Emosional

Hidup dalam kondisi learned helplessness sangat melelahkan secara emosional. Ini menyebabkan stres kronis, kecemasan, dan apatis. Pelatihan ini membekali karyawan dengan keterampilan koping yang sehat untuk mengelola emosi negatif seperti frustrasi dan keputusasaan. Mereka belajar teknik reframing kognitif untuk memutus siklus pikiran negatif. Hasilnya adalah tim yang lebih tangguh secara mental, tidak mudah goyah oleh tekanan, dan memiliki risiko burnout yang lebih rendah.

Mengapa Pelatihan Learned Helplessness Sangat Dibutuhkan di Yogyakarta?

Karakteristik unik Yogyakarta sebagai pusat budaya, pendidikan, dan industri kreatif menciptakan tantangan spesifik yang membuat pelatihan ini menjadi sangat relevan.

1. "Penyakit Tersembunyi" di Balik Budaya Harmoni (Ewuh Pakewuh)

Yogyakarta dikenal dengan budayanya yang menjunjung tinggi harmoni, kesopanan, dan rasa "tidak enakan" (ewuh pakewuh). Ini adalah kekuatan sosial yang luar biasa. Namun, dalam konteks profesional, ini bisa menjadi pedang bermata dua. Karyawan yang mengalami learned helplessness mungkin tidak akan vokal menyuarakan frustrasi atau masalah mereka. Mereka akan diam dan "manut" (patuh) untuk menjaga harmoni. Akibatnya, manajemen mungkin salah mengartikan kepasifan ini sebagai kepatuhan atau kepuasan kerja. Pelatihan ini penting untuk membuka saluran komunikasi yang jujur dan membedakan antara harmoni yang sehat dengan kepasifan yang merusak.

2. Tuntutan Inovasi di Ekosistem Kreatif dan Startup

Yogyakarta adalah salah satu hotspot utama industri kreatif dan startup digital di Indonesia. Sektor-sektor ini hidup dari eksperimentasi, ide-ide baru, dan keberanian mengambil risiko. Learned helplessness adalah racun mematikan bagi inovasi. Sebuah tim developer atau desainer yang takut gagal atau merasa idenya tidak didengar tidak akan pernah menghasilkan karya terobosan. Perusahaan di Yogyakarta yang ingin tetap kompetitif mutlak membutuhkan karyawan yang proaktif dan berani mencoba, dua hal yang pertama kali dihancurkan oleh learned helplessness.

3. Mengelola Ekspektasi Lulusan Baru (Talenta Muda)

Sebagai "Kota Pelajar," Yogyakarta adalah pemasok talenta muda yang melimpah. Lulusan baru seringkali masuk dunia kerja dengan idealisme tinggi. Namun, mereka juga rentan. Jika pengalaman kerja pertama mereka penuh dengan kegagalan tanpa dukungan, target yang mustahil, atau manajer yang toksik, learned helplessness bisa tertanam sejak dini dalam karier mereka. Perusahaan di Yogyakarta memiliki tanggung jawab sekaligus kepentingan strategis untuk membekali talenta muda ini dengan resiliensi mental, agar potensi besar mereka tidak padam sebelum sempat bersinar.

Cara Mengadakan Workshop Learned Helplessness yang Efektif di Perusahaan Anda

Mengatasi learned helplessness bukan sekadar memberikan ceramah motivasi. Ini adalah intervensi psikologis yang terstruktur. Berikut adalah cara memaksimalkan dampaknya:

1. Mulailah dengan Diagnosis di Ruang Aman (Safe Space)

Langkah pertama adalah kesadaran diri (self-awareness). Karyawan perlu mengidentifikasi pola pikir ini dalam diri mereka. Workshop harus difasilitasi oleh seorang profesional (seperti psikolog) yang dapat menciptakan psychological safety. Peserta harus merasa aman untuk mengakui perasaan tidak berdaya mereka tanpa takut dihakimi atau dianggap "lemah".

2. Berikan Peran Aktif pada Manajer (Perbaiki Lingkungan)

Seringkali, learned helplessness disebabkan atau diperburuk oleh lingkungan kerja, terutama oleh manajer (misalnya, micromanagement, kurangnya apresiasi, target tidak realistis). Percuma melatih karyawan jika manajer mereka tidak berubah. Pelatihan ini idealnya memiliki sesi terpisah untuk manajer, mengajari mereka cara mendelegasikan dengan benar, memberikan otonomi, dan yang terpenting, menghargai usaha dan proses, bukan hanya hasil akhir.

3. Fokus pada Kemenangan Kecil yang Dapat Diukur

Teori tidak akan memecahkan learned helplessness; pengalaman yang akan memecahkannya. Workshop yang efektif harus diakhiri dengan rencana aksi yang sangat konkret. Peserta didorong untuk menetapkan satu atau dua tujuan kecil yang 100% berada dalam kendali mereka untuk diselesaikan dalam satu minggu ke depan. Keberhasilan mencapai tujuan kecil inilah yang akan mulai memutus siklus kepasifan.

4. Bekali dengan Keterampilan Praktis (Problem-Solving & Reframing)

Jangan hanya membahas "apa itu LH." Berikan pesertanya "senjata" untuk melawannya. Ajarkan mereka kerangka kerja problem-solving yang sederhana untuk memecah masalah besar. Latih mereka teknik reframing kognitif untuk secara sadar menantang pikiran negatif mereka ("Saya tidak bisa") dan menggantinya dengan pikiran yang lebih berdaya ("Bagaimana jika saya mencoba dari sudut ini?").

Kesimpulan: Mengambil Kembali Kendali atas Potensi Tim Anda

Karyawan yang mengalami learned helplessness bukanlah "aset rusak". Mereka adalah "aset yang terjebak". Mereka memiliki potensi, keterampilan, dan ide yang terkunci di balik tembok psikologis keputusasaan. Membiarkan mereka dalam kondisi itu adalah kerugian besar bagi perusahaan dan tragedi bagi individu.

Bagi perusahaan di Yogyakarta, berinvestasi dalam pelatihan untuk mengatasi learned helplessness bukanlah biaya untuk memperbaiki masalah. Ini adalah investasi strategis untuk membuka kunci potensi tersebut. Ini adalah tentang memberikan kembali "rasa kontrol" kepada karyawan Anda. Karena pada akhirnya, tim yang merasa berdaya-lah yang akan memberdayakan perusahaan Anda untuk tumbuh dan memenangkan persaingan.

Jika Anda tertarik untuk memperdalam lagi kemampuan tim Anda dalam mengatasi Learned Helplessness, pertimbangkan untuk mengikuti In-House Training yang kami tawarkan dari Life Skills ID x Satu Persen. Kami menyediakan berbagai program pelatihan yang dirancang khusus sesuai dengan kebutuhan unik perusahaan Anda. Dengan pendekatan yang tepat, workshop ini bisa menjadi investasi terbaik dalam meningkatkan kinerja dan kesejahteraan tim Anda.

Mau tau lebih lanjut tentang pelatihannya? Hubungi Kami untuk Konsultasi:

FAQ (Frequently Asked Questions)

1. Apa perbedaan utama antara Learned Helplessness (LH) dengan karyawan yang malas?

Malas adalah pilihan sadar untuk tidak mengerahkan usaha meskipun tahu usahanya bisa membuahkan hasil. Learned Helplessness adalah keyakinan yang telah tertanam bahwa usaha tidak akan membuahkan hasil, biasanya terbentuk setelah mencoba dan gagal berulang kali. Ini adalah kondisi psikologis apatis, bukan pilihan sadar.

2. Apakah LH hanya terjadi pada karyawan yang kinerjanya buruk?

Tidak. Justru sebaliknya, LH seringkali sangat berdampak pada karyawan yang sebelumnya berkinerja tinggi (high-achiever). Ketika seorang high-achiever ditempatkan dalam situasi yang benar-benar di luar kendali mereka (misalnya, proyek yang pasti gagal, manajemen toksik), dampak psikologisnya bisa lebih besar karena mereka tidak terbiasa melihat usaha keras mereka tidak menghasilkan apa-apa.

3. Perusahaan kami memiliki budaya yang baik, mengapa karyawan kami masih bisa mengalami LH?

LH bisa sangat spesifik. Budaya perusahaan secara umum mungkin positif, tetapi satu manajer yang melakukan micromanagement secara ekstrem di satu departemen sudah cukup untuk menciptakan LH di dalam tim tersebut. Atau, sistem reward yang dirasa tidak adil, atau kurangnya otonomi dalam peran pekerjaan tertentu, juga bisa menjadi pemicu meskipun budaya perusahaan secara keseluruhan baik.

4. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melihat hasil nyata setelah pelatihan ini?

Perubahan mindset dan kesadaran diri bisa terlihat langsung setelah workshop. Karyawan akan mendapatkan "Aha!" moment dan alat baru. Namun, untuk benar-benar memutus siklus LH, dibutuhkan konsistensi pasca-pelatihan. Hasil nyata (peningkatan proaktivitas) akan terlihat dalam beberapa minggu hingga bulan, jika manajer juga konsisten menerapkan lingkungan yang suportif (memberi otonomi, menghargai usaha).

5. Apa satu hal terpenting yang bisa dilakukan manajer untuk mencegah LH?

Berikan otonomi yang jelas dan hargai usaha. Manajer harus mendelegasikan hasil yang diinginkan, bukan cara (metode) untuk mencapainya. Biarkan karyawan memiliki kendali atas proses kerja mereka. Dan yang terpenting, berikan pengakuan positif tidak hanya saat target tercapai, tetapi juga saat karyawan menunjukkan usaha yang gigih, proses berpikir yang baik, atau pembelajaran dari kegagalan.

Bagikan artikel

Disclaimer

Jika Anda sedang mengalami krisis psikologis yang mengancam hidup Anda, layanan ini tidak direkomendasikan.

Silakan menghubungi 119.