Entah apa yang membawaku kemari selepas kuliah. Sepanjang sore aku menghabiskan waktu di kedai minuman ini. Tiada habisnya aku melamunkan banyak hal. Di luar, gerimis dan sunset ala perkotaan turun perlahan. Warna kuning-oranye dan bising kendaraan berpadu menyisakan perasaan yang melelahkan, seperti biasanya. Kedai mulai ramai oleh orang-orang yang memilih menunggu hujan reda sambil menikmati minuman hangat. Bangku penuh, para pelayan mulai sibuk lalu lalang mengantar pesanan. Satu dua tawa pengunjung menggema di kepalaku yang kosong—hanya berisi lagu yang sedang diputar.
“….♫♫♫
And we can whisper things
Secrets for my American dreams
Baby need some protection
But I’m a kid like everyone else
So let me go
I don’t wanna be your hero
I don’t wanna be big man
Just wanna fight like everyone else”
(Hero ost. It’s Okay That’s Love)
Mataku basah. Perasaan ini, astaga!
Aku menyerah. Aku baru saja mengakui perasaan kehilangan.
***
Ayah adalah laki-laki paling menyebalkan di dunia ini. Setidaknya itulah yang aku rasakan. Kenangan buruk melekat kuat memenuhi ruang kepala. Kami seringkali bertengkar hebat untuk hal-hal sepele. Semakin Ayah tua, semakin jelas seperti bocah, keras kepala dan gemar membenarkan prasangkanya sendiri. Sulit bila harus terus menerus memakluminya. Itulah mengapa Ibu selalu khawatir bila kami berada di satu ruangan yang sama. Sifat kami memang tidak jauh berbeda. Andai struktur DNA dapat kasat mata, semua orang pasti akan mengatakan bahwa gen Ayah mendominasi diriku. Sialnya, gen itu juga yang berkuasa atas kendali responku pada sikap Ayah.
Pada dasarnya, Ayah adalah orang baik. Orang baik yang kecewa dan frustasi pada hidupnya. Sebagai orang yang terusir dari keluarga, Ayah mati-matian membuktikan pada setiap orang bahwa ia baik-baik saja. Padahal hati kecil kami telak mengakui bahwa Ayah tak mampu menguatkan dirinya sendiri. Ayah telah mencoba walau dia hancur lebur menyembunyikan perasaannya yang koyak.
Aku paham Ayah mengalami banyak hal menyakitkan. Optimisme hidup yang pernah membuatnya dikelilingi banyak orang—luruh perlahan tiada bersisa. Tentu saja cukup menjadi alasan bagi beberapa orang orang yang pernah mengklaim dirinya adalah saudara Ayah untuk mundur teratur tanpa bersua. Ayah ditinggalkan begitu saja. Bernasib sama seperti cahaya redup yang pernah dikerumuni beribu laron ketika masih terang benderang.
Ayah selalu menceritakan hal yang sama berulang kali kepada setiap orang yang dia temui. Kami semua tau itulah cara Ayah untuk mendapatkan perhatian dari orang lain, sekaligus cara untuk membela dirinya. Bila kejujuran tidak menyakitkan, mungkin kami akan berterus terang bahwa cerita Ayah membuat telinga kami muak.
Tabiat Ayah dalam mendidik kami layaknya anggota militer—keras dan disiplin. Bagi Ayah, orang yang kelebihan tidur, menonton televisi sebelum waktunya, atau bermain di luar waktu yang ditentukan adalah sebuah pelanggaran besar. Aku dan kakakku seringkali jadi sasaran sandalnya yang keras dan berduri, saat menyalakan televisi diam-diam sebelum Ayah menyelesaikan dzikirnya. Jika Ayah marah, sumpah serapah dan beberapa barang akan mendarat indah ke segala sudut. Jangan sekali-kali melawannya, laki-laki atau perempuan pun tak segan untuk Ayah pukul sampai menyisakan luka. Luka itu, kami menyebutnya sebagai “oleh-oleh”. Masing masing dari kami memiliki satu oleh-oleh dengan cerita yang berbeda.
Amarah dan tawanya selalu terdengar sampai rumah tetangga, sehingga bisa dipastikan tak ada rahasia rumah yang bisa ditutupi. Menjadi hiburan kecil kami, ketika amarah Ayah mencapai oktaf tertinggi. Tanpa diundang, anak-anak tetangga akan berkerumun menonton di balik kaca jendela. Kemudian lari tunggang-langgang ketika Ayah melirikkan bola mata ke arah jendela tanpa bermaksud memarahi mereka.
Namun, Ayah adalah orang yang baik. Pahlawan yang memenuhi memori masa kecilku. Pundaknya selalu menjadi tempatku tertidur. Ia menjelma bak seorang perawat setia yang paling sabar dan tahu bagaimana menghadapi tangisanku saat sakit, walau hanya demam atau sakit gigi. Guru menggambar terbaik yang mengajariku menggambar dua bentuk gunung dengan satu matahari di tengahnya. Menjadi teman di ujung telepon saat sore hari hanya untuk bertanya kapan Ayah pulang.
Ya, hanya aku yang boleh mengatakan Ayah laki laki baik yang menyebalkan. Aku memang kehilangan sosoknya saat menjadi remaja yang beranjak dewasa. Kebencianku terus memuncak tanpa memahami apa yang telah menimpanya. Hidup di bawah bayang-bayang masa kecil saat Ayah menjadi segalanya. Selama ini, memori masa kecil dan memori masa remajaku bertengkar hebat mendefinisikan arti sosok Ayah dalam hidupku.
***
Hujan baru saja reda. Langit gelap dan jalanan tidak seramai sebelumnya. Hari ini tepat 100 hari kepergian Ayah. Rumahku ramai oleh saudara dan tetangga yang mempersiapkan makanan untuk kiriman doa setelah Isya’ nanti. Aku enggan pulang, menarik nafas dengan berat memutuskan untuk lebih lama berada di sini. Sudah ketiga kalinya aku meminta diputarkan lagu yang sama pada pelayan. Mungkin diam-diam para pelayan itu berharap pesakitan ini segera pergi.
Aku benar-benar enggan pulang. Bukan tak ingin ikut mendoakan Ayah, hanya saja di tiap sudut rumah rasanya ada yang berbeda. Bukan seperti rumah yang selalu bising dengan suara amarah atau sumpah serapah. Rasanya aneh tak ada lagi sandal melayang saat aku mengendap-endap menyalakan televisi. Ibu berkata hampir setiap hari aku menengok kamar Ayah yang kosong. Melihat setiap jengkal benda di kamarnya seperti memastikan tidak ada sesuatu yang hilang.