Sebagian orang mungkin bertanya-tanya, kenapa aku masih saja menggunakan angkutan kota di era modern ini. Padahal terdapat aplikasi ojek online di ponselku dan aku bisa kapan saja menekannya untuk memesan jasa. Aku tidak perlu menunggu terlalu lama di pinggir jalan, berdesak-desakan, berjalan kaki, atau bahkan merasakan jantung yang hampir copot akibat laju mobil angkutan kota yang terkadang ugal-ugalan. Tidak perlu merasa lelah berlebih, panas yang terlalu, dingin air hujan yang menusuk, dan keselamatan pun lebih terjamin. Namun, angkutan kota masih jadi pilihanku untuk sekarang, dan mungkin hingga aku melepas seragam putih abu-abu nanti—khususnya tiap kali merindukanmu.
Masih terbayang di benakku, saat kita belum bicara satu sama lain. Terlebih saat kita kembali dipertemukan dalam angkutan kota yang sama, di mana hanya ada aku dan kamu di sana. Betapa canggungnya waktu itu. Betapa malunya aku untuk sekadar tersenyum atau berbasa-basi. Begitu juga kamu.
Waktu berjalan sedikit—tiba-tiba kita sudah saling melempar senyum, hanya sekadar itu. Saat itu kamu pulang bersama dengan temanmu. Aku ingat, kamu dan temanmu membahas lampu merah yang baru saja dipasang di persimpangan jalan. Kala itu aku hanya mencuri dengar, tak dapat bicara banyak selain tersenyum dan mengucap kata “Duluan…” saat hendak turun. Kamu juga tak berbeda jauh, hanya mampu tersenyum dan menjawab sekadarnya.
Enam bulan berlalu, secara sengaja kita pulang bersama. Suatu hal yang tak pernah terbayang di benakku untuk menjadi nyata. Kita usai menghabiskan beberapa jam untuk membahas soal matematika yang tak kumengerti. Saat itu kita sama-sama panik karena seorang anak kecil belum sempat turun dari angkutan kota, namun mobil sudah mulai melaju. Kamu sontak memberitahu sang supir, sedangkan aku dengan spontan mencengkeram erat tangan anak itu. Meski selama perjalanan kamu hanya diam saja, hingga hendak turun pun kamu hanya mengangkat kedua alismu sembari tersenyum tipis, aku tetap senang dan aku tahu kamu hanya sedang lelah.
Di awal tahun ajaran baru, tanpa sengaja kita bertemu lagi. Sungguh saat itu aku kira kamu sudah pergi lebih dulu, sebab aku tak melihatmu di seberang jalan. Walaupun keraguan sempat muncul, dengan langkah takut-takut aku menghampirimu. Mungkin kamu tidak sadar, tapi aku dapat merasakan tubuhku yang gemetar, wajah yang bersemu merah, dan karenanya aku lekas memalingkan wajah sebelum sorot matamu berhasil menangkapnya.
Di dalam angkutan kota, kita duduk berhimpitan. Betapa canggungnya aku, tak berani menoleh ke arahmu, begitu juga kamu. Ingin rasanya bergeser sedikit untuk menjaga jarak darimu, tapi keadaan tidak berpihak padaku hingga kamu beranjak turun. Saat itu yang kupikirkan hanyalah, aku takut membuatmu tak nyaman dengan itu semua. Meski di sisi lain, aku juga bersyukur bahwa akulah yang harus berhimpitan denganmu yang waktu itu memilih duduk di sudut, bukan gadis lain yang mungkin justru akan membuatku cemburu.
Seolah tiada bosan-bosannya mempermainkan, semesta kembali mempertemukan kita seminggu kemudian. Kala itu, aku tengah mencoba mengosongkan hatiku dari kamu—yang sepertinya lebih memilih orang lain untuk singgah. Aku juga tengah membiasakan diri tanpa melihatmu. Karena itu aku tertawa. Kamu melihatku heran, sementara aku masih menertawakan semesta yang melucu.
Meski demikian, hingga kini aku selalu berharap kamu ada di seberang jalan demi menunggu angkutan kota. Atau mungkin tengah berusaha menyeberang, menyusulku yang sudah lebih dulu menunggu. Meski sempat dibuat geram sebab kamu yang tak berusaha menyapa lebih dulu, aku tahu kamu hanya tak tahu cara memulai. Mungkin saja suatu hari nanti keberanianmu akan lebih dulu menghampiri.
Sampai saat ini, aku masih sering membayangkan kamu duduk di sudut angkutan kota yang sepertinya menjadi tempat favoritmu. Seringkali aku sengaja memilih jalan memutar hanya untuk melihat, mungkin kamu masih ada di persimpangan jalan, menunggu untuk menaiki angkutan kota selanjutnya. Pun hanya sekadar bernostalgia, mengenang apa yang pernah terjadi di sepanjang jalan. Entahlah, angkutan kota rasanya menyimpan begitu banyak kenangan tentang kita. Sayangnya, hanya aku yang merasa seperti ini, bukan?